Britain rules the waves
Indonesia waves the rules
(lelucon, bukan sungguhan)
SINAR Harapan terbit dengan tajuk berita: 'Dalam 5 Hari 3
Kapal Karam, Diduga Seratus Lebih Tewas'. Seratus orang lagi
terkubur di dasar laut dengan tenang.
Dasar lautan di Indonesia memang kuburan yang alaihim.
Kesulitan tanah pekuburan pasti akan mudah dijawab bila orang
mau berkubur di dasar laut. Gubernur DKI di akhir abad ke-20
nanti mungkin sudah akan menyediakan kapal gratis bagi keluarga
yang mau menguburkan jenazah di dasar Teluk Jakarta. Karena pada
waktu itu tiap jengkal tanah di DKI akan diperlukan untuk
pembangunan, bukan penguburan.
Maaf dimaaf. Ini memang bercanda -- mencari hikmah positif di
atas kedukaan ribuan orang yang sia-sia menanti anggota
keluarganya kembali.
Pada halaman koran yang sama termuat pula berita bahwa Basarnas
(Badan Search and Rescue Nasional) telah dapat mendeteksi 80%
kecelakaan laut di Indonesia. Bukan bualan. Tetapi apakah
artinya deteksi, kalau tidak berarti pencegahan kecelakaan laut
dan penyelamatan saudara-saudara kita yang gelagepan menelan air
lalu tenggelam lemas? Deteksi baru menyangkut unsur search.
Adakah angka yang meyakinkan tentang rescue-nya?
Ketika KM Tampomas II tengelam, tidak ada soal search. Karena
lokasinya telah diketahui. Tetapi kenapa rescue yang KISS (Kerja
Itu Simpang Siur) hanya mampu membuat perhitungan: 147 tewas dan
287 belum ditemukan (tentu belum termasuk penumpang gelap yang
tidak diketahui jumlahnya)? Sistem pelaporan dan pencatatan yang
masih buruk juga telah berfungsi baik untuk menyembunyikannya.
Ketika diwawancarai Asiaweek empat bulan lalu, saya menyebut
beberapa hal yang menyebabkan tingginya angka kecelakaan laut
di Indonesia. Tetapi Asiaweek hanya menggarisbawahi satu hal:
korupsi para syahbandar. Itu memang saya ucapkan, tetapi ada
penjelasan yang panjang. Di beberapa bandar besar memang bisa
ditemukan bukti syahbandar yang menerima imbalan untuk menutup
mata terhadap perkosaan kapasitas kapal. Bahkan laporan
mengatakan bahwa di beberapa bandar yang ramai, syahbandar tidak
sempat lagi naik ke kapal untuk melakukan pemeriksaan.
Di bandar kecil, "korupsi" lain lagi bentuknya -- dan boleh jadi
tanpa imbalan uang. Di situ terjadi perikemanusiaan dan belas
kasih yang diterapkan secara keliru. Bayangkan, kapal yang telah
sarat terpaksa menerima tambahan penumpang di tiap bandar yang
disinggahi. "Kami tidak tega menolak," tutur seorang juragan
perahu. "Soalnya kebutuhan mereka mendesak, sementara mereka
tidak tahu kapan akan ada perahu lain yang singgah."
Bagaimana syahbandar bisa melarang, kalau calon penumpang itu
tetangganya sendiri yang, misalnya, perlu pergi ke pulau lain
untuk mengantar istrinya yang akan melahirkan? "Tidak jarang
kami terpaksa singgah di sebuah pulau kecil karena ada orang
melambai-lambai," kata juragan itu. "Dan kebiasaan melambai
kapal inilah yang justru sering mencelakakan kami. Tetapi
bagaimana lagi? Itu kan saudara kita juga? Lagi pula sudah
menjadi jiwa pelaut untuk senantiasa menolong."
Jiwa pelaut! Tetapi bagaimana dengan seamanship? KM Krakatau,
yang baru tenggelam, pun karena berusaha menolong kapal lain
yang mengirim tanda SOS, padahal kapal itu sendiri kelebihan
muatan. Jiwa pelaut yang tinggi ternyata tidak selalu dibarengi
seamanship yang kompeten.
Perkosaan kapasitas kapal bukan tidak disadari. Pada pelayaran
rakyat kebanyakan karena motivasi nonmaterial untuk menolong
orang di tempat terpencil. Pada pelayaran Nusantara, lebih
bersifat komersial. Seorang wartawan Mutiara yang naik KM
Tampomas II sebelum tenggelam menulis: "Tampomas II tidak hanya
memperkosa kapasitas, tetapi juga memperkosa hak asasi manusia."
Memang penumpang gelap yang menyetor kepada ABK, anak buah
kapal, hampir sama banyak dengan penumpang resmi. Tertumpuk
seperti ikan asin. ABK yang memang cekak gajinya pun berjualan
roti dan rokok di kapal. Tidak sedikit yang menyewakan kamarnya
kepada penumpang, sehingga istirahatnya menurun dan karena itu
mutu kerja pun buruk.
Laporan Sinar Harapan itu juga mengungkap modus lain dalam
pelanggaran kapasitas itu. Kelompok semu-gali mengumpulkan
penumpang gelap, dan menyembunyikan mereka di sekitar
pelabuhan. Begitu syahbandar memberikan izin berlayar, mereka
segera diselundupkan ke kapal. Nakoda tidak mampu menghadapi
ulah kelompok calo liar. Tidak heran kalau syahbandar sendiri
terkejut (atau pura-pura terkejut) mendengar kapal yang
tenggelam itu membawa penumpang. Berapa jumlahnya? Hanya Tuhan
yang tahu.
Apa yang dinamakan modernisasi ternyata juga penyebab petaka.
Saat ini pelayaran rakyat tradisional sedang giat melakukan
motorisasi. Ketika negara Barat melakukan eksperimen
memanfaatkan tenaga angin, perahu layar kita malah dipasangi
motor. Tetapi karena mereka biasa berpikir tradisional, cara
memasang mesin pun sembarangan. "Kandaskan perahu kalau air
surut," tutur seorang juragan. "Lalu lubangi pantatnya, dan
pasang mesin. Nanti kalau air pasang, perahu sudah siap
diluncurkan."
Begitu sederhana. "Ya, memang seperti menempel becak dengan
motor," kata seorang pemilik perahu. "Soalnya kita berpikir
seakan-akan mesin itu serba bisa, dan persiapan motorisasi ini
dari segi teknis hampir tidak ada. Tidak heran kalau banyak PLM
(perahu layar motor) tenggelam. Termasuk perahu saya.
Ha-ha-ha...!" Aneh, perahu tenggelam malah tertawa.
Dari segi marine craftmanship, perahu layar tradisional memang
kurang sesuai diberi motor. Getaran motor memperlemah
konstruksi. Perahu model Madura yang pendek pun sulit dipasangi
motor. Akibatnya? Perahu itu dipasangi pantat tambahan untuk
menaruh mesin. Belum setahun pantat itu sudah rontok. Tidak
heran kalau PLM yang mendapat Banpres 1976 kini sudah 70% yang
tenggelam. Kapal memang selalu tenggelam diam-diam.
"Tetapi tidak apa. Perjuangan memang selalu begitu," kata
pemilik kapal yang tadi, menghibur diri. "Kita kan menuju ke
modernisasi. Yang jelas di perahu layar saya para sawi (awak
kapal) bisa nonton video dan mengeriting rambut."
Dalam bukunya The Role of Economic Transportation, Edward
Atkinson menulis: "Tingkat perkembangan dan kemajuan suatu
negara dan bangsa antara lain diukur dari tingkat perkembangan
dan kemajuan sektor perhubungannya."
Sudah majukah sektor perhubungan kita? Di sektor perhubungan
udara kita sudah punya B-747 dan A-300. Di darat, puluhan ribu
kolt telah meledakkan revolusi angkutan yang memadati sarana
jalan raya. Tetapi di laut?
Jalesveva Jayamahe! Justru di laut banyak bahaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini