Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Solusi Janggal Menutup Tempat Sampah Ilegal

Upaya pemerintah menutup TPS dan TPA sampah ilegal dinilai bukan solusi dalam pengelolaan sampah. Hulu sumber sampah diabaikan.

31 Desember 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana di Tempat Pembuagan Akhir (TPA) yang telah disegel di Telukbetung Timur, Bandar Lampung, Lampung, 29 Desember 2024. ANTARA/Ardiansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Langkah Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq yang gencar menutup tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah ilegal di sejumlah daerah dianggap janggal.

  • Munculnya tempat penampungan sementara (TPS) sampah dan TPA sampah ilegal di banyak daerah itu terjadi karena ketiadaan peran pemerintah dalam membangun tata kelola penanganan sampah.

  • Ketimbang menyegel tempat-tempat sampah, kata Daru, semestinya pemerintah lebih tegas dalam menerapkan tanggung jawab produsen yang diperluas (EPR) sesuai dengan Undang-Undang Pengelolaan Sampah.

DARU Setyorini menganggap janggal langkah Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq yang gencar menutup tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah ilegal di sejumlah daerah. Menurut Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton) itu, munculnya tempat penampungan sementara (TPS) sampah dan TPA sampah ilegal di banyak daerah terjadi karena ketiadaan peran pemerintah dalam membangun tata kelola penanganan sampah. Penutupan tersebut sekadar jalan pintas mengurangi polusi udara dari pembakaran sampah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Justru pemerintah daerah yang tidak menjalankan tanggung jawab menyediakan layanan pengelolaan sampah,” kata Daru ketika dihubungi pada Senin, 30 Desember 2024. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya anggaran pemerintah untuk pengelolaan sampah. Menurut catatan Ecoton, di setiap daerah, alokasi pengelolaan sampah dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah hanya 0,3-1 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rendahnya penganggaran berdampak pada minimnya infrastruktur layanan persampahan. Daru mengatakan fasilitas umum yang dibangun pemerintah hanya mengakomodasi 30 persen timbulan sampah. Adapun 70 persen sampah tidak terkelola berakhir dibuang ke sungai atau laut.

Menteri Hanif sejak beberapa bulan terakhir getol menutup TPS dan TPA ilegal. Penutupan teranyar terjadi di TPA Sampah Bakung, Kota Bandar Lampung, Lampung, pada Sabtu, 28 Desember 2024. Penyegelan dilakukan Hanif lantaran TPA Bakung menjadi sumber pencemaran. “Pasti cairan lindinya tidak terkelola dengan baik, jadi sudah cukup kita merusak lingkungan,” ujar Hanif ketika diwawancara di Lampung.

Truk pengangkut sampah melintas di dekat tempat pembuagan akhir (TPA) yang telah disegel di Telukbetung Timur, Bandar Lampung, Lampung, 29 Desember 2024. ANTARA/Ardiansyah

Penyegelan tempat sampah ilegal juga terjadi di kota-kota besar, khususnya di wilayah DKI Jakarta, Bogor, dan Depok. Menurut Hanif, tindakan ini dilakukan sebagai upaya menurunkan polusi dan memperbaiki indeks kualitas udara, khususnya di kota-kota besar. Program tersebut merupakan bagian dari kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Ketimbang menyegel tempat-tempat sampah, kata Daru, semestinya pemerintah lebih tegas dalam menerapkan tanggung jawab produsen yang diperluas (EPR) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Di dalamnya berisi kewajiban produsen untuk bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari produk yang dihasilkan. Prinsip ini merujuk pada traktat yang dibangun oleh Konferensi Tingkat Tinggi Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan pada 2002.

Turunan penerapan EPR adalah keharusan produsen membangun peta jalan pengurangan sampah. Tujuan besarnya adalah mewajibkan produsen menarik kembali sampah plastik yang mereka produksi. Persoalannya, masih banyak produsen tak patuh untuk bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan. “Padahal sampah mereka sudah pasti membebani anggaran negara untuk mengelolanya,” ucap Daru.

Daru menyebutkan besaran sampah plastik dalam bauran sampah mencapai 20-40 persen dari produksi sampah nasional. Data Ecoton lebih besar ketimbang catatan Kementerian Lingkungan Hidup yang menemukan 18,71 persen plastik dalam 69,9 juta ton sampah sepanjang 2023. Dari jumlah tersebut, hanya 9 persen sampah yang dapat didaur ulang. Sisanya dibakar atau menggunung di tempat pembuangan.

Selain mempersoalkan tanggung jawab produsen, Daru menagih tanggung jawab pemerintah untuk mendorong pelibatan masyarakat. Undang-undang yang ada disebutkan hanya mewajibkan tanggung jawab pemerintah daerah mengumpulkan sampah dari TPS menuju TPA. Sedangkan sampah industri dan rumah tangga tidak diakomodasi sehingga sering dibuang di sembarang tempat.

Laporan Climate & Clean Air Coalition menyebutkan sekurang-kurangnya 3 miliar penduduk bumi tidak memiliki akses ke fasilitas pembuangan sampah yang terkendali. Hal ini yang menyebabkan 26 persen sampah global dibakar pada tingkat rumah tangga dan 15 persen dibakar secara spontan di tempat pembuangan. “Pembakaran melepaskan partikel halus, termasuk karbon hitam dan zat beracun lain,” demikian organisasi nirlaba di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut menulis.

Pelepasan karbon hitam ke udara dikenal juga sebagai jelaga—merupakan komponen utama polusi udara partikulat halus (PM2.5). Karbon hitam dalam skala besar dapat menghangatkan atmosfer karena sangat efektif menyerap cahaya. Hal ini memperburuk pemanasan udara, terutama mempercepat peningkatan suhu bumi.

Menteri Lingkungan Hidup RI Hanif Faisol Nurofiq meninjau Tempat Pembuangan Akhir Burangkeng di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 1 Desember 2024. ANTARA/Fakhri Hermansyah

Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik Tiza Mafira turut melihat adanya kekosongan regulasi dalam pengaturan sampah plastik di Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan negara-negara lain yang menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar sejak 10 tahun lalu. “Saya berpikir ada kebijakan di Indonesia yang dipakai untuk pencegahan sampah plastik dari hulu,” ucap Tiza.

Beruntungnya, dia mulai berhasil mendorong pemerintah daerah menyusun aturan ihwal pelarangan kantong plastik. Saat ini sudah lebih dari 100 kabupaten dan kota mengimplementasikan diet kantong plastik sekali pakai. Di Jakarta, hampir 100 persen supermarket dan gerai modern sudah tidak memberikan kantong plastik. Hanya, gerakan ini masih belum efektif di tingkat pasar tradisional atau toko online.

Tiza juga menyoroti ihwal pengelolaan sampah di hilir dengan teknologi bahan bakar jumputan padat alias refuse-derived fuel (RDF). Teknologi ini menjadi bahan bakar alternatif yang dihasilkan dari pengolahan sampah anorganik atau sulit terurai. Meski dapat mengurangi sampah, RDF dinilai masih menghasilkan emisi dan diharapkan hanya menjadi pilihan terakhir bila tidak ada opsi lain.

Menteri Hanif belum berkomentar ihwal kebijakannya menutup TPS dan TPA ilegal yang dinilai tak tepat sasaran dalam mengurangi sampah. Pesan yang dikirim ke telepon selulernya hanya dibaca tanpa berbalas. Hanif sebelumnya menjelaskan, kementeriannya akan menghentikan 60 titik pembakaran sampah yang menjadi sumber utama polusi.

“Kami punya waktu satu sampai dua tahun ke depan untuk menyelesaikan semua masalah sampah di TPA,” ucap Hanif dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengelolaan Sampah 2024 di Jakarta, 12 Desember 2024. Target ini ditetapkan untuk mengatasi kegiatan TPA open dumping atau sistem pengelolaan sampah yang dilakukan tanpa perlakuan khusus. Kini sudah ada beberapa TPA yang menggunakan metode open dumping ditutup karena dinilai merusak lingkungan.

Irsyan Hasyim berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus