Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Agar Gajah Nyaman Bermukim

Pembukaan hutan di Sumatra membuat habitat gajah tergusur. Adakah hak mukim bagi gajah agar tak merusak kebun rakyat?

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Ngadikun, Kepala Desa Bina Karya Buana, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Lampung Tengah, berjaga sepanjang malam kini menjadi kegiatan rutin. Dengan membawa obor dan bom bambu isi karbit, Ngadikun bersama warganya berjaga-jaga dari serbuan gajah-gajah yang ingin masuk ke kawasan permukiman. Dalam beberapa pekan terakhir ini, kawanan gajah di sana memang sedang rajin turun gunung. Jika mereka datang, tanaman yang siap panen akan rusak dalam sekejap oleh sekawanan gajah. Tidak cuma itu, kawanan binatang berbelalai itu juga siap "mengetuk" pintu rumah penduduk. Bukan hanya di Desa Bina Karya, Lampung Tengah, gajah menjadi ancaman. Di Desa Muarafajar dan Desa Rumbaibukit di Provinsi Riau, warga setempat juga resah karena kerusakan akibat serangan gajah. Kebun sayur dan sawit di desa yang terletak di pinggiran hutan wisata Sultan Syarif Qasim, termasuk Kecamatan Rumbai, Kodya Pekanbaru itu kerap diobrak-abrik gajah. Menurut Wan Salahuddin, Lurah Desa Muarafajar, sepanjang Januari ini saja, tidak kurang dari 65 hektare kebun sawit dan sayur warga dirusak gajah. Uniknya, gajah yang sering mengamuk itu adalah bagian dari sebelas gajah yang sengaja dipelihara sebagai obyek wisata alam di taman hutan tersebut pada 1993. Entah karena tak terurus, belakangan si belalai jadi ancaman. Bahkan serangan gajah di Desa Garo, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Desember tahun lalu, menewaskan Syahrul Ritonga, seorang pekerja perkebunan. Tidak hanya masyarakat yang dirugikan akibat perebutan lahan ini, sedikitnya 13 ekor gajah di Riau mati dibunuh. Aksi turun gunung para gajah tentu bukan tanpa alasan. Menurut Dr. Muhammad Hambal, Asisten Program Konservasi Gajah Sumatra Fauna & Flora Internasional (FFI) Aceh, penyebab aksi amuk gajah ini adalah akibat tergusurnya habitat gajah. Maraknya konsesi hak pengusahaan hutan, pembukaan perkebunan kelapa sawit dan bahan baku bubur kertas (pulp), unit permukiman transmigrasi, hak guna usaha, perladangan berpindah, mengakibatkan kerusakan hutan tempat habitat gajah meningkat. Di Provinsi Riau, misalnya, luas hutan yang berubah fungsi menjadi lahan perkebunan selama 15 tahun terakhir ini mencapai 600 ribu hektare. Menurut Arnold F. Sitompul dan Martin Tyson, Koordinator Sumatran Elephant Project Wildlife Conservation Society (WCS), di Lampung, ingar-bingar reformasi yang diartikan secara serampangan telah mengakibatkan masyarakat membuka hutan lindung di kawasan Taman Nasional Bukitbarisan Bagian Selatan dan Taman Nasional Way Kambas. Akibatnya, menurut Hambal, binatang yang memiliki ingatan kuat ini melakukan penyerangan "balas dendam". Karena itu, skenario damai antara masyarakat dan gajah diperlukan. Menurut Sitompul, bisa diambil langkah dengan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk tidak membudidayakan tanaman yang disukai gajah di daerah perlintasan gajah. Suara lebih keras muncul dari Aceh. Wakil-wakil masyarakat Aceh Besar, Aceh Barat, dan Aceh Timur bersama Fauna & Flora International-Sumatran Elephant Conservation Programme (FFI-SECP) dan organisasi lainya mengusulkan agar unit permukiman transmigrasi tak diperluas. Pengusahaan perkebunan serta perambahan hutan dan perladangan berpindah juga harus dilarang. Mereka juga mengusulkan agar daerah konsesi perkebunan yang sudah ditinggalkan ditetapkan menjadi kawasan konservasi dan jalur migrasi gajah liar yang dilindungi. Selama ini, di Riau dan Lampung sudah berdiri pusat latihan gajah (PLG), tapi bukan sebuah kawasan konservasi khusus dengan luas yang memadai. PLG Sebangar, Riau, misalnya, hanya terdiri dari lahan 5.000 hektare dan baru bisa melatih 60 ekor gajah. Bahkan PLG di Way Kambas hanya menempati areal 1.000 hektar, dengan ratusan ekor gajah di dalamnya. Namun, kabar baik datang dari World-Wide Fund for Nature (WWF). Melalui Project Executant Riau Elephant Conservation Program, WWF berupaya membuat kawasan konservasi seluas 300.000 hektare di Riau. Tentu saja, setelah para gajah memiliki rumahnya kembali, persoalan mencari kegiatan ekonomi alternatif bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi mutlak diperlukan. Jika tidak, konflik bisa meletup lagi dan entah kapan berakhirnya. Agus Hidayat, Fadilasari (Lampung), J. Kamal Farza (Aceh), Jupernalis Samosir (Riau)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus