Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menuntaskan yang Silam, Menangkal yang Datang

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bertrand de Speville*) *) Konsultan, mantan pengurus Badan Independen Antikorupsi Hong Kong GERAKAN antikorupsi yang sedang berlangsung sekarang ini sedang terancam hambatan masa silam. Soalnya, para pengambil kebijakkan belum juga menentukan sikap terhadap warisan dosa masa lalu secara tegas. Padahal, sepatutnya kebijakan yang diambil bersemangat membangun iklim baru dengan menutup buku lama. Memang, konsekuensinya sebagian pelanggaran di waktu sebelumnya akan mengalami pemutihan, tapi ada alasan moral, politis, dan kepraktisan yang dapat menjadi pembenarannya. Pertama, menghakimi perilaku masa lalu dengan standar peraturan baru dan iklim penegakan hukum yang berbeda mungkin terasa kurang adil. Kedua, tanpa menentukan prioritas penyidikan, institusi yang berkewajiban memberantas korupsi akan kewalahan menangani ekspektasi masyarakat yang melambung setelah era reformasi, dan membuat munculnya banjir bandang laporan masyarakat tentang perilaku korupsi masa lalu. Ketiga, penanganan perkara-perkara masa lampau akan menggerus sumber daya untuk menyidik kasus yang sedang berlangsung. Keempat, tanpa kebijakan pemutihan, akan besar kemungkinannya gerakan antikorupsi dihambat oleh para tokoh berpengaruh, yang umumnya tak bebas dari dosa zaman dulu. Semua alasan di atas, bila tidak diatasi, berpotensi besar untuk memberhentikan gerakan antikorupsi yang kini sedang menggelinding. Pengalaman memberantas korupsi di berbagai negara lain menunjukkan bahwa tanpa adanya kebijakan pemutihan yang tegas, jelas, dan diputuskan di saat awal, akan sulit untuk meraih sukses. Semakin tertunda keputusan yang diambil, semakin besar kemungkinan gagalnya. Adapun pilihan kebijakan pemutihan yang ada sebenarnya sangat terbatas, sebagai berikut: 1. Pemberian amnesti umum yang menyatakan tindak pidana korupsi yang berlangsung sebelum tanggal tertentu dinyatakan tidak akan disidik. 2. Melaksanakan program "rekonsiliasi dan kebenaran" yang memberi "pengampunan" tindakan korupsi sebelum tanggal tertentu bila pelakunya secara sukarela menyatakan tobat, memberi pengakuan semaksimal mungkin, dan itu dilakukan dalam periode yang diatur program tersebut. 3. Hanya melakukan penyidikan tindakan korupsi yang dilakukan setelah periode yang ditentukan. 4. Tidak melakukan apa pun dengan asumsi akan mampu memberi kepuasan kepada masyarakat dengan memproses semua pengaduan yang masuk. Kebijakan pemutihan ini harus dipilih dan diberlakukan sebelum institusi semacam Badan Independen Antikorupsi dioperasikan. Pasalnya, bila lembaga penyidik korupsi yang memutuskan kasus apa yang diproses dan yang tidak, itu akan menerbitkan kecurigaan publik. Bila ini terjadi, efektivitas gerakan antikorupsi akan terpukul karena kehilangan dukungan orang ramai. Padahal, dukungan masyarakat adalah prasyarat penting upaya pembasmian korupsi. Itu sebabnya institusi antikorupsi harus menindaklanjuti semua pengaduan yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan sebelumnya. Setidaknya ada tiga alasan mengapa semua laporan masyarakat yang memenuhi syarat harus diproses. Pertama, karena mengacuhkan pengaduan akan membuat orang tidak kembali lagi untuk membawa bukti yang lebih kuat, bahkan membuat orang segan melapor di kemudian hari. Kedua, sering kali laporan yang kelihatannya sepele ternyata memberi hasil yang baik bila diinvestigasi. Ketiga, bila ada pengaduan yang memenuhi syarat yang diinvestigasi dan yang tidak, maka masyarakat akan bingung, curiga, dan kredibilitas lembaga penyidik tercemar. Itu sebabnya persyaratan layak-tidaknya sebuah laporan untuk disidik harus dibuat oleh instansi yang terpisah dan diberlakukan sebelum langkah operasional dilakukan. Persoalannya kemudian adalah pilihan kebijakan pemutihan yang manakah yang paling cocok untuk upaya pemberantasan korupsi. Pemberian amnesti umum untuk tindakan korupsi sebelum penggal waktu tertentu harus dibuat di bawah payung hukum. Batas waktu yang dipilih biasanya adalah sejak mulai berlakunya Undang-Undang Antikorupsi yang baru atau mulai beroperasinya badan penyidik korupsi yang dibentuk. Keputusan seperti ini acap kali menimbulkan dilema apakah semua tindakan korupsi sebelum tanggal yang ditentukan itu sama sekali tidak diproses secara hukum ataukah harus diberi kekecualian untuk perkara korupsi yang dinilai keterlaluan. Lantas, bila kekecualian itu diberlakukan, bagaimana kriterianya dan mekanismenya, dan siapa yang menentukan sebuah kasus itu berlebihan atau tidak? Ini adalah persoalan sensitif dan tidak mudah mencari jawabnya. Kendati demikian, ada beberapa patokan dasar yang dapat digunakan sebagai petunjuk. Pertama, tokoh atau kelompok yang diberi wewenang ini harus mempunyai integritas tinggi di mata publik. Kedua, mekanisme pengambilan keputusannya harus terpisah dari lembaga penyidiknya. Ketiga, keputusannya harus final. Selain itu mekanisme pengambilan keputusannya harus sedemikian rupa sehingga mudah dipercaya dan dicermati masyarakat, serta dilakukan oleh tokoh-tokoh dengan kredibilitas tinggi. Mereka bisa saja hanya tiga orang atau lebih dan dipilih dari profesi hakim, auditor, negarawan, atau tokoh agama dan adat. Tugas utama komite ini adalah menentukan apakah sebuah kasus korupsi yang terjadi di masa lalu harus dikeluarkan dari program amnesti atau tidak. Kasus-kasus yang diajukan ke komite ini berasal dari ketua badan independen antikorupsi, yaitu perkara yang oleh institusi pembasmi korupsi dinilai keterlaluan untuk mendapatkan amnesti. Dengan memberikan peluang untuk secara selektif mengeluarkan kasus-kasus serius dari program amnesti, kemungkinan kebijakan ini didukung oleh masyarakat luas menjadi lebih baik. Setidaknya, itu lebih mudah diterima dibandingkan dengan pilihan "rekonsiliasi dan kebenaran". Prinsip dasar program ini adalah pengampunan hanya diberikan bila ada pertobatan dan pengakuan. Metode ini cukup efektif untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia, tapi kurang pas untuk pidana korupsi karena tak jelas siapa korban tindakan itu dan kepada siapa rekonsiliasinya. Selain itu, pengampunan tanpa pengembalian harta kepada publik?setidaknya sebagian?akan sulit diterima rakyat. Sebaliknya, kecil sekali kemungkinan pelaku korupsi akan mengembalikan hasil kejahatannya. Para koruptor kemungkinan besar akan memilih untuk tetap mengelabui hukum ketimbang mengaku dan minta amnesti. Karena itu, kebijakan seperti ini sulit berhasil mencapai tujuannya. Kebijakan untuk hanya memproses tindak pidana korupsi yang dilakukan setelah tanggal tertentu juga punya beberapa kelemahan. Masyarakat akan cenderung menilai cara ini tidak benar dilihat dari segi moral: mengapa kejahatan yang sama mendapatkan perlakuan yang berbeda hanya karena terjadi di waktu yang berlainan? Adapun pilihan keempat, tidak melakukan pembatasan sama sekali, mempunyai daya tarik karena mengurangi risiko politik langsung. Kelemahannya adalah besar kemungkinan kebijakan seperti ini akan memastikan program antikorupsi yang dijalankan akan gagal dan tenggelam. Maka, tinggal mana yang lebih penting: menghadapi risiko politik menjalankan kebijakan pemutihan, atau risiko gagalnya program antikorupsi nasional. Apa pun pilihan yang diambil, masyarakat luas harus dilibatkan dalam memecahkan dilema memberikan pemutihan sebagai bagian dari program nasional dalam pemberantasan korupsi. Orang ramai harus mengerti mengapa amnesti merupakan salah satu pilar penting dalam upaya membebaskan sebuah negara dari kanker korupsi dan mengapa penundaan pengambilan keputusan soal ini berpotensi menghancurkan efektivitas program. Apalagi, jika pernyataan bahwa korupsi telah membudaya adalah benar?berarti nyaris setiap pejabat tercemar oleh kegiatan ini di masa lalu?program amnesti menjadi sebuah keniscayaan. Amnesti adalah sebuah pilihan yang tak mudah diterima khalayak ramai. Karena itu, sosialisasi dan debat publik soal ini wajib dilakukan dengan baik sebelum keputusan diambil oleh yang berwenang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus