BAK komandan pasukan, Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap memberi aba-aba agar rombongannya berdiri tegak. Lantas, secara serentak rombongan pejabat tinggi kehutanan itu membungkukkan badan ke arah para anggota DPR. "Ini sekadar untuk menunjukkan hormat kami kepada anggota Dewan yang telah bekerja keras," ujarnya. Penghormatan khusus di akhir sidang pleno DPR Kamis siang pekan lalu itu dilakukan setelah Departemen Kehutanan sebagai wakil pemerintah, dan DPR mencapai kata sepakat terhadap RUU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. "Tinggal menunggu pengesahan Presiden saja," kata Hasjrul Harahap kepada Ivan Haris dari TEMPO, seusai sidang. Diajukan ke DPR Januari lalu, RUU yang disepakati diberi sebutan RUU Konservasi Hayati (KH) itu cepat menggelinding. Pada mulanya RUU ini diajukan dalam format 11 bab dan 38 pasal. Setelah berulang kali didiskusikan, RUU itu mekar menjadi 14 bab dan 45 pasal. Kehadiran UU KH itu nantinya akan menggusur empat ordonansi (UU) warisan Belanda: ordonansi perlindungan binatang-binatang liar (1931), ordonansi perburuan (1931), ordonansi perburuan di Jawa dan Madura (1941), dan ordonansi perlindungan alam (1940). Hilangnya UU warisan Belanda itu tak membuat perburuan binatang liar bisa lebih leluasa. Lihat saja pasal 40 ayat 1 (bab XII) pada RUU Konservasi Hayati, tentang sanksi pidana yang bisa dijatuhkan terhadap pelanggar di kawasan inti zone taman nasional. Para durjana itu bisa dikenai ancaman pidana 10 tahun plus denda Rp 200 juta. Segala macam satwa serta tumbuhan langka, atau yang terancam kepunahan yang secara resmi dinyatakan dilindungi mendapat pengawalan ekstraketat dari UU KH itu. Dalam pasal 21, misalnya, disebutkan bahwa satwa langka itu tak boleh ditangkap, dilukai, apalagi dibunuh. Menyimpan, memelihara, atau memperdagangkannya pun dinyatakan haram. Pelanggaran atas larangan ini bisa pula diancam dengan hukuman berat: kurungan lima tahun ditambah denda sebanyak-banyaknya Rp 100 juta. Sanksi hukuman kurungan dan denda, dalam UU KH ini, memang sengaja dibuat tidak saling mengganti. "Kalau hanya denda saja, tak akan membuat pengusaha besar jera," kata H. Djamaluddin Tambunan, Ketua Panitia Khusus DPR yang mengolah RUU itu. Dibandingkan UU warisan Belanda yang akan segera tergusur itu, RUU KH memang terkesan lebih represif, sanksinya lebih keras. Namun, dalam soal pengamalannya, menurut Djamaluddin, RUU baru ini lebih luwes. Kelemahan UU Belanda itu, "Upaya konservasi hanya untuk tujuan konservasi," ujarnya. Segi pemanfaatan tak disebut-sebut. Sedangkan pada RUU KH, soal pemanfaatan sumber daya alam itu memperoleh ruang yang cukup longgar. Pada pasal 29, misalnya, disebut-sebut adanya kawasan pelestarian alam, yang terdiri dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Kawasan ini, seperti disebut pada pasal 30, antara lain berfungsi sebagai penyangga sistem kehidupan dan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan serta satwa. Namun, kawasan itu tidak dijadikan daerah tertutup. Sebuah kawasan taman nasional, misalnya, bisa dipilah-pilah menjadi zone inti, zone pemanfaatan, dan zone lain sesuai dengan keperluan. Tapi pemanfaatannya harus dilakukan dengan tetap menjaga keutuhan fungsi kawasan. Dari 143 juta ha hutan di Indonesia, yang dicadangkan sebagai kawasan konservasi saat ini ada sekitar 49 juta ha 19 juta ha untuk hutan suaka, dan 30 juta ha disisakan untuk hutan lindung, yang menjaga siklus tata air. Di situlah terserak 180 tempat cagar alam, 73 lokasi suaka margasatwa, 24 taman nasional. 3 lokasi hutan raya, dan 74 "kapling" hutan wisata. Di situlah pelbagai niat pelestarian sumber daya hayati bertumpu. Secara resmi pemerintah telah menetapkan 37 jenis tetumbuhan dan 539 jenis satwa ada dalam status langka yang dilindungi. Jumlah itu relatif sangat kecil di antara 25 ribu jenis tumbuhan berbunga, ditambah ribuan jenis tumbuhan jenis lain, dan 400 ribu jenis satwa darat, dan ribuan jenis satwa air, yang ada. UU KH ini kelak diharapkan bisa mendampingi UU Tentang Ketentuan-Ketentuan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan pada 1982, dalam menjaga lingkungan kita. Namun, baru lima tahun kemudian, 1987, lahir peraturan pelaksanaannya: peraturan pemerintah tentang Analisa Tentang Dampak Lingkungan. Apakah UU KH ini nantinya juga akan memerlukan waktu yang begitu lama sebelum bisa diterapkan di lapangan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini