Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Spora itu masih gentayangan

Ternak sapi perah di semarang dan boyolali, jawa tengah,diserang penyakit kuku dan mulut (antraks). penyakit ini ditangkal dengan suntikan antibiotik, dan pernah merajalela di indonesia pada 1956/57.

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA berkabung masih menggayut di rumah Muhtarom. Kematian si Jinten, sapi betina milik penduduk Desa Patemon, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, itu belum bisa mereka lupakan. Ketika dijumpai terkapar mati dua pekan lalu, sapi eks Amerika itu tengah bunting tua -- dari hasil kawin suntik. Kematian Jinten memaksa Muhtarom menyelenggarakan upacara khusus. Bangkai sapi itu dibakar hingga hangus, lalu dikubur dalam lubang sedalam dua meter. Kemudian, timbunan tanah "kubur" itu disiram dengan formalin 5%, sebuah upacara khas untuk melepas hewan yang menjadi korban penyakit antraks, alias penyakit kuku dan mulut. Antraks memang tengah merajalela di Kabupaten Semarang dan Boyolali, dua daerah yang menjadi plasma pelaksanaan PIR (Perusahaan Inti Rakyat) ternak sapi perah. Dalam program PIR itu, PT NAA (Nandi Amerta Agung) bertindak sebagai inti -- yang memberikan bantuan teknis pada peternak dan menampung produksi susunya. Sejak awal tahun lalu, 1.500 sapi tewas dan 50% di antaranya menjadi korban. Maka, sejak awal Juli, Dinas Peternakan Ja-Teng menyatakan tiga desa di Boyolali, Jlaren, Kembang, dan Jeruk, tertutup untuk lalu lintas ternak sapi, kambing, dan kuda, lantaran dianggap daerah yang terjarah antraks paling serius. Kepastian berjangkitnya antraks datang setelah tim dari Balai Penelitian Veteriner Yogya turun ke lapangan Mei lalu. Dari sejumlah korban yang diotopsi, diperoleh bukti bahwa sapi-sapi itu mati dengan limpa yang memar meradang. Di situ dijumpai Bacillus antraksis, bakteri yang berbentuk batang persegi. Menurut drh. Surahmad, Ketua Tim Pelaksana Penanggulangan Antraks dari Dinas Peternakan Ja-Teng, antraks bisa menular dari hewan ke manusia, atau sebaliknya. Penularan ke manusia bisa dengan pelbagai cara, lewat daging hewan yang tercemar kuman antraks, lewat luka pada kulit, atau bisa lewat saluran pernapasan. Akibatnya sama: korban mengalami peradangan limpa. Sejauh ini, korban manusia belum terdengar. Kuman antraks selain berkembang dengan membelah diri juga mampu membentuk spora, yang kemudian tumbuh menjadi kuman baru. Celakanya, spora yang terbentuk itu sanggup bertahan sampai puluhan tahun, dalam pelbagai kondisi cuaca. Antraks pernah merajalela di Indonesia pada 1956-57, menyebar kematian ternak di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Jawa/Madura. Di Ja-Teng, ketika itu, basis serangan bakteri Bacillus antraksis itu ada di Wonosobo dan Surakarta. Surahmad menduga bibit antraks itu terbawa dari kedua daerah itu. "Ada kemungkinan penyakit itu terbawa lewat jerami padi yang berasal dari daerah yang dulu terkena," ujarnya. Penangkalan antraks pun dilakukan secara masal. Suntikan antibiotik empat hari berturut-turut telah diberikan kepada 6.200 sapi plasma dan 6.200 sapi inti. Kandang-kandang dibersihkan dengan semprotan formalin 5%. Mobil yang keluar-masuk ke permukiman sapi pun harus dicuci pula dengan larutan disinfektan itu. Hasilnya pun tampak. Pada minggu pertama Juni, kematian sapi di dua kabupaten itu ada 55 ekor, tapi pada minggu pertama Juli menyusut menjadi 9 ekor. Pada sisi lain, produktivitas susu meningkat dari 23,5 ton menjadi 24,7 ton. Namun, sudah amankah keadaannya? Tak ada yang berani memberi jaminan. Spora-spora antraks bisa jadi masih terus gentayangan. Dan mereka akan membuat ledakan jika memperoleh tempat yang cocok: lingkungan sapi-sapi kurus yang kurang gizi. Seperti dikeluhkan oleh banyak peternak Boyolali, biaya pakan sapi yang mestinya ditanggung pihak NAA -- besarnya Rp 2.800/ekor per hari -- sampai ke tangan petani tidak utuh. Apa boleh buat, sapi-sapi kekar asal Amerika itu harus makan dengan mutu di bawah standar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus