Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bagai habis kena bom

Bekas penambangan batu apung di pesisir desa ijoba lit dan dasan geres, lombok timur, yang tak teruruk makin terbengkalai. menteri klh meminta agar direklamasi supaya tanah bisa subur kembali.

23 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANAH seluas enam ratusan hektare itu bolong-bolong bagai habis kena bom. Dan lubang-lubang yang menganga di dekat pesisir Desa Ijobalit dan Dasan Geres, Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat (NTB) itu terus menyebar luas. Soalnya, lubang-lubang itu muncul akibat penggalian batu apung yang ditambang oleh rakyat. Maka, Menteri Negara KLH Emil Salim pun tak henti-henti meminta Pemda NTB supaya mereklamasikannya. "Agar lahan itu bermanfaat kembali," kata Emil beberapa waktu lalu. Namun, hingga kini bekas-bekas "bom" itu tak juga teruruk, sebab untuk itu Pemda NTB harus menyediakan dana Rp 1 milyar. Maka, yang bisa dilakukan Pemda NTB adalah membuat proyek percobaan untuk reklamasi seluas 7,5 ha. Terbentuk dari tanah regosol dan latosol berwarna cokelat-merah, kawasan di Lombok Timur itu memang kaya akan batu apung dan debu-debu vulkanik. Konon, batuan itu berasal dari perut bumi yang dimuntahkan Gunung Rinjani sekian ribu tahun lalu. Kandungan batu apungnya, kabarnya, bisa mencapai lebih dari 5%. Sejak daerah pertambangan itu dibuka, ratusan penambang datang dari berbagai daerah. Batu apung diangkat, dibersihkan, dan diekspor ke mancanegara -- antara lain untuk dijadikan bahan pencuci kain jeans. Pada 1989, batu apung yang digaruk sampai 38,8 ribu ton, senilai US$ 5,1 juta, 5~10 dari ekspor NTB yang cuma US$ 10 juta. Keuntungan yang diterima langsung Pemda NTB dari usaha penambangan rakyat itu, lewat berbagai macam iuran, besarnya Rp 330 juta pada 1989 lalu. Namun, akibatnya, lubang-lubang bekas penambangan itu berubah menjadi kolam-kolam kecil manakala hujan. Samhur, seorang gadis 16 tahun, Mei silam tewas tertimbun longsoran tanah. Dia adalah korban ketiga. Penggalian-penggalian itu, menurut Djumhani, Kepala Kanwil Pertambangan NTB, mestinya mengikuti prinsip terasering -- dibikin berteras-teras seperti tangga. Pelaksanaannya mudah, "Tinggal gali tanah lalu ditimbun dengan hasil galian berikutnya," tambah Djumhani. Tapi anjuran ini rupanya dianggap angin lewat oleh para penambang yang tak perlu berbekal surat izin itu. "Kalau dibayar Rp 350 per karung, kami mau meratakan tanahnya lagi," kata Inaq Murahun, salah seorang penambang. Dolog NTB, sebagai penampung hasil galian, memang menetapkan harga dasar Rp 350 untuk setiap karung batu apung (30 kg). Tapi nyatanya para penambang sering harus menjual dengan harga Rp 175-Rp 200 per karung karena konon harga jatuh gara-gara stok menggunung di Hong Kong, yang merupakan pembeli terbesar (80%) batu apung NTB. Soal "tutup lubang" memang tak tercantum dalam perjanjian kontrak antara pemilik tanah dan penambang, yang rata-rata menyewa dengan harga Rp 13 ribu per are (100 m2). Celakanya, para pemilik tanah pun sama masa bodohnya, mungkin karena menyewakan tanah itu dan lebih baik ketimbang B memeliharanya. Daerah Ijobalit memang merupakan kawasan tandus, curah 3 hujannya tak lebih dari 500 mm per tahun. Padahal, reklamasi bekas tanah galian itu bisa memberikan tanah yang lebih subur dari sebelumnya. Selamet Suryawan, penduduk Ijobalit, sudah mempraktekkannya. Dia menguruk lubang-lubang itu dengan tanah dicampur pupuk kandang, kompos dan pupuk urea. "Hasilnya bagus," ujarnya. Tanaman jagung yang ditanam bisa menghasilkan tongkol sebesar lengan dan berbiji 600. "Padahal, dulu hanya sebesar jempol, dan hanya bisa untuk makanan sapi," tambahnya. Biaya reklamasi itu cukup besar, Rp 2 juta per ha. Hasil sewa tanah itu bisa impas untuk reklamasi. "Tapi kami kurang bergairah memperbaiki tanah kalau tak ada irigasi," ujarnya. Irigasi teknis memang belum hadir di Ijobalit. PTH d~an Sup~riyanto Kh~alid (M~ataram~)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus