Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hari-hari hitam abad lalu

Mengenang 100 tahun meletusnya gunung krakatau (agustus 1883). Diramalkan akan meletus lagi. (ling)

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Hari-hari hitam abad lalu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEJAK 20 Mei 1883, gunung api Perbuatan di Pulau Krakatau sudah mengeluarkan asap, uap, dan kemudian dentuman-dentuman. Ahli gunung api Neumann van Padang mencatat dentumannya cukup keras dan bisa terdengar sampai jarak 200 km. Abu dan uap yang disemburkan dari kepundannya bisa mencuat sampai 1.100 km. Tak ada yang mengira akan tiba bahaya yang lebih besar. Beberapa kapal pesiar bahkan saling bersaing untuk mengadakan pelayaran wisata ke Krakatau. Kapal Loudon menjual karcis seharga NF25 per orang, dengan kesempatan jalan-jalan di pulau itu sekitar satu jam, lalu kembali lagi ke Anyer. Selama 119 hari setelah ledakan 20 Mei, tepatnya 26 Agustus, Gunung Krakatau ganti yang meletus. Puncak paroksisma terjadi 28 Agustus. Dua pertiga pulau itu lenyap dari muka laut dan tinggal batuan hitam sepanjang 813 meter. Gunung Perbuatan dan Danan turut lenyap dan sebagai gantinya terbentang kawah seluas 7,4 km. Begitu dahsyatnya letusan Krakatau, dentumannya dikabarkan terdengar sampai ke Australia dan Kolombo. Abu dan uap yang disemprotkannya setinggi 80 km dan bisa menutupi daerah seluas 827.000 km2. Ledakannya diperkirakan berkekuatan sekitar 410 megaton -- 27 kali ledakan bom H. Akhir November 1883 dikabarkan Islandia, diselimuti debu yang ditimbulkan Krakatau, sehingga matahari di sana tampak berwarna jingga dan berkorona. Ledakan Krakatau juga menimbulkan bencana lain: tsunami (gelombang raksasa). Menurut majalah Discover terbitan Agustus 1983, tsunami itu merupakan gelombang terbesar dalam sejarah dicatat manusia. Korban jiwa diperkirakan sekitar 36.380 orang, dan 165 desa musnah. Beberapa bulan setelah ledakan Austus itu, ahli gunung api Verbeek dan ahli botani Treub meninjau Krakatau. Yang mereka temui Pulau Krakatau, yang tinggal sepertiga, Pulau Sertung, dan Pulau Panjang ditutupi lava dan debu setebal 65 meter. Dan suhu di ketiga pulau itu masih 80ø C. Saksi mata yang selamat dari bencana Krakatau melaporkan kisahnya sebagai berikut: Seorang kakek berusia 60-an dari Desa Ketimbang, Lampung, menceritakan bahwa Senin 27 Agustus pukul 06.00 pagi dia menuju pantai. Tiba-tiba muncul gelombang besar berwarna hitam dari tengah laut. "Ombak setinggi gunung itu datang begitu cepat, sehingga saya tidak sempat menghindarkan diri," katanya. Ia cuma sempat berlindung pada sebatang pohon besar. Selang beberapa menit setelah gelombang itu surut, datang lagi yang lebih besar. Kali ini si kakek berhasil memanjat pohon tersebut sampai ke dahan paling tinggi, dan setelah itu jatuh pingsan. Ia diketemukan oleh seorang nelayan Cina di tengah genangan lumpur, dalam keadaan sekarat. Sang kakek kemudian dirawat di CBZ (sekarang RSCM) di Batavia (Jakarta). Di Anyer, Banten, tsunami menerjang pantai 26 Agustus -- pukul 06.30. Istri Asisten Residen Banten yang berhasil selamat menuturkan pengalamannya: Pagi itu, ia di kamar mandi bersama anak bungsunya. Tiba-tiba gelombang menerjang rumahnya, dan melemparkan mereka ke luar. Sambil mencekal anaknya kencang-kencang, dia masih melihat lambaian terakhir tangan suaminya yang hanyut diseret ombak. Dan kemudian menyusul anaknya. Setelah terjangan ombak itu surut sebentar, muncul gelombang berikutnya yang lebih dahsyat. Tinggi gurungan ombak sekitar 36 meter. Menara pantai Anyer rubuh, sebuah lokomotif terpental dan tubuhnya robek. Di Anyer, tercatat 7.583 pribumi dan 14 orang kulit putih meninggal. Nyonya Lindeman, istri nakoda kapal Loudon, menuliskan keajaiban dan pengalamannya dalam suratkabar Java Bode, 1933. Judul tulisannya Herdenking Krakatau Uitbarsting 18U (Peringatan Letusan Krakatau 1883). Tulis Nyonya Lindeman: Loudon berangkat 26 Agustus dengan tujuan Aceh lewat Bengkulu dan Padang. Petang hari tiba di Anyer dan menambah muatan dengan 100 kuli. Ketika melewati Selat Sunda, mereka cuma melihat Gunun Krakatau mengeluarkan asap hitam, seterah itu muncul ombak besar tak kunjung reda. "Suami saya menggumam, pasti ada yang tak beres," kata Nyonya Lindeman. Tiba di Telukbetung menjelang pukul 19.00. Tapi seluruh penumpang tetap tinggal di kapal, karena sekoci tak berhasil mencapai pantai. Keesokan harinya Telukbetung tampak sudah porak poranda, dan tak ada tanda-tanda kehidupan. "Kami memutuskan untuk kembali ke Anyer melaporkan hal ini," tulisnya. Dalam pelayaran menuju Anyer, menurut Nyonya Lindeman Krakatau yang tadinya hijau indah, berubah menjadi gosong dan hitam. Dan kapal berlayar di antara batu apung yang banyak di antaranya cukup besar. "Loudon tetap maju, meski abu memasuki lubang hidung kami dan cuaca tetap gelap," katanya. "Dalam cuaca yang menakutkan itu, di dek bawah para kuli dengan kerasnya mengaji, sehingga suasana makin mencekam." Kapal Loudon baru berlayar lagi 29 Agustus. Letusan Krakatau begitu kerasnya sehingga hampir separuh dunia mendengarnya. "Cuma orang belum mengetahui dengan pasti suara gelegar itu dari mana," tulis Nyonya Lindeman. Di Aceh, menurut sang nyonya, orang bahkan bersiap-siap dengan meriam karena mengira Kompeni menyerang daerah mereka. Apakah Krakatau akan meletus lagi? Tak ada ahli gunung api yang tahu pasti. Anak Krakatau yang mempunyai kepundan aktif, kecuali menyemburkan lahar merah sesekali, tak memperlihatkan tanda-tanda alak. Ahli gunung api Behrendt, setelah merihat keaktifan Anak Krakatau, meramalkan letusan sedahsyat 1883 akan berulang setelah 3-4 ribu tahun lagi. Tapi ahli gunung api lain, Stehn, tetap berpendapat bahwa siat gunung api tak bisa diduga -- ia bisa meletus tiba-tiba. Yang pasti lingkungan di Krakatau kini sudah berubah. Pulau gosong itu sekarang penuh tumbuh-tumbuhan dan burung. Dan menjadi obyek wisata. Dalam perayaan Satu Abad Krakatau, Sabtu ini, sebuah batu berukuran 5 x 3 x 7 meter akan ditanam di bawah mercu suar Anyer. Batu yang dijadikan prasasti 100 tahun itu dikabarkan berasal dari kepundan Krakatau yang pecah di tahun 1883, dan ditemukan di tempat ia bakal ditanam lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus