Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Api Sampai Oktober

Penduduk disekitar lokasi kebakaran sumur gas alam arun (aceh) nasibnya tak menentu, belum ada tempat pemukiman baru, ganti rugi tanaman belum diperoleh dan air sumurnya tercemar. (ling)

8 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBAKARAN sumur gas alam di Lhok Sukon, Arun (Aceh), baru akan padam Oktober mendatang. Mobil Oil, kontraktor Pertamina di sana tak terlalu pusing lantaran seluruh rekening operasi pemadaman Red Adair akan ditagih dari hasil penjualan LNG Arun ke Jepang (TEMPO, 1 Juli). Juga fihak Pertamina tampaknya tak begitu risau. Sebab, seperti diutarakan Dir-Ut Pertamina Piet Haryono minggu lalu, "rencana peresmian pabrik LNG Arun Agustus mendatang tak akan tertunda." Namun sementara itu, bagaimana nasib penduduk setempat? Pembantu TEMPO Darmansyah, yang datang ke Lhok Sukon, minggu lalu menyaksikan nyala api sumur gas A-23 itu masih cukup besar. Tinggi api memang telah turun. Tapi gumpalannya yang menjilat tanah bukannya semakin mengecil. Semburan liar dari mulut sumur malah tambah galak. Keadaan semakin gawat. Sebab awan hitam yang berasal dari hasil pembakaran gas alam itu telah disiram turun oleh hujan. Akibatnya: sumur-sumur penduduk dan air sungai di kawasan Lhok Sukon mulai tercemar. Ketika hujan turun, bukannya rahmat yang jatuh ke bumi. Tapi dalam radius 10 km dari tempat kebakaran, cucian ibu-ibu rumah tangga bergetah dan hitam tercemar. Sambil menunjukkan sebotol contoh air yang tercemar, Camat Tanah Luas mengatakan "Saya sudah minta pihak Mobil untuk segera menelitinya." Bayangkan, Bang Sebagai langkah pencegahan, dia telah melarang penduduk dalam radius 2 km dari sumur A-23 menggunakan airnya yang tercemar. Penduduk juga sudah berjaga-jaga untuk menutup sumurnya, bila hujan turun lagi. Kegelisahan penduduk semakin menjadi-jadi. Keucik Andah, Kepala Desa Nibung, repot sekali menenteramkan warganya. Maklumlah, desanya adalah jiran terdekat dari kelompok sumur II yang salah satu sumurnya terbakar itu. "Bayangkan, bang. Sore hari, kami harus boyong dari sini. Paginya harus kembali lagi membenahi sawah-ladang dan rumah kami," katanya pada TEMPO. Yunus, seorang penduduk Nibung Bawah juga mengeluh. Katanya "Sebentar-sebentar kami dikejutkan oleh auman sirene alarm pertanda siap-siap mengungsi. Padahal padi di sawah sedang minta dibenahi." Di Kecamatan Tanah Luas dan Syamtarila A droping uang dari Pertamina untuk para pengungsi, ternyata tidak lancar. Seluruhnya baru diterima bantuan Rp 300 ribu. Camat Syamtarila sendiri telah mencari dana Rp 1,4 juta guna menyuntik kebutuhan penduduk yang mengungsi. Sudah 921 kepala keluarga pengungsi yang ditampung. Yang berasal dari "daerah merah" ada 565 kepala keluarga, sedang 356 keluarga terkena "daerah kuning". Merah dan kuning itu adalah istilah untuk menunjuk masing-masing kawasan 1 km dan 2 km dari lokasi kebakaran. "Semua mereka itu harus dipindahkan secepatnya," kata Bupati Aceh Utara, M. Ali B. Tambahnya lagi: "Saya tak mau mendengar bahwa bantuan tak sampai ke tangan pengungsi." Regu pemadam kebakaran dengan tulisan "Red Adair" di punggung baju mereka, masih sibuk menyemprotkan lumpur lewat pipa pengeboran diagonal untuk mencekik sumur A-23 Selain itu, tanah di sekeliling api harus disiram terus tiap hari agar tak mengering. Sebab seperti dijelaskan Simorangkir, petugas humas Mobil Oil di sana, "bukan mustahil tanah yang kering oleh hawa api akan berpengaruh bagi kelancaran pemadaman." Misalnya: sumur yang sedang terbakar itu meledak sehingga meretakkan kulit bumi di sekitarnya. Berbagai hantu kemungkinan itu, terasa menakutkan penduduk dan pekerja di seputar lapangan gas alam Arun itu. Tapi bila cuaca malam cukup bagus, obor raksasa itu jadi tontonan masyarakat. Terangnya melebihi purnama. Bahkan dari kota Lhok Seumawe, tempat pabrik LNG yang letaknya puluhan kilometer dari Lhok Sukon cahaya kuning nan indah itu bisa kelihatan dengan jelas. Namun kata sepakat yang belum dapat dicapai hingga minggu lalu, baik dari Pertamina maupun Mobil Oil adalah: apakah penduduk sekitar kompleks sumur gas itu tak dapat dicarikan pemukiman baru, atau dipindahkan untuk sementara? Nyatanya penduduk yang jumlahnya sekitar 4000 jiwa itu tak bisa hidup tenteram selama api bergejolak di sana. Setidak-tidaknya auman suara gas terbakar yang ribut seperti pesawat jet lepas-landas, dan kedengaran sampai sejauh « kilometer, terasa sakit di kuping. Seandainya api nanti padam, apakah kelanggengan hidup mereka dapat dijamin? Daftar tanaman yang hangus masih terselip di map Camat -- tanpa memperoleh ganti rugi. Juga nama penduduk yang perlu dibantu masih utuh di buku catatan. Mobil Oil memang telah berjanji mencarikan penduduk yang tadinya tinggal di daerah "merah" dan "kuning", tapi kapan, belum pasti. Emil Salim Masalah sosial yang di balik musibah kebakaran gas alam di Aceh itu, sudah disampaikan pada Menteri PPLH Emil Salim. Sementara itu, juga laporan kerugian penduduk Kampung Baru Muara Badak, yang awal Juni lalu kecipratan musibah kebakaran tanki minyak Huffco di Kal-Tim, sudah masuk file sang Menteri Lingkungan. Ref Ardjus, seorang rekan kerabat penduduk Muara Badak yang sudah lama terusik oleh polusi sumur-sumur gas dan minyak Huffco juga sudah diterima oleh Wakil Presiden Adam Malik. Kasus di Kal-Tim itu, sampai saat ini dirasakan paling mengganggu bagi lebih-kurang sekitar 100 keluarga saja-jauh lebih sedikit dari pada yang di Arun. Namun karena pengeboran sumur-sumur Huffco di Badak tak mengenal sistim cluster seperti Mobil Oil, sementara ganti rugi hanya diberikan pada mereka yang tinggal atau bertani dalam jarak 100 meter dari setiap sumur baru, efek sosialnya bisa merembet lebih luas dan tak karuan. Maka harapan penduduk Muara Badak, seperti dinyatakan Ardjus yang kakek-neneknya merantau dari Tanah Bugis ke Muara Badak yang subur itu, "hanya dua: dipindahkan seluruh kampung ke tempat yang aman dimana mereka bisa terus bertani, setelah hak milik mereka diberi ganti rugi sekaligus, sesuai dengan nilainya sekarang." Bagaimana respons Menteri Emil Salim? "Saya harus tanyakan dulu pada fihak Pertamina, dan Direktorat Agraria," begitu jawaban yang diterima George Y. Adicondro dari TEMPO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus