ILMU sosial mengamati kehidupan bermasyarakat kemudian menafsirkannya. Dalam mengamati dan menafsirkan itu, ia dikurung oleh satu konvensi aturan permainan yang disebut teori, metodologi, dan metode. Waktu mengamati, ia mengambangkan satu strategi yang disebut penelitian, yang juga harus menuruti konvensi teori, metodologi dan metode. Dalam meneliti, ia boleh mengacu pada teori dan membuktikannya, menyetujuinya, atau tidak menyetujuinya. Atau ia boleh juga memunculkan sendiri teori baru. Ia boleh apa saja asal bergerak dalam jalur konvensi itu. Apakah sesudah mengamati dan menceritakan penafsirannya ilmu sosial lantas menemukan realita sosial? Kebenaran sosial yang benar-benar? Mungkin dan tidak. Itu bergantung kepada bagaimana rapi dan jali ilmu sosial mengembangkan langkah-langkah strateginya. Itu bergantung pula kepada bagaimana ilmu sosial pintar menceritakan penafsirannya. Tetapi "benar" atau "tidak benar", agaknya, tidak atau bukan yang terpenting dalam ilmu sosial. (Barangkali juga pada semua ilmu). Yang dianggap penting dan terpenting bagi ilmu sosial adalah exercise, jalannya, prosesnya, laku. Proses, laku, itu disebut "ilmiah" bila ia sudah berjalan menurut konvensi yang sudah disebutkan tadi. Jadi, dus, ilmu sosial boleh ternyata "tidak benar" asal sudah berjalan menurut aturan permainan. Maka, segepok penelitian dan ramalan ilmu politik boleh menyimpulkan bahwa Amerika akan menang dalam perang Vietnam, tetapi ternyata tidak benar. Seonggok penelitian dan kesimpulan sosiologi boleh mengatakan satu perkampungan kumuh di Jakarta boleh digusur demi kesehatan paru-paru seluruh penduduk kota metropolitan Jakarta, sedang kenyataannya belum tentu benar. Tentu saja tidak semua laku ilmu sosial terbukti "tidak benar". Banyak sekali temuan ilmu sosial "benar" dan diterima orang dengan kepala mengangguk-angguk. Masalahnya siapa yang harus mengatakan suatu temuan ilmu sosial "benar" atau "tidak benar". Barangkali itulah permasalahannya. Tadi dikatakan bahwa "benar" atau "tidak benar" tidak atau bukan yang terpenting. Yang penting adalah exercisenya, prosesnya, lakunya, sepanjang konvensi ilmu. Tetapi kalau ternyata akhirnya banyak orang mengatakan kesimpulan dan ramalan suatu studi ilmu sosial "tidak benar" bagaimana? Kalau begitu, yang terpenting bukan exercise atau laku, atau pernyataan suatu temuan ilmu sosial terbukti "benar" atau "tidak benar". Mungkin yang terpenting adalah tersedianya kesempatan luas bagi orang untuk melakukan laku ilmu sosial, dan terjaminnya ruang bagi orang untuk menyatakan suatu kesimpulan temuan laku ilmu sosial "benar" atau "tidak benar". Ngelmu iku kalakone kanti laku, kata Serat Wedhatama. Ilmu itu terjadi dengan laku. Barangkali laku di sini berarti lebih daripada exercise atau proses saja. Mungkin Mangkunegara IV, penulis Serat ini, menuntut suatu exercise keras dengan segala keprihatinan. Laku memang bisa dibayangkan sebagai suatu perjalanan jauh berliku-liku, dan banyak tantangan. Tetapi Mangkunegara IV bukanlah seorang demokrat. Ia adalah seorang raja (kecil) yang memiliki kekuasaan absolut. Mungkin laku ilmu yang dibayangkannya adalah laku ilmu dari rakyatnya yang mesti selalu hidup dengan penuh prihatin. Adapun tentang temuan ngelmu itu "benar" atau "tidak benar" mungkin hanya Mangkunegara IV dan elite birokrasinya yang boleh menetapkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini