Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ancaman Jamur Pikuk

Tanaman kubis di jawa barat diserang hama akar pikuk (gada). belum diketemukan obatnya. (ling)

7 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-HARI ini Amir, 55, cuma bisa termenung. Matanya sayu memandangi tanaman kubisnya yang layu, menguning, dan sebagian kering. Petam sayur dari Kampung Panyaweuyan, Cianjur, Jawa Barat, itu sebenarnya sudah melihat gejala-gejalanya sejak tiga tahun lalu. "Tapi, ketika itu, hanya beberapa pucuk saja yang layu," kata bapak sembilan anak itu. Pusing dengan nasibnya, Amir membiarkan saja tanaman seluas 2.000 m2 itu. Lain halnya dengan Baharuddin, 38, tetangga Amir, yang kubisnya bernasib sama. la kini menanam labu meski hasilnya jauh lebih kecil. "Dari penjualan kubis, saya mampu membeli rumah seharga Rp 1,5 juta. Tapi, tak apalah, daripada rugi sama sekali," ujarnya. Nasib malang itu tidak hanya menimpa Amir dan Baharuddin. Hampir seluruh areal tanaman kubis di Jawa Barat, sekitar 7.800 hektar, sudah terserang hama. Menurut para ahli di Balai Penelitian Tanaman Hortikultura di Lembang (Bandung) dan Segunung (Cianjur), penyakit yang menyerang kubis itu disebut akar pikuk atau akar gada. Hama itu lebih jahat dibanding wereng. "Wereng masih bisa dilihat dengan mata telanjang, sedangkan hama akar pikuk hidup tersembunyi di dalam tanah," kata Ir. Suhardi, kepala Subbalai Penelitian Hortikultura Cianjur. "Celakanya, tanah yang sudah tercemar hama itu paling sedikit selama 15 tahun tidak bisa ditanami kubis." Suhardi, 36, memperkirakan, cepat atau lambat, penyakit itu akan menular ke seluruh areal perkebunan kubis di Indonesia baik melalui bibit, tanah, maupun lewat tanaman lain, seperti kentang, yang mengandung atau ditempeli hama itu. Para petani menduga, penyebabnya pupuk kandang. Tapi, menurut para ahli pertanian, penyakit kubis itu disebabkan sejenis cendawan yang disebut Plasmodiophora brassicae. Jamur yang hanya bisa diamati dengan mikroskop itu menyelinap ke dalam akar lewat bulu-bulu akar yang sangat halus, lalu berkembang biak dalam sel-sel akar. Bentuknya bulat, warnanya bening, berkembang biak dengan cara vegetatif dan generatif. Kubis yang terserang penyakit ini, sel-sel akarnya membengkak sebesar telur burung. Bahkan, ada yang sebesar telur ayam. Pembengkakan inilah yang menghalangi penyaluran zat makanan dari akar ke daun, sehingga daun menjadi layu. Adapun ciri kubis yang penyakitan: kerdil, tidak segar, tidak tahan panas, dan daunnya berwarna hijau pucat. Dalam waktu 10 hari, kubis malang itu layu, lalu mati. Kubis yang terserang biasanya yang berumur 20-40 hari - ketika sedang mekarmekarnya dan membutuhkan zat makanan yang banyak. Itulah yang membuat para petani gelisah karena kubis biasanya baru bisa dipanen setelah berumur lebih dari empat bulan. Penyakit akar pikuk pertama kali ditemukan oleh Michael Stepanovitch Woronin seorang sarjana Rusia, pada 1872, di daerah pertanian pinggiran kota St. Petersburg. Tapi cendawannya sendiri baru ditemukan Woronin lima tahun kemudian. Tak lama kemudian, penyakit yang disebut Cabbage hernia (kubis burut) alias Club root (akar bengkak) ini sudah pula menyerang daerah pertanian di Inggris, Jerman, Denmark, dan Jepang. Dalam kongres internasional mengenai penyakit tanaman di Melbourne, Agustus 1983, penyakit kubis ini ramai dibahas. Beberapa negara berusaha membasmi penyakit kubis burut ini. Misalnya, mensterilkan tanah persemaian dengan mencampurkan 1.000 mg tepung benomyl atau benlate untuk satu kilogram tanah. Untuk penanaman di ladang-ladang, dilakukan dengan cara mencelupkan akar kubis ke dalam cairan HgCI2 (mercurius chlorida), yang juga disebut senyawa air raksa, sebanyak 5%--10%. Supaya obat ini mudah menempel pada akar, cairan itu ditambah dengan perekat (biasanya methyl celulosa) sebanyak 10%. Di Indonesia obat semacam itu belum pernah dicoba. "Belum diizinkan Komisi Pestisida Direktorat Perlindungan Tanaman," ujar Suhardi. Di Inggris penggunaan senyawa air raksa mulai dilarang karena berbahaya bagi kesehatan manusia. "Bisa merusakkan kulit kita," kata Suhardi. Sebagai penggantinya, petani Inggris menggunakan cairan quintozene, yang lebih aman Di Indonesia penyakit burut kubis ini ditemukan di daerah Sukabumi pada 1950. Ketika itu belum terlihat keganasannya. Tapi, 6 tahun kemudian, jamur pikuk ini mulai menanas di Desa Cibogo, Lembang. Ketika itu Suhardi sempat mengecek ke lapangan lantas melaporkannya dalam buletin Penelitian Hortikultura. "Tapi belum ada reaksi apa-apa dari pemerintah. Tak pernah ada usaha penanggulangan, seolah-olah tanaman kubis dibiarkan begitu saja," kata Suhardi kesal. Tahun ini keadaannya sudah eksplosif. Menurut Suhardi, penyakit kubis ini sudah pula menyerang daerah pertanian di Tanah Karo, Sumatera Utara. Maka, Sahata Sipahutar, kepala Balai Benih Induk Hortikultura Sumatera Utara di Kutagadung, Berastagi, tak tinggal diam. Ia pun turun ke lapangan dan menemukan cendawan yang juga populer dengan nama patogon itu. Menurut Sahata, jamur itu muncul di Sumatera Utara pada Januari 1982. Bulan-bulan berikutnya mulai tampak keganasannya, terutama di Tanah Karo. Karena obat yang mujarab belum ditemukan, tak bisa lain bagi Sahata dan stafnya kecuali menanjurkan para petani mencabuti tanaman kubis yang malang itu, dan menggantinya dengan kentang, tomat, cabai, atau palawija. "Soalnya, jamur patogon hanya menyerang sayur-mayur yang berfamili Brassicaeae saja, seperti kubis, sawi, kubis bunga, dan selada," ujar Sahata. Salah satu usaha Sahata ialah mensterilkan tanah persemaian dengan menyiramkan air panas. Kemudian disiram lagi dengan obat-obatan kimiawi, seperti Vapam. "Tapi itu hanya pertolongan pertama, sebab jamur patogon mampu bersembunyi dalam tanah selama 15 tahun." Tanah Karo memang gudang kubis. Dari sanalah kubis diekspor ke Singapura. Tapi, gara-gara penyakit ganas ini, mungkin kelak kita mesti mengimpor kubis. Luas perkebunan kubis di Indonesia sebenarnya lumayan. Menurut data terakhir (1981) sekitar 33.000 hektar. Areal terluas di Jawa Barat 7.800 hektar, menyusul Jawa Tengah 7.000 hektar, kemudian Sumatera Utara 1.700 hektar. TAK hanya petani yang gelisah terhadap hama akar pikuk. Para ahli pertanian pun penasaran. Sebab, jamur patogon mempunyai 18 ras yang sifatnya berbeda satu dengan yang lain. Dengan satu ras dilumpuhkan, belum tentu seluruh ras bisa dilumpuhkan. "Ras-ras itu sangat dominan dan memiliki sifat pathogenitas (daya rusak) yang kuat," kata Suhardi. Sejak awal 1983 beberapa upaya sudah diterapkan, tapi hasilnya belum Juga memuaskan. Usaha yang dilakukan, misalnya, mensterilkan tanah dengan mencampurkan cairan Vapam, seperti yang dikerjakan di Sumatera Utara. Kemudian juga meningkatkan pH (tingkat keasaman tanah) dari 5-6 menjadi 8,1, dengan jalan pengapuran. Tapi, karena jamur patoon sangat kerasan bersembunyi dalam tanah selama belasan tahun, para ahli menganjurkan agar petani melaksanakan rotasi tanaman untuk mengurangi risiko terserang jamur itu. Selama 15 tahun, tanah yang tercemar penyakit itu tidak ditanami kubis, tetapi diganti dengan wortel, kentang, dan sejenisnya. Rotasi tanaman seperti itu juga dianjurkan Ir. Sudiro, kepala Seksi Hortikultura Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat. "Penyakit semacam itu muncul karena tanah terlalu lelah tidak ada rotasi tanaman, tak ada usaha pengapuran. Andai kata petani mau melakukan rotasi, misalnya kubis-palawija-kubis, maka penyakit itu bisa ditekan," katanya. Masalahnya, selama ini para petani hanya berorientasi pada pasar: menanam kubis jauh lebih menguntungkan daripada selada atau sawi. Tapi, kalau penangkal mujarab akar pikuk masih belum ditemukan, bukan tak mungkin sebentar lagi kita harus mengimpor kubis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus