KEBAKARAN sumur gas alam di Lhok Sukon, Arun (Aceh), baru akan
padam Oktober mendatang. Mobil Oil, kontraktor Pertamina di sana
tak terlalu pusing lantaran seluruh rekening operasi pemadaman
Red Adair akan ditagih dari hasil penjualan LNG Arun ke Jepang
(TEMPO, 1 Juli). Juga fihak Pertamina tampaknya tak begitu
risau. Sebab, seperti diutarakan Dir-Ut Pertamina Piet Haryono
minggu lalu, "rencana peresmian pabrik LNG Arun Agustus
mendatang tak akan tertunda." Namun sementara itu, bagaimana
nasib penduduk setempat?
Pembantu TEMPO Darmansyah, yang datang ke Lhok Sukon, minggu
lalu menyaksikan nyala api sumur gas A-23 itu masih cukup besar.
Tinggi api memang telah turun. Tapi gumpalannya yang menjilat
tanah bukannya semakin mengecil. Semburan liar dari mulut sumur
malah tambah galak. Keadaan semakin gawat. Sebab awan hitam yang
berasal dari hasil pembakaran gas alam itu telah disiram turun
oleh hujan. Akibatnya: sumur-sumur penduduk dan air sungai di
kawasan Lhok Sukon mulai tercemar.
Ketika hujan turun, bukannya rahmat yang jatuh ke bumi. Tapi
dalam radius 10 km dari tempat kebakaran, cucian ibu-ibu rumah
tangga bergetah dan hitam tercemar. Sambil menunjukkan sebotol
contoh air yang tercemar, Camat Tanah Luas mengatakan "Saya
sudah minta pihak Mobil untuk segera menelitinya."
Bayangkan, Bang
Sebagai langkah pencegahan, dia telah melarang penduduk dalam
radius 2 km dari sumur A-23 menggunakan airnya yang tercemar.
Penduduk juga sudah berjaga-jaga untuk menutup sumurnya, bila
hujan turun lagi.
Kegelisahan penduduk semakin menjadi-jadi. Keucik Andah, Kepala
Desa Nibung, repot sekali menenteramkan warganya. Maklumlah,
desanya adalah jiran terdekat dari kelompok sumur II yang salah
satu sumurnya terbakar itu. "Bayangkan, bang. Sore hari, kami
harus boyong dari sini. Paginya harus kembali lagi membenahi
sawah-ladang dan rumah kami," katanya pada TEMPO. Yunus, seorang
penduduk Nibung Bawah juga mengeluh. Katanya "Sebentar-sebentar
kami dikejutkan oleh auman sirene alarm pertanda siap-siap
mengungsi. Padahal padi di sawah sedang minta dibenahi."
Di Kecamatan Tanah Luas dan Syamtarila A droping uang dari
Pertamina untuk para pengungsi, ternyata tidak lancar.
Seluruhnya baru diterima bantuan Rp 300 ribu. Camat Syamtarila
sendiri telah mencari dana Rp 1,4 juta guna menyuntik kebutuhan
penduduk yang mengungsi. Sudah 921 kepala keluarga pengungsi
yang ditampung. Yang berasal dari "daerah merah" ada 565 kepala
keluarga, sedang 356 keluarga terkena "daerah kuning". Merah dan
kuning itu adalah istilah untuk menunjuk masing-masing kawasan 1
km dan 2 km dari lokasi kebakaran. "Semua mereka itu harus
dipindahkan secepatnya," kata Bupati Aceh Utara, M. Ali B.
Tambahnya lagi: "Saya tak mau mendengar bahwa bantuan tak sampai
ke tangan pengungsi."
Regu pemadam kebakaran dengan tulisan "Red Adair" di punggung
baju mereka, masih sibuk menyemprotkan lumpur lewat pipa
pengeboran diagonal untuk mencekik sumur A-23 Selain itu, tanah
di sekeliling api harus disiram terus tiap hari agar tak
mengering. Sebab seperti dijelaskan Simorangkir, petugas humas
Mobil Oil di sana, "bukan mustahil tanah yang kering oleh hawa
api akan berpengaruh bagi kelancaran pemadaman." Misalnya: sumur
yang sedang terbakar itu meledak sehingga meretakkan kulit bumi
di sekitarnya. Berbagai hantu kemungkinan itu, terasa menakutkan
penduduk dan pekerja di seputar lapangan gas alam Arun itu.
Tapi bila cuaca malam cukup bagus, obor raksasa itu jadi
tontonan masyarakat. Terangnya melebihi purnama. Bahkan dari
kota Lhok Seumawe, tempat pabrik LNG yang letaknya puluhan
kilometer dari Lhok Sukon cahaya kuning nan indah itu bisa
kelihatan dengan jelas.
Namun kata sepakat yang belum dapat dicapai hingga minggu lalu,
baik dari Pertamina maupun Mobil Oil adalah: apakah penduduk
sekitar kompleks sumur gas itu tak dapat dicarikan pemukiman
baru, atau dipindahkan untuk sementara? Nyatanya penduduk yang
jumlahnya sekitar 4000 jiwa itu tak bisa hidup tenteram selama
api bergejolak di sana. Setidak-tidaknya auman suara gas
terbakar yang ribut seperti pesawat jet lepas-landas, dan
kedengaran sampai sejauh « kilometer, terasa sakit di kuping.
Seandainya api nanti padam, apakah kelanggengan hidup mereka
dapat dijamin? Daftar tanaman yang hangus masih terselip di map
Camat -- tanpa memperoleh ganti rugi. Juga nama penduduk yang
perlu dibantu masih utuh di buku catatan. Mobil Oil memang telah
berjanji mencarikan penduduk yang tadinya tinggal di daerah
"merah" dan "kuning", tapi kapan, belum pasti.
Emil Salim
Masalah sosial yang di balik musibah kebakaran gas alam di Aceh
itu, sudah disampaikan pada Menteri PPLH Emil Salim. Sementara
itu, juga laporan kerugian penduduk Kampung Baru Muara Badak,
yang awal Juni lalu kecipratan musibah kebakaran tanki minyak
Huffco di Kal-Tim, sudah masuk file sang Menteri Lingkungan. Ref
Ardjus, seorang rekan kerabat penduduk Muara Badak yang sudah
lama terusik oleh polusi sumur-sumur gas dan minyak Huffco juga
sudah diterima oleh Wakil Presiden Adam Malik.
Kasus di Kal-Tim itu, sampai saat ini dirasakan paling
mengganggu bagi lebih-kurang sekitar 100 keluarga saja-jauh
lebih sedikit dari pada yang di Arun. Namun karena pengeboran
sumur-sumur Huffco di Badak tak mengenal sistim cluster seperti
Mobil Oil, sementara ganti rugi hanya diberikan pada mereka yang
tinggal atau bertani dalam jarak 100 meter dari setiap sumur
baru, efek sosialnya bisa merembet lebih luas dan tak karuan.
Maka harapan penduduk Muara Badak, seperti dinyatakan Ardjus
yang kakek-neneknya merantau dari Tanah Bugis ke Muara Badak
yang subur itu, "hanya dua: dipindahkan seluruh kampung ke
tempat yang aman dimana mereka bisa terus bertani, setelah hak
milik mereka diberi ganti rugi sekaligus, sesuai dengan nilainya
sekarang."
Bagaimana respons Menteri Emil Salim? "Saya harus tanyakan dulu
pada fihak Pertamina, dan Direktorat Agraria," begitu jawaban
yang diterima George Y. Adicondro dari TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini