GAUN HITAM
Cerita, skenario & sutradara: Ali Shahab
Produksi: PT Garuda Film.
PADA mulanya adalah sebuah novel: Gaun Hitam Seorang Hostes.
Pengarangnya Ali Shahab. Mungkin tertarik pada novelnya sendiri,
ia pun menulis skenario yang atas perkenan sang produser lalu
disutradarainya pula. Dan lahirlah film Gaun Hitam yang bintang
utamanya -- seperti juga pada film-film Ali terdahulu --adalah
pasangan Robby Sugara dan Tanty Yosepha.
Maka cerita pun dimulai. Sebuah adegan pemakaman cara Katolik
yang dipenuhi oleh warna hitam, oleh payung maupun pakaian para
pelawat. Adegan ini ditambah hujan yang terus mengucur deras.
Sebuah sudut pemotretan yang tinggi memberi kesempatan kepada
penonton untuk menyaksikan keseluruhan pelawat di pekuburan.
Memang sebuah pemandangan yang indah, sebab bagai sebuah tablo
yang tersusun apik, para pelawat itu masing-masing mengambil
posisi dalam halaman tempat bekas manusia itu dikumpulkau.
Sebuah pemakaman di Italia, Perancis, Spanyol? Bukan. Ini adalah
pemakaman Marto (S. Bono), suami Dewi (Tanti Yosepha), yang
meninggal karena serangan jantung ketika sedang lagi begitu.
Kematian ini ternyata menjadi kunci cerita, tatkala dokter
mengungkapkan penyebab kematian itu yang bersumber pada obat
perangsang yang diberikan oleh tante Sarce (Rae Sita).
Tapi mengapa Tante Sarce, yang baik-baik saja pada awal
pemunculannya kok ternyata "jahat"? Justru di situ letak
keasyikan ceritanya, meski soalnya sebenarnya amat sederhana.
Sarce ini ada main dengan pembantu dekat Marto yang dimainkan
Muni Cader. Bisa diduga ke mana jalan cerita, bukan? Harta,
harta tuan Marto itu, lho.
Cukup panjang jalan diciptakan Ali bagi ambisi Sarce untuk jadi
makin kaya. Mula-mula tante pemilik butik ini memungut Dewi dari
klab malam. Meninggalkan kehidupan hostes, Dewi menjadi
peragawati. Alhamdulillah, perempuan asal Yogya ini (dan bekas
mahasiswa Fakultas Sastra Gajah Mada) selalu saja sukses pada
setiap bidang yang dikerjakannya. Ketika jadi hostes semua tamu
penting jadi langganannya. Tatkala jadi peragawati semua koran
dan majalah sibuk memujinya.
Kerja sama Sarce & sekongkolnya ternyata berhasil menjadikan
Dewi umpan bagi Marto. Supaya usaha lebih cepat berhasil, Robby,
seorang pemuda penganggur, disewa 2,5 juta rupiah untuk
menghamili Dewi. Dan perempuan malang ini harus mengaku bahwa ia
hamil oleh Marto. Lelaki kaya itu tidak banyak pikir, lantas
saja kawin dengan Dewi. Tentu saja anak itu kemudian lahir.
Bahkan sempat merayakan ulang tahun pula. Pada ulang tahun bayi
itulah "ayah"nya tewas di ranjang.
Sejumlah Pistol
Sarce dan Muni Cader berhasil? Mustinya begitu. Tapi, yah tentu
film ini harus tragis, dan yang jahat kalah. Maka menjelang
akhir film, pada dinding kamar tidur Marto dan Dewi
diperlihatkan sejumlah pistol menempel. Di akhir cerita, pada
adegan pemakaman -- yang sudah diperlihatkan sebagian di awal
film -- Dewi yang terus menerus dirundung malang itu tiba-tiba
bagai seorang Jango yang dengan mudah menghabisi nyawa Sarce dan
Muni. Tentu saja ada slow motion di sini seperti kegemaran film
Indonesia lain.
Dalam soal memainkan kamera untuk suatu maksud, Ali Shahab,
seperti biasanya, memang tetap trampil. Adegan pembunuhan di
kuburan itu contohnya. Tapi kalau seseorang sudah mencari-cari
hubungan antara karya Ali yang bergaun hitam dan berpistol ini
dengan kenyataan di sekitar, pembicaraan memang terpaksa
berakhir pada kalimat pertama.
Lihatlah misalnya ketika film ini memperkenalkan Dewi untuk
pertama kalinya. Perempuan Yogya ini dikisahkan sebagai masih
mempunyai ibu yang amat dicintainya. Ia bahkan menjadi hostes
untuk membiayai operasi kanker ibunya. Tapi setelah
berumah-tangga hingga punya anak sampai jadi janda, hilang saja
itu ibu. Tuan Marto itu, juga begitu saja disuruh muncul di
depan penonton. Mengapa dia tidak punya isteri? Duda atau bujang
lapuk? Dari mana ia bisa jadi kaya? Berapa besar kekayaannya
hingga Sarce dan Muni Cader bertahun-tahun bekerja untuk tujuan
liciknya?
Karena banyaknya pertanyaan itulah maka sebaiknya kisah yang
difilmkan Ali ini dianggap saja sebagai sebuah bibit bagi sebuah
cerita yang insya Allah menarik. Bibit itu sesungguhnya masih di
kepala sang pengarang, belum lagi dikawinkan dengan
kenyataan-kenyataan hidup. Tapi sekali lagi Ali Shahab rupanya
membuktikan memang gemar membuat film tentang hal-hal yang hidup
dalam imajinasinya, bukan yang hidup di dunia sekitarnya. Boleh
saja, asal meyakinkan.
Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini