DOKTOR Ali Shariati pernah menggambarkan, ibadah haji bagaikan perjalanan menuju maut. Karena itu, ia menyarankan sebelum calon haji berangkat ke Tanah Suci, terlebih dulu melunasi utang-utang, menghapus rasa benci dan marah kepada sanak-keluarga, dan membuat surat wasiat. Yang digambarkan Ali Shariati mengesankan, seseorang yang akan menjalankan ibadah haji, untuk sementara waktu, harus melepaskan diri dari berbagai keterikatan. Ia juga harus melepaskan rasa cemas, rasa takut, rasa tidak aman, dan berbagai perasaan yang akan menghalanginya menuju kepada Allah. Singkatnya, ia harus merasa aman. Soal aman itulah yang menjadi pokok pembicaraan dalam Seminar Haji Peringkat Asia di Kuala Lumpur, Malaysia, Kamis dan Jumat pekan lalu. Jelasnya, kata Datuk Abdul Hamid Othman, Dirjen Haji Malaysia, seminar ini membahas masalah keselamatan jemaah haji di Tanah Suci. Hadir sekitar 300 orang peserta dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Pakistan, Mesir, antara lain. Disimpulkan, perlu adanya kerja sama antara negara-negara Asia dalam menangani masalah ini. Kerja sama ini, menurut H. Amidhan, Direktur Haji Indonesia, sebetulnya merupakan perluasan kerja sama antara Indonesia dan Malaysia, yang telah berlangsung dua tahun termasuk tahun ini. Selama itu, kalau ada jemaah haji Indonesia sakit dan kebetulan berada di dekat balai pengobatan Malaysia, maka tim medis Malaysia punya kewajiban untuk mengobati jemaah itu. Juga, panitia Indonesia dan Malaysia berkewajiban saling bantu dalam menolong jemaah haji yang tersesat. Kerja sama ini tidak berarti bahwa pelayanan haji pada kedua negara itu kurang andal. Pelayanan haji Indonesia, menurut Datuk Abdul Hamid Othman, sama baik dengan Malaysia. Ia memiliki organisasi dan administrasi yang baik. Yang membedakan, jemaah haji Indonesia jauh lebih besar ketimbang Malaysia. Tahun ini, jemaah haji Indonesia berjumlah lebih dari 81.000 orang, dan Malaysia hanya 36.000 orang. Mungkin Datuk Othman sedikit berbasa-basi. Dilihat dari organisasi urusan haji, Malaysia punya kelebihan. Yakni adanya lembaga yang bernama Lembaga Urusan dan Tabungan Haji (LUTH). Lembaga ini didirikan pada 1966 atas usul Prof. Ungku Aziz, yang ketika itu Rektor Universitas Malaya. Ungku Aziz melihat kebiasaan orang Malaysia yang ingin naik haji selalu menyimpan uangnya di bawah bantal. Sang profesor berpikir alangkah baiknya bila uang tersebut disimpan oleh pemerintah untuk kepentingan jemaah. Alhasil, terbentuklah LUTH yang sampai saat ini merupakan perusahaan terbesar di Malaysia dengan kekayaan US$ 25 milyar, atau sekitar Rp 45 trilyun -- sedikit lebih besar daripada RAPBN Pemerintah Indonesia 1990-1991. Uang ini di antaranya tertanam di perkebunan kelapa sawit, perusahaan susu Nestle, dan perusahaan pasta gigi Colgate. Dengan LUTH ini tarif ONH Malaysia dalam kurun waktu lima tahun ini bisa dipertahankan Rp 3.679.500 -- sudah termasuk 1.000 rial yang mesti dibagikan pada setiap jemaah, untuk bekal di Tanah Suci. Bila ONH ini bersisa, segera dibagi rata kepada setiap jemaah. Mungkin hal ini yang belum dimiliki Indonesia. Di Indonesia, tarif ONH-nya yang sebesar Rp 5,3 juta itu hanya berlaku untuk jemaah Jakarta. Jemaah dari luar ibu kota, misalnya Palembang, dibebani tambahan biaya Rp 209.000. Dari seminar dua hari itu, menurut Amidhan, banyak usul Indonesia yang diterima. Terutama dalam soal menasihatkan para jemaahnya agar naik haji hanya semata-mata untuk ibadah. Jangan pergi berhaji karena bujuk rayuan di luar tujuan itu, hingga bisa menyusahkan diri sendiri. Dan untuk mengantisipasi perkembangan ekonomi yang bisa menaikkan jumlah jemaah, Indonesia mengusulkan agar diutamakan mereka yang baru pertama kali naik haji. JK, & Ekram Hussein Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini