Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Teror telepon hitam

Pengarang : kyusako yumeno. pemain : yoko hayani, takeshi kadota, tatsukhito otomo, akemijyo, tatsuo shimizu, ao sorano. sutradara : yu dakehara. resensi oleh : putu wijaya.

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ITO-DEWO Pengarang: Kyusaku Yumeno Pemain: Yoko Hayami, Takeshi Kadota, Tatsuhiko Otomo, Akemijyo, Tatsuo Shimizu, dan Ao Sarano Sutradara: Yu Dakehara Produksi: Genjitsu Gekijo Gedung Kesenian Jakarta, 19-21 Juli 1990 SETELAH menampilkan Kyogen -- komedi klasik Jepang -- pada Maret lalu, Gedung Kesenian Jakarta menampilkan Genjitsu Gekijo. Teater eksperimental ini didirikan oleh Yu Dakehara, 35 tahun, di Osaka 13 tahun yang lalu. "Kelompok ini banyak dipengaruhi oleh Shuji Terayama, pelopor teater avant-garde Jepang," tulis Takeshi Komiyama, Direktur Pusat Kebudayaan Jepang, dalam buku acara. "Benar kami ini generasi kedua Terayama," kata salah seorang anggota kelompok itu. Terayama kelahiran Aomori (1936-1983) mula-mula terkenal sebagai penulis drama pembaru. Ia juga seorang kritikus, penulis skenario, novel, esei, penyair, dan sutradara film. Tokoh-tokoh utama dalam dramanya umumnya anak-anak. Mereka melakukan perkosaan, pembunuhan, dan berbagai tindakan kekerasan yang merusak secara total, demi keluarga. Pertunjukannya adalah teror yang menekan ruang pertunjukan dengan kekasaran yang tanpa tedeng aling-aling. Termasuk "menyerang" penonton secara fisik. Pertunjukan baginya bukan menciptakan khayalan atau pameran keterampilan bermain, tapi membangkitkan "pengalaman yang kacau-balau". Bagaimana dengan Genjitsu Gekijo yang kali ini memilih lakon Ito Dewa (Telepon Hitam)? Apakah rombongan yang memilih kisah cinta yang "fantastis dan misterius" ini setegar teror Terayama? Pengarang kontemporer Jepang Kyusaku Yumeno menulis Ito-Dewa berdasarkan empat cerita fantastis (Orang Gila Tertawa, Mimpi Aneh, Wajah Seorang Lelaki, Cerobong Tanpa Asap). Naskah itu dimainkan oleh Yoko Hayami sebagai tokoh sentral. Dua pemain pria sudah mulai beraksi di panggung sebelum lampu-lampu auditorium padam. Mereka bergerak perlahan-lahan sekali, lembut dan intens. Mengenakan kostum masa kini dengan dekorasi panggung yang sederhana tetapi sugestif, mereka terasa menekan ruangan. Kemudian di balkon nampak seorang wanita, memakai pakaian tradisional Jepang, bagaikan sosok boneka. Ia membawa balon kertas dan mengucapkan ucapan-ucapan monoton. Berbicara dengan Tuan "Blue Tie" di atas meja kerjanya yang mengaku melihat wajah wanita itu di bulan, lewat jendela. Prolog yang puitis itu disusul dengan munculnya sosok wanita tua (Yoko Hayami) menarik tali telepon perlahan-lahan ke tengah panggung. Inilah "pahlawan" lakon ini. Ia teringat pada masa lampaunya, ketika bercinta dengan Tuan "Blue Tie". Yoko Hayami yang memerankan tokoh nenek itu dengan baik, selanjutnya terus memimpin panggung dengan menanggalkan "usia tua"-nya, menjadi wanita muda. Gerak-geriknya menjadi lincah. Vokalnya terampil. Ia menjalankan tugasnya dengan baik. Cerita yang tak sempat tertangkap jelas, karena perbedaan bahasa -- kendati sudah dituntun oleh teks cerita dalam bahasa Indonesia -- sebenarnya tidak terlalu mengganggu. Dalam iringan musik yang rajin dan cermat, suasana merambat dari satu nuansa ke nuansa yang lain. Para pemain tekun, tak terpengaruh oleh penonton yang tipis. Kita melihat beberapa adegan menarik. Misalnya ketika wanita muda itu nampak seperti melakukan pembunuhan. Sebuah silhuet merah menggelepar-gelepar di kertas jendela. Atau ketika dua orang lelaki berbicara dengan seorang perawat di balkon, perawat lain melakukan "semacam" upacara minum teh dengan memakai sebuah teko putih yang memberi kesan sarkatis. Pada bagian terakhir, wanita itu ditemani seikat kembang putih, bersimpuh di panggung. Dan terdengar vokal wanita membawakan sebuah lagu jazz dengan sendu. Lama. Yang menarik balon-balon kertas berjatuhan dari atas memenuhi lantai panggung. Buat yang berharap menemukan teror total, pertunjukan ini mungkin terlalu formal dan manis. Juga buat yang ingin menemukan akar -akar tradisi teater Jepang, mungkin belum cukup terpuaskan. Tidak seperti Kyogan yang kocak atau Byakosha (bermain di TIM awal tahun 1980-an) yang amat visual -- Genjitsu Gekijo terasa belum keras jotosannya. Sebagai kelompok alternatif, buat saya, mereka masih dalam proses pemantapan, belum sampai puncaknya. Meskipun memang puitis, Telepon Hitam tak sempat mengiris. Yang menonjol adalah seni akting dan kerapiannya. Sambungan suasana direkat dengan baik sekali oleh musik dan lampu. Pemain-pemainnya memiliki vokal yang bagus, khususnya pemeran utama. Semuanya tampil tekun dan energetik. Berbeda dengan teater-teater eksperimental lokal yang amat bergantung pada ide sutradaranya, kelompok ini memiliki anggota yang siap pakai, sebagai aktor. Dari sudut itu, mereka terasa lebih. Kehadiran pertunjukan teater yang serius ini sebenarnya penting di tengah trend teater kita yang sedang menuju pada dagelan. Genjitsu Gekijo jelas melawan arus hiburan. Seperti yang dilakukan oleh Teater Sae (Budi Otong) dan Teater Kubur (Dindon) -- keduanya asal Jakarta -- Genjitsu Gekijo berusaha membaktikan teater pada pencarian pengucapan baru. Sayang sekali, pertunjukan yang cukup menarik untuk dibicarakan ini sepi penonton, seperti nasib pertunjukan Kyogan dahulu. Benarkah Gedung Kesenian Jakarta terlalu mahal? Atau sedang ada kemerosotan drastis pada apresiasi penonton kita? Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus