Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ada kuburan, warna hitam, pistol ...

Sutradara: ali shahab produksi: pt garuda film pemain: robby sugara, tanty yosepha resensi oleh : salim said. (fl)

8 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAUN HITAM Cerita, skenario & sutradara: Ali Shahab Produksi: PT Garuda Film. PADA mulanya adalah sebuah novel: Gaun Hitam Seorang Hostes. Pengarangnya Ali Shahab. Mungkin tertarik pada novelnya sendiri, ia pun menulis skenario yang atas perkenan sang produser lalu disutradarainya pula. Dan lahirlah film Gaun Hitam yang bintang utamanya -- seperti juga pada film-film Ali terdahulu --adalah pasangan Robby Sugara dan Tanty Yosepha. Maka cerita pun dimulai. Sebuah adegan pemakaman cara Katolik yang dipenuhi oleh warna hitam, oleh payung maupun pakaian para pelawat. Adegan ini ditambah hujan yang terus mengucur deras. Sebuah sudut pemotretan yang tinggi memberi kesempatan kepada penonton untuk menyaksikan keseluruhan pelawat di pekuburan. Memang sebuah pemandangan yang indah, sebab bagai sebuah tablo yang tersusun apik, para pelawat itu masing-masing mengambil posisi dalam halaman tempat bekas manusia itu dikumpulkau. Sebuah pemakaman di Italia, Perancis, Spanyol? Bukan. Ini adalah pemakaman Marto (S. Bono), suami Dewi (Tanti Yosepha), yang meninggal karena serangan jantung ketika sedang lagi begitu. Kematian ini ternyata menjadi kunci cerita, tatkala dokter mengungkapkan penyebab kematian itu yang bersumber pada obat perangsang yang diberikan oleh tante Sarce (Rae Sita). Tapi mengapa Tante Sarce, yang baik-baik saja pada awal pemunculannya kok ternyata "jahat"? Justru di situ letak keasyikan ceritanya, meski soalnya sebenarnya amat sederhana. Sarce ini ada main dengan pembantu dekat Marto yang dimainkan Muni Cader. Bisa diduga ke mana jalan cerita, bukan? Harta, harta tuan Marto itu, lho. Cukup panjang jalan diciptakan Ali bagi ambisi Sarce untuk jadi makin kaya. Mula-mula tante pemilik butik ini memungut Dewi dari klab malam. Meninggalkan kehidupan hostes, Dewi menjadi peragawati. Alhamdulillah, perempuan asal Yogya ini (dan bekas mahasiswa Fakultas Sastra Gajah Mada) selalu saja sukses pada setiap bidang yang dikerjakannya. Ketika jadi hostes semua tamu penting jadi langganannya. Tatkala jadi peragawati semua koran dan majalah sibuk memujinya. Kerja sama Sarce & sekongkolnya ternyata berhasil menjadikan Dewi umpan bagi Marto. Supaya usaha lebih cepat berhasil, Robby, seorang pemuda penganggur, disewa 2,5 juta rupiah untuk menghamili Dewi. Dan perempuan malang ini harus mengaku bahwa ia hamil oleh Marto. Lelaki kaya itu tidak banyak pikir, lantas saja kawin dengan Dewi. Tentu saja anak itu kemudian lahir. Bahkan sempat merayakan ulang tahun pula. Pada ulang tahun bayi itulah "ayah"nya tewas di ranjang. Sejumlah Pistol Sarce dan Muni Cader berhasil? Mustinya begitu. Tapi, yah tentu film ini harus tragis, dan yang jahat kalah. Maka menjelang akhir film, pada dinding kamar tidur Marto dan Dewi diperlihatkan sejumlah pistol menempel. Di akhir cerita, pada adegan pemakaman -- yang sudah diperlihatkan sebagian di awal film -- Dewi yang terus menerus dirundung malang itu tiba-tiba bagai seorang Jango yang dengan mudah menghabisi nyawa Sarce dan Muni. Tentu saja ada slow motion di sini seperti kegemaran film Indonesia lain. Dalam soal memainkan kamera untuk suatu maksud, Ali Shahab, seperti biasanya, memang tetap trampil. Adegan pembunuhan di kuburan itu contohnya. Tapi kalau seseorang sudah mencari-cari hubungan antara karya Ali yang bergaun hitam dan berpistol ini dengan kenyataan di sekitar, pembicaraan memang terpaksa berakhir pada kalimat pertama. Lihatlah misalnya ketika film ini memperkenalkan Dewi untuk pertama kalinya. Perempuan Yogya ini dikisahkan sebagai masih mempunyai ibu yang amat dicintainya. Ia bahkan menjadi hostes untuk membiayai operasi kanker ibunya. Tapi setelah berumah-tangga hingga punya anak sampai jadi janda, hilang saja itu ibu. Tuan Marto itu, juga begitu saja disuruh muncul di depan penonton. Mengapa dia tidak punya isteri? Duda atau bujang lapuk? Dari mana ia bisa jadi kaya? Berapa besar kekayaannya hingga Sarce dan Muni Cader bertahun-tahun bekerja untuk tujuan liciknya? Karena banyaknya pertanyaan itulah maka sebaiknya kisah yang difilmkan Ali ini dianggap saja sebagai sebuah bibit bagi sebuah cerita yang insya Allah menarik. Bibit itu sesungguhnya masih di kepala sang pengarang, belum lagi dikawinkan dengan kenyataan-kenyataan hidup. Tapi sekali lagi Ali Shahab rupanya membuktikan memang gemar membuat film tentang hal-hal yang hidup dalam imajinasinya, bukan yang hidup di dunia sekitarnya. Boleh saja, asal meyakinkan. Salim Said

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus