SEJAK 20 Mei 1883, gunung api Perbuatan di Pulau Krakatau sudah
mengeluarkan asap, uap, dan kemudian dentuman-dentuman. Ahli
gunung api Neumann van Padang mencatat dentumannya cukup keras
dan bisa terdengar sampai jarak 200 km. Abu dan uap yang
disemburkan dari kepundannya bisa mencuat sampai 1.100 km.
Tak ada yang mengira akan tiba bahaya yang lebih besar. Beberapa
kapal pesiar bahkan saling bersaing untuk mengadakan pelayaran
wisata ke Krakatau. Kapal Loudon menjual karcis seharga NF25 per
orang, dengan kesempatan jalan-jalan di pulau itu sekitar satu
jam, lalu kembali lagi ke Anyer.
Selama 119 hari setelah ledakan 20 Mei, tepatnya 26 Agustus,
Gunung Krakatau ganti yang meletus. Puncak paroksisma terjadi 28
Agustus. Dua pertiga pulau itu lenyap dari muka laut dan tinggal
batuan hitam sepanjang 813 meter. Gunung Perbuatan dan Danan
turut lenyap dan sebagai gantinya terbentang kawah seluas 7,4
km.
Begitu dahsyatnya letusan Krakatau, dentumannya dikabarkan
terdengar sampai ke Australia dan Kolombo. Abu dan uap yang
disemprotkannya setinggi 80 km dan bisa menutupi daerah seluas
827.000 km2. Ledakannya diperkirakan berkekuatan sekitar 410
megaton -- 27 kali ledakan bom H. Akhir November 1883 dikabarkan
Islandia, diselimuti debu yang ditimbulkan Krakatau, sehingga
matahari di sana tampak berwarna jingga dan berkorona.
Ledakan Krakatau juga menimbulkan bencana lain: tsunami
(gelombang raksasa). Menurut majalah Discover terbitan Agustus
1983, tsunami itu merupakan gelombang terbesar dalam sejarah
dicatat manusia. Korban jiwa diperkirakan sekitar 36.380 orang,
dan 165 desa musnah.
Beberapa bulan setelah ledakan Austus itu, ahli gunung api
Verbeek dan ahli botani Treub meninjau Krakatau. Yang mereka
temui Pulau Krakatau, yang tinggal sepertiga, Pulau Sertung, dan
Pulau Panjang ditutupi lava dan debu setebal 65 meter. Dan suhu
di ketiga pulau itu masih 80ø C.
Saksi mata yang selamat dari bencana Krakatau melaporkan
kisahnya sebagai berikut:
Seorang kakek berusia 60-an dari Desa Ketimbang, Lampung,
menceritakan bahwa Senin 27 Agustus pukul 06.00 pagi dia menuju
pantai. Tiba-tiba muncul gelombang besar berwarna hitam dari
tengah laut. "Ombak setinggi gunung itu datang begitu cepat,
sehingga saya tidak sempat menghindarkan diri," katanya. Ia cuma
sempat berlindung pada sebatang pohon besar.
Selang beberapa menit setelah gelombang itu surut, datang lagi
yang lebih besar. Kali ini si kakek berhasil memanjat pohon
tersebut sampai ke dahan paling tinggi, dan setelah itu jatuh
pingsan. Ia diketemukan oleh seorang nelayan Cina di tengah
genangan lumpur, dalam keadaan sekarat. Sang kakek kemudian
dirawat di CBZ (sekarang RSCM) di Batavia (Jakarta).
Di Anyer, Banten, tsunami menerjang pantai 26 Agustus -- pukul
06.30. Istri Asisten Residen Banten yang berhasil selamat
menuturkan pengalamannya: Pagi itu, ia di kamar mandi bersama
anak bungsunya. Tiba-tiba gelombang menerjang rumahnya, dan
melemparkan mereka ke luar. Sambil mencekal anaknya
kencang-kencang, dia masih melihat lambaian terakhir tangan
suaminya yang hanyut diseret ombak. Dan kemudian menyusul
anaknya.
Setelah terjangan ombak itu surut sebentar, muncul gelombang
berikutnya yang lebih dahsyat. Tinggi gurungan ombak sekitar 36
meter. Menara pantai Anyer rubuh, sebuah lokomotif terpental dan
tubuhnya robek. Di Anyer, tercatat 7.583 pribumi dan 14 orang
kulit putih meninggal.
Nyonya Lindeman, istri nakoda kapal Loudon, menuliskan keajaiban
dan pengalamannya dalam suratkabar Java Bode, 1933. Judul
tulisannya Herdenking Krakatau Uitbarsting 18U (Peringatan
Letusan Krakatau 1883). Tulis Nyonya Lindeman: Loudon berangkat
26 Agustus dengan tujuan Aceh lewat Bengkulu dan Padang. Petang
hari tiba di Anyer dan menambah muatan dengan 100 kuli. Ketika
melewati Selat Sunda, mereka cuma melihat Gunun Krakatau
mengeluarkan asap hitam, seterah itu muncul ombak besar tak
kunjung reda. "Suami saya menggumam, pasti ada yang tak beres,"
kata Nyonya Lindeman.
Tiba di Telukbetung menjelang pukul 19.00. Tapi seluruh
penumpang tetap tinggal di kapal, karena sekoci tak berhasil
mencapai pantai. Keesokan harinya Telukbetung tampak sudah porak
poranda, dan tak ada tanda-tanda kehidupan. "Kami memutuskan
untuk kembali ke Anyer melaporkan hal ini," tulisnya.
Dalam pelayaran menuju Anyer, menurut Nyonya Lindeman Krakatau
yang tadinya hijau indah, berubah menjadi gosong dan hitam. Dan
kapal berlayar di antara batu apung yang banyak di antaranya
cukup besar. "Loudon tetap maju, meski abu memasuki lubang
hidung kami dan cuaca tetap gelap," katanya. "Dalam cuaca yang
menakutkan itu, di dek bawah para kuli dengan kerasnya mengaji,
sehingga suasana makin mencekam." Kapal Loudon baru berlayar
lagi 29 Agustus.
Letusan Krakatau begitu kerasnya sehingga hampir separuh dunia
mendengarnya. "Cuma orang belum mengetahui dengan pasti suara
gelegar itu dari mana," tulis Nyonya Lindeman. Di Aceh, menurut
sang nyonya, orang bahkan bersiap-siap dengan meriam karena
mengira Kompeni menyerang daerah mereka.
Apakah Krakatau akan meletus lagi? Tak ada ahli gunung api yang
tahu pasti. Anak Krakatau yang mempunyai kepundan aktif, kecuali
menyemburkan lahar merah sesekali, tak memperlihatkan
tanda-tanda alak. Ahli gunung api Behrendt, setelah merihat
keaktifan Anak Krakatau, meramalkan letusan sedahsyat 1883 akan
berulang setelah 3-4 ribu tahun lagi. Tapi ahli gunung api lain,
Stehn, tetap berpendapat bahwa siat gunung api tak bisa diduga
-- ia bisa meletus tiba-tiba.
Yang pasti lingkungan di Krakatau kini sudah berubah. Pulau
gosong itu sekarang penuh tumbuh-tumbuhan dan burung. Dan
menjadi obyek wisata. Dalam perayaan Satu Abad Krakatau, Sabtu
ini, sebuah batu berukuran 5 x 3 x 7 meter akan ditanam di bawah
mercu suar Anyer. Batu yang dijadikan prasasti 100 tahun itu
dikabarkan berasal dari kepundan Krakatau yang pecah di tahun
1883, dan ditemukan di tempat ia bakal ditanam lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini