SUKASRANA-SUMANTRI Penata Tari: Sal Murgiyanto Penari : Ben Suharto, Sal Murgiyanto, Sulistyo, Retno Maruti, Sardono Produksi : Jaya Budaya MELALUI wangi melati dan asap dupa, suasana Jawa hendak disertakan dalam pergelaran Sukasrana-Sumantri, 31 Desember 1983 dan I Januari 1984 yang lalu. Sayang, suasana itu dirusakkan oleh bunyi lonceng Westminster di Gedung Teater Utama Taman Ismail Marzuki,Jakarta, dalam malam pergelaran pertama, yang mungkin memang dimaksudkan untuk menyambut tahun baru. Kisah kakak beradik Sukasrana-Sumantri itu sendiri sudah penuh konflik. Dan dari situ muncul keharuan. Sang kakak, Sumantri, adalah seorang yang rupawan, pandai, dan amat mahir berolah jurit. Sedangkan sang adik, Sukasrana, amat sakti, tetapi buruk rupanya. Ia kerdil, buncit, dahinya mengangah merah, dan wajahnya bagaikan raksasa. Mereka anak resi, digembleng di pertapaan. Suatu hari tiba saatnya ketika Sumantri menginjak dewasa dan ilmunya sudah cukup. Ia dikirim ayahnya untuk mengabdi kepada raja tersakti penjelmaan Wisnu, Arjuna Sasrabahu di Mahispati. Cerita berkisar pada pokok ini: pengabdian yang penuh ambisi dari Sumantri kepada raja Mahispati, dan hubungan cintanya dengan Sukasrana. Terasa bukan kebetulan bahwa pergelaran ini disebut drama tari. Memang nilai dramatis sangat ditampilkan, dengan perangkat tari, sastra, dan karawitan. Momen-momen dramatis satu demi satu diuntai pada jalur pembacaan macapat (bentuk puisi Jawa yang ditembangkan). Pada awalnya adalah pembacaan dua bait yang bercerita tentang kedua bersaudara itu oleh narator yang duduk di deretan para penyaji karawitan, dlatar belakang pentas. Sukasrana dan Sumantri masuk dari kanan, menarikan kisah persahabatan dan kasih. Kakak beradik itu keluar pentas ke sebelah kiri bersamaan dengan selesainya pembacaan bait-bait pembuka. Suasana hening dari alam asal mereka itu akan segera berganti. Tersebutlah pusat kegiatan dunia. Di Mahispati, Sumantri (yang diperankan Ben Suharto) memberikan pengabdiannya yang pertama kepada raja. Ia memenangkan peperangan, memboyong putri Citrawati bersama pengiringnya dari Magada, untuk diJadikan permaisuri Mahispati. Adegan dimulai dengan tari bersama "raja seribu negara", dalam kelompok empat penari gagahan dan tiga alusan, diiringi sebuah tembang sebagai bawa (tembang awal, pemanggil). Disusul dengan sebua gending, ketika Sumantri tampil datang mengiringkan. Citrawati dan putri domas ke hadapan Arjuna Sasrabahu. Dalam kostum anggun bergaya keraton Citrawati (yang diperankan Retno Maruti) dan Arjuna Sasrabahu (Sulistyo), berduet di tempat. Mereka mencoba membuat variasi gerak-gerak menengadah dan amat merunduk, yang ada dalam tari bedaya Surakarta. Duet serempak ini, diiringi "tembang dalam gending", mengutarakan sambutan Arjuna atas kedatangan Sumantri. Duet berakhir, Arjuna Sasrabahu meneruskan dialog dengan Sumantri. Lalu Sumantri, yang sedang mabuk kemenangan, menyatakan tantangannya. Pentas pun sepi. Hanya tinggal Sumantri dan Arjuna, dua kesatria mahasakti yang siap bertanding untuk menentukan siapa lebih unggul. Perang tanding itu berkepanjangan. Mulai dengan gaya narasi dengan iringan instrumen-instrumen lembut, disusul gending yang "hidup" dengan seluruh instrumen. Lalu terdengar gendmg kemanak mengiringi tarian Brahala, seorang raksasa mahabesar perwujudan Arjunasasra yan sedan marah. Dalam saat kritis, ketika Brahala hampir menghabisi Sumantri, muncul Citrawati datang melerai dengan tembahg Durma palaran. Perang tanding yang ditarikan Sulistyo, penari alusan gaya Surakarta terbaik, melawan Ben Suharto, penari alusan gaya Yogyakarta terbaik ini, memang indah dan sangat menarik. Perang tanding yang tentunya sangat dahsyat itu dilukiskan dengan bersitan bunga-bunga melati yang lepas dari keris mereka. Namun, adegan ini terasa agak berkepanjangan karena gaya perang kedua kesatria itu hampir tak berbeda. Dan Brahala itu, raksasa yang menggendong sejumlah peluru kendah, yang ditampilkan dengan iringan gending kemanak yang angker, sungguh membingungkan. Ini lelucon atau sindiran yang serius. Tapi selebihnya tontonan ini indah, halus dan penuh haru. Ketika Sumantri sedang kebingungan tidak dapat melaksanakan tugas dari raja untuk memindahkan Taman Sriwedari, tiba-tiba terdengar suara Sukasrana. Raksasa kerdil itu menembangkan kerinduan hatinya kepada Sumantri, kakaknya yang sangat dicintainya. Keduanya pun bertemu dalam kelegaan. Sukasrana yang sakti sanggup membantu memindahkan Taman Sriwedari. Tetapi, dengan manjanya, ia minta kepada kakaknya agar ia tidak ditinggalkan lagi. Taman Sriwedari dilambangkan dengan sekelompok penari wanita. Sumantri masuk ke dalamnya, sementara Sukasrana dari kejauhan bersemadi untuk memindahkan taman itu ke Mahispati. Taman itu bergerak pindah. Sesudah itu, di. Mahispati, di taman itu, putri-putri keraton rnenari bersama Citrawati. Sukasrana yang datang mencari Sumantri langsung menyusul ke situ. Malang, tubuh dan wajahnya yang menjijikkan membuat para putri menjerit takut dan berlarian. Sumantri muncul dengan kesal. Sukasrana, yang setengah mati merindukan kakaknya, pun tahu ia menyulitkan abangnya. Ia menghindari tatapan Sumantri sambil memunguti bunga-bunga melati yang bertaburan di tanah, menggenggamnya, dan minta maaf. Sentakan tangannya membuang sebagian melati dari tangannya mengisyaratkan kekesalannya sendiri. Kenapa ia begitu tak tahu diri, datang ke tempat yang tak semestinya. Tetapi Sumantri terlalu marah, malu kepada Raja, dan menyuruh adiknya segera pergi Sumantri tak ambil peduli betapa adiknya merindukannya. Duduk di tanah, Sukasrana meraihkan tangannya ke atas, kepada abangnya, sambil membiarkan bunga-bunga di tangannya berjatuhan. Sekali lagi ia minta maaf, dan mengatakan bahwa itu semua tak disengajanya. Dan itu semua dilakukannya karena rindunya untuk bersarna Sumantri lagi. Tetapi, nasib telah menentukan riwayat adik yang malang itu. Panah Sumantri mengenai Sukasrana. Sal Murgiyanto memainkan Sukasrana dengan amat baik. Tontonan ini diakhiri dengan pembacaan bait-bait dari Tripama yang memuji kesetiaan Sumantri kepada raja dan negara. Sementara itu, di latar depan, Sukasrana dan Sumantri menari dengan damai di alam sana. Memang, tontonan ini harus dinikmati sebagai pembacaan macapat yang diperagakan, hingga tidak terasa lamban. Edi Sedyawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini