Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kubur di dasar laut

Sektor perhubungan kita sudah cukup maju, kecuali perhubungan laut. kecelakaan kapal laut masih sering terjadi. perahu tradisional banyak yang tenggelam karena para awak belum siap dengan motorisasi.

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Britain rules the waves Indonesia waves the rules (lelucon, bukan sungguhan) SINAR Harapan terbit dengan tajuk berita: 'Dalam 5 Hari 3 Kapal Karam, Diduga Seratus Lebih Tewas'. Seratus orang lagi terkubur di dasar laut dengan tenang. Dasar lautan di Indonesia memang kuburan yang alaihim. Kesulitan tanah pekuburan pasti akan mudah dijawab bila orang mau berkubur di dasar laut. Gubernur DKI di akhir abad ke-20 nanti mungkin sudah akan menyediakan kapal gratis bagi keluarga yang mau menguburkan jenazah di dasar Teluk Jakarta. Karena pada waktu itu tiap jengkal tanah di DKI akan diperlukan untuk pembangunan, bukan penguburan. Maaf dimaaf. Ini memang bercanda -- mencari hikmah positif di atas kedukaan ribuan orang yang sia-sia menanti anggota keluarganya kembali. Pada halaman koran yang sama termuat pula berita bahwa Basarnas (Badan Search and Rescue Nasional) telah dapat mendeteksi 80% kecelakaan laut di Indonesia. Bukan bualan. Tetapi apakah artinya deteksi, kalau tidak berarti pencegahan kecelakaan laut dan penyelamatan saudara-saudara kita yang gelagepan menelan air lalu tenggelam lemas? Deteksi baru menyangkut unsur search. Adakah angka yang meyakinkan tentang rescue-nya? Ketika KM Tampomas II tengelam, tidak ada soal search. Karena lokasinya telah diketahui. Tetapi kenapa rescue yang KISS (Kerja Itu Simpang Siur) hanya mampu membuat perhitungan: 147 tewas dan 287 belum ditemukan (tentu belum termasuk penumpang gelap yang tidak diketahui jumlahnya)? Sistem pelaporan dan pencatatan yang masih buruk juga telah berfungsi baik untuk menyembunyikannya. Ketika diwawancarai Asiaweek empat bulan lalu, saya menyebut beberapa hal yang menyebabkan tingginya angka kecelakaan laut di Indonesia. Tetapi Asiaweek hanya menggarisbawahi satu hal: korupsi para syahbandar. Itu memang saya ucapkan, tetapi ada penjelasan yang panjang. Di beberapa bandar besar memang bisa ditemukan bukti syahbandar yang menerima imbalan untuk menutup mata terhadap perkosaan kapasitas kapal. Bahkan laporan mengatakan bahwa di beberapa bandar yang ramai, syahbandar tidak sempat lagi naik ke kapal untuk melakukan pemeriksaan. Di bandar kecil, "korupsi" lain lagi bentuknya -- dan boleh jadi tanpa imbalan uang. Di situ terjadi perikemanusiaan dan belas kasih yang diterapkan secara keliru. Bayangkan, kapal yang telah sarat terpaksa menerima tambahan penumpang di tiap bandar yang disinggahi. "Kami tidak tega menolak," tutur seorang juragan perahu. "Soalnya kebutuhan mereka mendesak, sementara mereka tidak tahu kapan akan ada perahu lain yang singgah." Bagaimana syahbandar bisa melarang, kalau calon penumpang itu tetangganya sendiri yang, misalnya, perlu pergi ke pulau lain untuk mengantar istrinya yang akan melahirkan? "Tidak jarang kami terpaksa singgah di sebuah pulau kecil karena ada orang melambai-lambai," kata juragan itu. "Dan kebiasaan melambai kapal inilah yang justru sering mencelakakan kami. Tetapi bagaimana lagi? Itu kan saudara kita juga? Lagi pula sudah menjadi jiwa pelaut untuk senantiasa menolong." Jiwa pelaut! Tetapi bagaimana dengan seamanship? KM Krakatau, yang baru tenggelam, pun karena berusaha menolong kapal lain yang mengirim tanda SOS, padahal kapal itu sendiri kelebihan muatan. Jiwa pelaut yang tinggi ternyata tidak selalu dibarengi seamanship yang kompeten. Perkosaan kapasitas kapal bukan tidak disadari. Pada pelayaran rakyat kebanyakan karena motivasi nonmaterial untuk menolong orang di tempat terpencil. Pada pelayaran Nusantara, lebih bersifat komersial. Seorang wartawan Mutiara yang naik KM Tampomas II sebelum tenggelam menulis: "Tampomas II tidak hanya memperkosa kapasitas, tetapi juga memperkosa hak asasi manusia." Memang penumpang gelap yang menyetor kepada ABK, anak buah kapal, hampir sama banyak dengan penumpang resmi. Tertumpuk seperti ikan asin. ABK yang memang cekak gajinya pun berjualan roti dan rokok di kapal. Tidak sedikit yang menyewakan kamarnya kepada penumpang, sehingga istirahatnya menurun dan karena itu mutu kerja pun buruk. Laporan Sinar Harapan itu juga mengungkap modus lain dalam pelanggaran kapasitas itu. Kelompok semu-gali mengumpulkan penumpang gelap, dan menyembunyikan mereka di sekitar pelabuhan. Begitu syahbandar memberikan izin berlayar, mereka segera diselundupkan ke kapal. Nakoda tidak mampu menghadapi ulah kelompok calo liar. Tidak heran kalau syahbandar sendiri terkejut (atau pura-pura terkejut) mendengar kapal yang tenggelam itu membawa penumpang. Berapa jumlahnya? Hanya Tuhan yang tahu. Apa yang dinamakan modernisasi ternyata juga penyebab petaka. Saat ini pelayaran rakyat tradisional sedang giat melakukan motorisasi. Ketika negara Barat melakukan eksperimen memanfaatkan tenaga angin, perahu layar kita malah dipasangi motor. Tetapi karena mereka biasa berpikir tradisional, cara memasang mesin pun sembarangan. "Kandaskan perahu kalau air surut," tutur seorang juragan. "Lalu lubangi pantatnya, dan pasang mesin. Nanti kalau air pasang, perahu sudah siap diluncurkan." Begitu sederhana. "Ya, memang seperti menempel becak dengan motor," kata seorang pemilik perahu. "Soalnya kita berpikir seakan-akan mesin itu serba bisa, dan persiapan motorisasi ini dari segi teknis hampir tidak ada. Tidak heran kalau banyak PLM (perahu layar motor) tenggelam. Termasuk perahu saya. Ha-ha-ha...!" Aneh, perahu tenggelam malah tertawa. Dari segi marine craftmanship, perahu layar tradisional memang kurang sesuai diberi motor. Getaran motor memperlemah konstruksi. Perahu model Madura yang pendek pun sulit dipasangi motor. Akibatnya? Perahu itu dipasangi pantat tambahan untuk menaruh mesin. Belum setahun pantat itu sudah rontok. Tidak heran kalau PLM yang mendapat Banpres 1976 kini sudah 70% yang tenggelam. Kapal memang selalu tenggelam diam-diam. "Tetapi tidak apa. Perjuangan memang selalu begitu," kata pemilik kapal yang tadi, menghibur diri. "Kita kan menuju ke modernisasi. Yang jelas di perahu layar saya para sawi (awak kapal) bisa nonton video dan mengeriting rambut." Dalam bukunya The Role of Economic Transportation, Edward Atkinson menulis: "Tingkat perkembangan dan kemajuan suatu negara dan bangsa antara lain diukur dari tingkat perkembangan dan kemajuan sektor perhubungannya." Sudah majukah sektor perhubungan kita? Di sektor perhubungan udara kita sudah punya B-747 dan A-300. Di darat, puluhan ribu kolt telah meledakkan revolusi angkutan yang memadati sarana jalan raya. Tetapi di laut? Jalesveva Jayamahe! Justru di laut banyak bahaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus