Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Wajah Pentingnya Ekospiritualitas Bagi Perlindungan Lingkungan

Masyarakat adat suku Baduy, suku Lamaholot, dan suku Anak Dalam mempraktikkan penghormatan terhadap alam. Bagaimana wujudnya?

7 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tetua adat dan Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TETUA adat dan Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija, duduk bersila di rumah panggung berdinding anyaman bambu serta bertiang kayu. Pagi itu, dia berbagi cerita tentang orang-orang yang melanggar pantangan adat, dari mencuri pisang, menebang pohon, sampai mengotori sungai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malapetaka yang menimpa para pelanggar pantangan itu beragam, dari sakit, kecelakaan, hingga meninggal. "Kami percaya siapa pun yang melanggar hukum adat bisa celaka. Hukum karma berlaku," kata Jaro Saija saat ditemui Tempo di rumahnya di kampung Baduy luar di Kaduketug, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, Rabu, 28 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saija mengatakan Baduy melarang warganya menebang pohon. Setiap pelanggaran atas larangan itu diselesaikan melalui hukum adat. Misalnya, bila seseorang mencuri pisang, dia harus mengembalikan sesuai dengan yang dicurinya. Takaran pengembaliannya juga tak boleh kurang atau lebih. 

Warga Baduy pun melarang pengunjung mandi dan mengotori Sungai Ciujung di Baduy luar. Menurut Saija, pantangan ini pernah dilanggar lima remaja dari Jakarta pada 2019. Kelimanya mandi sambil berteriak-teriak di sungai itu pada Jumat. Orang Baduy juga mempercayai mitos Jumat sebagai hari nahas. Lima remaja itu kemudian dilaporkan tewas tenggelam.

Suku Baduy, yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, menekankan pada ajaran saling menghormati antara alam dan manusia. Keyakinan hidup semacam ini juga dipraktikkan masyarakat adat lainnya, seperti suku Lamaholot di Flores, Nusa Tenggara Timur; dan suku Anak Dalam yang menghuni hutan Jambi.

Perempuan masyarakat adat Lamaholot sedang bertani di Desa Gayak, Ile Boleng, Pulau Adonara, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 5 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Suku Lamaholot punya kepercayaan adat tertinggi pada Lera Wulan Tanah Ekan, yang punya arti Tuhan, Matahari, Bulan, dan Bumi. Kepercayaan itu mempengaruhi hampir seluruh kehidupan orang Lamaholot, termasuk saat menanam dan menenun.

Lera Wulan Tanah Ekan diyakini sebagai leluhur yang menciptakan manusia dan hal itu diwariskan antar-generasi. Orang Lamaholot juga percaya hukum karma dan leluhurnya punya mata serta akan bertindak adil. Bila manusia berbuat salah, misalnya mencuri atau merusak alam, koda kirin (semacam wahyu) yang akan menghukumnya dengan penyakit dan kematian.

Di Bukit Duabelas, Jambi, suku Anak Dalam punya kepercayaan serupa. Badewo, sistem religi Orang Rimba, mempercayai pohon-pohon tinggi sebagai dewa pelindung. Selain pohon, mereka memuja leluhur, harimau, gajah, dan burung. Kepercayaan itu mengikat seluruh kehidupan Orang Rimba dengan hutan. 

Ekospiritualitas Masyarakat Adat

Penghormatan terhadap alam oleh tiga masyarakat adat tersebut merupakan bagian dari ekologi adat atau ekospiritualitas. Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Samsul Maarif, menjelaskan bahwa ekospiritualitas itu berbicara tentang relasi antar-manusia dan non-manusia yang wujudnya bisa berupa hutan, tanah, serta leluhur.

Bagi masyarakat adat, kata Samsul, hutan membawa spirit kehidupan yang berkelanjutan sehingga penting membangun relasi yang setara antara alam dan manusia. "Interaksinya tidak boleh berbenturan. Harus saling berbagi ruang," kata pengajar yang selama ini berfokus meneliti soal masyarakat adat tersebut.

Orang Rimba berkumpul di pondokan di Makekal Hulu Mekar Jaya, Tabir Selatan, Merangin, Provinsi Jambi, 19 Desember 2023. TEMPO/Shinta Maharani

Peneliti dari Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, Nursetiawan, menyatakan ekospiritualitas menjadi pegangan orang Baduy dalam beradaptasi dengan modernisasi. Hidup mereka sangat bergantung pada ladang, hutan, sungai, dan alam di wilayah ulayat Baduy. Bila alam mengalami kerusakan, tradisi, budaya, dan kelangsungan hidupnya juga bernasib sama. 
 
Nursetiawan mengatakan, sesuai dengan pikukuh (aturan adat) dan buyut (pantangan), ada tiga kewajiban orang Baduy terhadap alam. Tiga kewajiban itu adalah tidak merusak sukma (jiwa yang tak dikotori dosa), tidak merusak mandala (kawasan suci, termasuk hutan), dan menjaga tradisi melalui berbagai ritual pra-tanam, panen, serta pasca-panen. "Semua itu merupakan simbolisasi spiritualitas alam," katanya.

Orang Baduy, kata Nursetiawan, menganggap tubuh manusia berasal dari unsur-unsur tanaman. Keyakinan ini mendorong mereka untuk menjaga dan melindungi hutan serta lingkungan. Mereka memandang alam sebagai makhluk hidup yang harus dihormati. "Bukan sebagai benda mati yang dapat dieksploitasi secara serakah," Nursetiawan menambahkan. 

Masalahnya, kata Nursetiawan, kelestarian alam Baduy kini terganggu oleh aktivitas pariwisata, seperti sampah dari pengunjung yang mulai mencemari hutan. Sampah-sampah itu terlihat berserakan di sekitar sungai di dalam hutan kawasan Baduy dalam. Selain itu, sawah dan ladang makin sempit karena jumlah penduduk Baduy luar yang bertambah. 

Masyarakat adat Baduy Dalam menggendong panenan durian saat hari suci Kawalu di hutan Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten, 27 Februari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Pemerintah Lebak mengakui wilayah Baduy sebagai hak ulayat adat Baduy dengan luas 5.101,8 hektare. Wilayahnya terbagi atas hutan lindung 2.946 ha dan hutan produksi 2.155 ha. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2017, jumlah penduduk Desa Kanekes mencapai 11.699 jiwa. Pertumbuhan penduduknya 0,84 persen per tahun alias terjadi penambahan 92-93 jiwa. 

Pertumbuhan jumlah penduduk ini membuat warga Baduy luar terpaksa mencari lahan baru di luar wilayah adat mereka dan kian mendekati Rangkasbitung. Dengan lahan yang makin menyusut, warga Baduy harus mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Salah satunya adalah dari sektor pariwisata.

Menurut Nursetiawan, pertambahan jumlah penduduk juga mengubah praktik masa bera atau masa mengistirahatkan lahan. Semula masa bera bisa berlangsung selama tujuh tahun, kini tiga hingga lima tahun. Pemangkasan waktu ini dilakukan supaya warga Baduy cepat mendapatkan hasil panen. Perubahan itu berdampak negatif, yaitu mendegradasi kesuburan tanah. Pada akhirnya, hal ini akan mengancam produksi pangan. 

Di tengah perubahan-perubahan itu, kata Nursetiawan, warga Baduy berusaha membentengi diri dari pengaruh luar. Salah satu daya tahan yang dimilikinya adalah tetap menjaga hutan dan lingkungannya. "Aturan adat itulah yang paling penting untuk menjaga kelestarian alam," katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus