SEJAK tahun 1000, diduga bumi Indonesia, yang memiliki 130
gunung api aktif, sudah ribuan kali diterjang letusan dan
gempa. Sepanjang sejarah yang bisa dicatat bencana ini telah
menelan korban 175.000 jiwa.
Sebagai kawasan gunung api zona subduksi, 1/6 kawasan Nusantara
berada dalam ancaman tak langsung. Luas kawasan yang pasti
terancam ada 16.620 km2 dan penduduknya berjumlah 2.399 jiwa.
Itulah peta bahaya (volcanic hazard map) yang dibuat Direktorat
Vulkanologi di tahun 1974. Sekarang posisinya tentu sudah berbeda.
Lebih dari separuh gunung api aktif itu telah meletus.
Model geodinamika Indonesia dikonstruksikan berdasarkan konsep
tektonik lempeng (plate tectonics) yang paling tidak bisa
memberi gambaran dasar gejala gunung api indonesia. Sebab tiap
gunung api memiliki sifat unik tersendiri dan tidak selalu dapat
dipakai untuk melakukan diagnosa terhalap gunung api lain.
Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, misalnya, yang meletus di tahun
1815, melemparkan isi perutnya sebanyak 150 km3. Jumlah korban
waktu itu tercatat 92.000 orang. Kalau dibandingkan dengan
Krakatau, ledakan Tambora lebih dahsyat. Krakatau dengan
tsunami-nya, cuma menelan sekitar 36.000 jiwa dan memuntahkan
isi perutnya 18 km3. Berbeda dengan Krakatau yang meninggalkan
anak, tidak demikian halnya dengan Tambora. Kendati demikian
banyak yang menyebut gunung api ini sudah tidur. Tapi tak
sedikit pula yang yakin masih aktif.
Mengapa Krakatau lebih menarik? Gunung api selalu mengalami
perubahan morfologis. Berjenis strato, Krakatau terdiri dari
sekelompok pulau gunung api dengan sebuah kerucut sentral yang
giat dalam satu kaldora.
Kini dengan semakin tingginya Anak Krakatau, yang "lahir" di
tahun 1928, ancaman terasa lagi. Laporan penelitian Burudjalasad
dari Jawatan Hidro Oseanografi/TNI-AL dua tahun lalu mencatat
bahwa dari aktivitas selama dua bulan saja ada 529 gempa harian
-- 10 di antaranya merupakan gempa kiriman. Dari 20 hasil
pencatatan yang dapat ditentukan episenternya, disimpulkan
bahwa gempa-gempa itu berpusat di sekitar Krakatau dalam bentuk
gempa vulkanis. Berdasarkan penelitian ini, drama Krakatau 1883,
mungkin saja terulang lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini