Parsudi Suparlan*)
*) Antropolog dari UI yang mengadakan penelitian di Sambas
PADA 1962 sampai 1999 telah terjadi berbagai konflik massal antara Orang Madura dan Orang Dayak di Kalimantan Barat. Konflik massal pada 1999 merupakan konflik terbesar, karena saat itu konflik yang terjadi bukan semata-mata antara Orang Madura dan Orang Dayak, tetapi terutama antara Orang Madura dan Orang Melayu. Konflik massal pada 1999 itu juga merupakan konflik massal terakhir yang melibatkan Orang Madura, karena pada tahun tersebut orang-orang Madura terusir dari tempat tinggal mereka di Kabupaten Sambas, terkecuali yang hidup menetap di daerah Roban, Kota Singkawang.
Konflik massal antara Orang Madura dan Orang Dayak yang terjadi di Sampit dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sekarang ini, memberikan kesan kesamaan dengan apa yang telah terjadi di Kalimantan Barat. Kesamaannya terutama dalam pola penyerangan terhadap orang Madura sebagaimana yang dilakukan oleh orang Melayu dan Dayak terhadap mereka di Sambas pada 1999, yaitu bunuh orang-orangnya, hancurkan rumah dan harta bendanya, dominasi seluruh wilayah konflik dengan teror dan ketakutan, sehingga orang Madura harus mengungsi dari wilayah tersebut. Berbeda dengan orang Melayu, tokoh-tokoh Dayak di Kalimantan Tengah masih bersedia berdamai dengan orang Madura sebagaimana yang terjadi berulang kali di Sambas.
Kalau kita perhatikan dengan seksama, akan timbul pertanyaan mengapa kerusuhan massal pada tingkat bawah, baik yang antar-sukubangsa maupun yang bukan, selalu terwujud dalam bentuk kekerasan. Apakah ini bukan suatu gejala yang menunjukkan corak ungkapan politik golongan bawah? Dari berbagai kerusuhan massal antar-sukubangsa maupun yang bukan, yang terjadi selama dan setelah kejatuhan pemerintahan Orde Baru, dapat disimpulkan bahwa semua kerusuhan tersebut selalu didasari oleh adanya perasaan tertekan dan ketakutan yang meluas dalam masyarakat, serta dipicu oleh adanya perlawanan yang dilakukan oleh korban pemalakan, atau kejahatan, atau tindakan sewenang-wenang terhadap sumber kesewenang-wenangan tersebut.
Perlawanan yang dilakukan oleh perorangan berubah menjadi perlawanan oleh kelompok, dan berkembang menjadi perlawanan massal yang berupa amuk massal. Karena perlawanan yang dilakukan oleh perorangan tersebut merupakan keinginan yang mendalam dalam hati mereka yang juga merasakan penderitaan karena kesewenang-wenangan tersebut. Perlawanan yang kemudian berubah menjadi amuk massa tersebut dapat dilihat sebagai puncak dari keberanian untuk menghancurkan ketakutan dan teror yang mereka derita secara massal yang sudah tidak tertahankan.
Apa yang telah terjadi di Sambas antara Orang Madura dan Orang Dayak mungkin dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami apa yang sekarang terjadi di Kalimantan Tengah. Orang Madura di Sambas, Kalimantan Barat, dikenal sebagai pekerja keras yang ulet dan berani hidup menderita. Mereka telah datang dalam rombongan-rombongan kecil sebagai pekerja pembuat jalan sejak 1920-an sampai Perang Dunia II. Sedangkan pendatang sesudah itu datang sebagai perorangan atau ikut keluarga dan kerabat mereka. Sebagian dari mereka kembali ke kampung halamannya dan sebagian lainnya menetap di Sambas.
Pada umumnya mereka itu hidup sebagai buruh perkebunan, petani, dan berbagai kegiatan perdagangan serta jasa pelayanan (baik yang menurut jalan hukum maupun yang melanggar hukum). Mereka dikenal sebagai pemberani dan selalu menyelesaikan perselisihan dengan cara menggunakan senjata tajam untuk menghabisi nyawa lawannya. Orang-orang Madura ini cenderung hidup mengelompok, membangun desa atau kampung-kota sendiri yang eksklusif Madura, atau tinggal mengelompok dalam ketetanggaan yang Madura saja di kampung-kota. Permukiman orang Madura terpusat di langgar atau masjid, yang juga merupakan tempat anak-anak mereka belajar mengaji. Guru ngaji adalah tokoh masyarakat dan panutan di permukiman setempat. Di samping orang tua, guru ngaji adalah orang yang harus didengar kata-katanya dan orang tempat mereka berlindung di dunia dan akhirat.
Orang Madura juga dikenal oleh orang-orang dari berbagai sukubangsa sebagai sukubangsa yang kuat solidaritas sesama sukubangsanya?benar atau salah Orang Madura akan membela Orang Madura. Berbagai cerita mengenai pengalaman orang-orang Melayu dan Dayak dalam hidup berdampingan dengan orang-orang Madura mengesankan adanya teror dan perasaan ketakutan mereka terhadap Orang Madura, yang sewaktu-waktu dapat mencabut parang untuk menghabisi nyawa mereka.
Sebaliknya, Orang Dayak adalah sukubangsa yang menghargai kehidupan. Walaupun di masa lampau mereka dikenal sebagai sukubangsa pengayau dan suka berperang, kegiatan tersebut telah dihentikan sejak tahun 1894. Bila terjadi perselisihan atan perkelahian, yang bersalah harus membayar ganti rugi dan denda. Begitu juga bila satu pihak sampai terbunuh, yang membunuh harus membayar ganti rugi dan denda kepada keluarga yang terbunuh, yang harus dilakukan melalui serangkaian upacara adat.
Bila si pembunuh tidak menaati ketentuan ganti rugi dan denda, dan tidak mau melakukan upacara adat berkenaan dengan kematian lawannya, nyawa barus dibayar dengan nyawa. Dalam keadaan sadar, hati nurani Orang Dayak tidak akan mampu melakukan balas dendam: nyawa dibayar nyawa. Untuk itu mereka melakukan upacara nyaru tariu untuk memanggil kamang tariu atau roh panglima-panglima perang yang akan merasuki tubuh mereka. Dalam keadaan kemasukan kamang tariu inilah mereka mampu melakukan pembunuhan, bahkan kanibalisme.
Pembunuhan dan kanibalisme yang dilakukan oleh orang-orang Dayak terhadap setiap orang Madura yang ditemui, yang terjadi dalam setiap kerusuhan dengan orang-orang Madura, setelah terbunuhnya seorang Dayak oleh orang Madura, sebenarnya tidak harus terjadi. Yaitu, bila si orang Madura yang bersangkutan mau membayar ganti rugi dan denda serta menyajikan upacara adat bagi si mati dan keluarganya. Tetapi inilah yang tidak mungkin dilakukan karena alasan keyakinan keagamaan dan alasan kehormatan melalui kekerasan yang ada dalam nilai-nilai budaya Madura. Apakah mungkin nilai-nilai budaya yang semacam ini dapat diubah sehingga orang-orang Madura yang tidak tahu apa-apa atau yang tidak terlibat dalam kekerasan dan kesewenang-wenangan itu dapat terhindar dan dijadikan kambing hitam dan kambing korban untuk santapan para kamang tariu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini