KESAN "kematian adalah kehidupan", dan sebaliknya, menggantung
di Galeri Institut Kesenian Jakarta, pekan ini, dalam pameran
"Seni Rupa Mutidisiplin" karya Dirk Oehoede. Sebuah pameran
seni rupa yang terbilang gaya mutakhir di Indonesia: seni
konsepsual.
Di sebuah sudut Galeri berukuran sekitar 12 x 12 meter itu
teronggok batu-batu dan tanah merah, bak sebuah gunung mini.
Dari atap, persis pada garis vertikal puncak gunung, menjulur
kain panjang selebar sekitar 25 cm, berbercak-bercak cat putih,
hitam, merah. "Itulah tanda-tanda manusia: cap jari tangan dan
kaki," kata Oeghoede, warga negara Belanda yang lahir di Ansus,
Irian Jaya, 39 tahun yang lalu. Dari sudut inilah penonton
diminta berangkat, berpetualang dalam dunia imajinasi Oeghoede.
Sudut itu oleh seniman berkulit sawo matang dan bertubuh pendek
ini dianggap melambankan alam semesta dan bumi. Di sudut
berikut, tujuh bambu disandarkan miring. Bambu-bambu itu dihias
dengan warna-warna primer dan ornamen yang mengingatkan pada
seni hias primitif. Inilah lambang kedua, persaudaraan dengan
alam.
Proses pun diteruskan. Dari dua sudut yang sunyi, mendekat ke
sudut Galeri yang ketiga, terdengar suara-suara binatang. Ada
lenguhan, ada auman, ada cericit burung. Tentu suara-suara itu
muncul dari tape recorder yang diletakkan di belakang lukisan.
Di sudut ini dipasang dua lukisan yang dengan sudut Galeri
membentuk sebuah ruang kotak. Inilah lukisan dengan tema alam
binatang. Coretan-coretan yang mengesankan kepala kerbau,
harimau, atau yang lain, yang tak begitu jelas, mirip lukisan
purba peninggalan nenek moyang di gua-gua. Sudut yang
melambangkan pergulatan antara cahaya dan kegelapan, begitu
bagian ini disebut.
Pada sudut terakhir, suasana terasa lain dengan ketiga sudut
terdahulu. Sebuah bentuk segi tiga tersandar di sudut. Tengah
segi tiga berlubang, tepi lubang tampak hangus bekas terbakar.
Pada alas segi tiga dibujurkan sebatang bambu. Pada bambu ada
gambar silhuet: seorang wanita diapit dua anak. Di sini bau
kebudayaan modern mulai tercium. Di dinding, di samping sudut
ini, terpampang tiga buah potret yang sama, menampilkan seorang
anak telanjang menatap frontal pada penonton.
Habis mengembara mengikuti proses terjadinya alam semesta, itu
kesan yang tertinggal. Dari onggokan batu, ke bambu-bambu,
lantas sampai pada gambar bintang dan kemudian segi tiga
berlubang beserta potret anak telanjang. Dan dari sudut ke
sudut, proses sebenarnya tidak mendadak. Antara onggokan batu
dan bambu-bambu tersandar, tergantung lima lukisan tempera dan
tiga lukisan potlot pada kertas. Yang lima pertama bergaya semi
abstrak, dimaksudkan melukiskan dunia keong, gunung, dan bunga.
Tiga lukisan potlod menampilkan gambar pohon beringin dengan
realistis.
Lantas dari bambu ke lukisan binatang ada gambar-gambar hutan,
danau, dan sebentang benda-benda yang biasanya disimpan orang
purba sebagai jimat. Ada bulu burung, manik-manik, kalung. Dari
sudut ini ke segi tiga tersandar, digantungkan gambar-gambar
burung -- entah sedang terbang atau mati terkapar, tak jelas
manusia, dan binatang. Di ujung tergantung kolase gambar-gambar
kecil bertempelkan prangko Indonesia. Judul kolase ini:
Perjalanan.
Pameran ini memang tak mengetengahkan satu per satu karya.
Semuanya, termasuk ruang pameran itu sendiri, mendadak menjadi
satu keutuhan. Penonton memang diminta "berjalan dengan
khayalan" dari sudut ke sudut. Untuk sampai "pada dunia
metafisik". Yang terkesan memang, satu kehidupan yang bergerak
menyapa. Dan tiba-tiba terasa bahwa kita menjadi bagian dari
onggokan batu, bambu, dan benda-benda di situ. Di sini, istilah
"menonton pameran seni rupa" mungkin tidak tepat. Yang terjadi
seperti sudah disebutkan, kita sendiri menjadi bagian dari ruang
Galeri itu.
Untuk mencipta pameran ini, Oeghoede, lulusan Royal Academy of
Art and Design di Negeri Belanda, sekitar 6 bulan mengembara
dari hutan Leuser di Aceh sampai Pangandaran di Jawa. Ia memang
mendapat beasiswa dari Kementerian Kebudayaan Belanda. Gambar
beringin itu misalnya, dibuatnya di Pangandaran. Dan rekaman
suara-suara binatang, dlbuatnya selama perjalanan. Untuk apa?
Untuk menangkap "simbol-simbol nenek moyang", untuk menangkap
"spirit kehidupan", kata Oeghoede. Maksudnya, ia mencoba
menemukan "sesuatu yang tak mati-mati", meski kehidupan itu
berubah, dan alam itu musnah.
Jadinya, pameran ini memang lain. Di dalamnya terkandung
berbagai seni: seni rupa, seni patung, seni musik, seni sastra.
Juga mengetengahkan berbagai wakil kebudayaan: dari
simbol-simbol seni purba hingga tape recorder masa kini.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini