Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Multidisiplin Dirk Oeghoede

Pameran seni rupa multidisiplin karya dirk oeghoede, di tim. Penganut seni konsepsual, karya-karyanya membentuk satu imajinasi. (sr)

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESAN "kematian adalah kehidupan", dan sebaliknya, menggantung di Galeri Institut Kesenian Jakarta, pekan ini, dalam pameran "Seni Rupa Mutidisiplin" karya Dirk Oehoede. Sebuah pameran seni rupa yang terbilang gaya mutakhir di Indonesia: seni konsepsual. Di sebuah sudut Galeri berukuran sekitar 12 x 12 meter itu teronggok batu-batu dan tanah merah, bak sebuah gunung mini. Dari atap, persis pada garis vertikal puncak gunung, menjulur kain panjang selebar sekitar 25 cm, berbercak-bercak cat putih, hitam, merah. "Itulah tanda-tanda manusia: cap jari tangan dan kaki," kata Oeghoede, warga negara Belanda yang lahir di Ansus, Irian Jaya, 39 tahun yang lalu. Dari sudut inilah penonton diminta berangkat, berpetualang dalam dunia imajinasi Oeghoede. Sudut itu oleh seniman berkulit sawo matang dan bertubuh pendek ini dianggap melambankan alam semesta dan bumi. Di sudut berikut, tujuh bambu disandarkan miring. Bambu-bambu itu dihias dengan warna-warna primer dan ornamen yang mengingatkan pada seni hias primitif. Inilah lambang kedua, persaudaraan dengan alam. Proses pun diteruskan. Dari dua sudut yang sunyi, mendekat ke sudut Galeri yang ketiga, terdengar suara-suara binatang. Ada lenguhan, ada auman, ada cericit burung. Tentu suara-suara itu muncul dari tape recorder yang diletakkan di belakang lukisan. Di sudut ini dipasang dua lukisan yang dengan sudut Galeri membentuk sebuah ruang kotak. Inilah lukisan dengan tema alam binatang. Coretan-coretan yang mengesankan kepala kerbau, harimau, atau yang lain, yang tak begitu jelas, mirip lukisan purba peninggalan nenek moyang di gua-gua. Sudut yang melambangkan pergulatan antara cahaya dan kegelapan, begitu bagian ini disebut. Pada sudut terakhir, suasana terasa lain dengan ketiga sudut terdahulu. Sebuah bentuk segi tiga tersandar di sudut. Tengah segi tiga berlubang, tepi lubang tampak hangus bekas terbakar. Pada alas segi tiga dibujurkan sebatang bambu. Pada bambu ada gambar silhuet: seorang wanita diapit dua anak. Di sini bau kebudayaan modern mulai tercium. Di dinding, di samping sudut ini, terpampang tiga buah potret yang sama, menampilkan seorang anak telanjang menatap frontal pada penonton. Habis mengembara mengikuti proses terjadinya alam semesta, itu kesan yang tertinggal. Dari onggokan batu, ke bambu-bambu, lantas sampai pada gambar bintang dan kemudian segi tiga berlubang beserta potret anak telanjang. Dan dari sudut ke sudut, proses sebenarnya tidak mendadak. Antara onggokan batu dan bambu-bambu tersandar, tergantung lima lukisan tempera dan tiga lukisan potlot pada kertas. Yang lima pertama bergaya semi abstrak, dimaksudkan melukiskan dunia keong, gunung, dan bunga. Tiga lukisan potlod menampilkan gambar pohon beringin dengan realistis. Lantas dari bambu ke lukisan binatang ada gambar-gambar hutan, danau, dan sebentang benda-benda yang biasanya disimpan orang purba sebagai jimat. Ada bulu burung, manik-manik, kalung. Dari sudut ini ke segi tiga tersandar, digantungkan gambar-gambar burung -- entah sedang terbang atau mati terkapar, tak jelas manusia, dan binatang. Di ujung tergantung kolase gambar-gambar kecil bertempelkan prangko Indonesia. Judul kolase ini: Perjalanan. Pameran ini memang tak mengetengahkan satu per satu karya. Semuanya, termasuk ruang pameran itu sendiri, mendadak menjadi satu keutuhan. Penonton memang diminta "berjalan dengan khayalan" dari sudut ke sudut. Untuk sampai "pada dunia metafisik". Yang terkesan memang, satu kehidupan yang bergerak menyapa. Dan tiba-tiba terasa bahwa kita menjadi bagian dari onggokan batu, bambu, dan benda-benda di situ. Di sini, istilah "menonton pameran seni rupa" mungkin tidak tepat. Yang terjadi seperti sudah disebutkan, kita sendiri menjadi bagian dari ruang Galeri itu. Untuk mencipta pameran ini, Oeghoede, lulusan Royal Academy of Art and Design di Negeri Belanda, sekitar 6 bulan mengembara dari hutan Leuser di Aceh sampai Pangandaran di Jawa. Ia memang mendapat beasiswa dari Kementerian Kebudayaan Belanda. Gambar beringin itu misalnya, dibuatnya di Pangandaran. Dan rekaman suara-suara binatang, dlbuatnya selama perjalanan. Untuk apa? Untuk menangkap "simbol-simbol nenek moyang", untuk menangkap "spirit kehidupan", kata Oeghoede. Maksudnya, ia mencoba menemukan "sesuatu yang tak mati-mati", meski kehidupan itu berubah, dan alam itu musnah. Jadinya, pameran ini memang lain. Di dalamnya terkandung berbagai seni: seni rupa, seni patung, seni musik, seni sastra. Juga mengetengahkan berbagai wakil kebudayaan: dari simbol-simbol seni purba hingga tape recorder masa kini. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus