Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demon Slayer the Movie: Mugen Train adalah anomali di tengah masa pandemi. Saat industri film sejagat sedang terpuruk, anime asal Jepang ini malah cuan, melejit setinggi-tingginya. Torehan pendapatannya pun gila-gilaan. Film aksi heroik para pembasmi iblis itu menjebol rekor box office Jepang, menyingkirkan Spirited Away (2001)—film anime epik pemenang piala Oscar garapan Hayao Miyazaki dari Studio Ghibli.
Hingga 18 Januari 2021, Cinema Today mencatat Demon Slayer sudah meraih pendapatan US$ 347,9 juta atau sekitar Rp 4,89 triliun. Angka itu mengusung film berjudul asli Kimetsu no Yaiba ini menjadi yang kedua terlaris sepanjang masa, di belakang film anime bergenre romansa, Your Name (2017), dengan selisih US$ 10 juta. Artinya, bila masih konsisten hingga akhir Januari ini, bisa jadi para pembasmi iblis itu bisa merebut puncak klasemen global film anime.
Demon Slayer seperti menjadi obat yang membebaskan industri film dari nestapa panjang. Efek magis film ini bahkan mampu memanggil 3,4 juta orang ke bioskop dalam tiga hari pertama sejak dirilis di Negeri Sakura pada 16 Oktober 2020. Fenomena ini bisa dibilang ajaib, karena di masa pandemi kebanyakan orang memilih beralih ke platform streaming online yang lebih aman dan murah. Lalu mengapa kisah geng peringkus iblis ini menciptakan candu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demon Slayer: Kimetsu No Yaiba/imdb
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya, Kimetsu no Yaiba (Pedang Pemusnah Iblis) adalah manga garapan Koyoharu Gotouge pada 2016 hingga sekarang. Pada April-September 2020, serial animenya yang digarap Ufotable itu tayang di Jepang. Sebanyak 26 episode yang sudah tayang berangkat dari jilid awal manga bergenre fantasi ini. Adapun versi layar lebarnya, Mugen Train, adalah kelanjutan dari serial tersebut.
Plot sederhana dan tema keluarga menjadi faktor yang membuat Demon Slayer bisa menaklukkan pemirsa dengan rentang usia yang lebar. Meski film ini penuh perkelahian brutal dan berdarah-darah, para tokoh utama selalu berlatar kisah keluarga yang emosional. Cerita tentang si tokoh utama, Tanjiro Kamado, misalnya, sudah mengaduk-aduk perasaan sejak di episode pertama serialnya yang tayang di sejumlah platform seperti Netflix dan VIU.
Alkisah, Tanjiro tinggal di gunung bersama ibu dan adik-adiknya. Sampai satu hari, saat dia tengah pergi, seluruh anggota keluarganya menjadi santapan oni, setan pemakan manusia. Nahas, adik tertua Tanjiro, Nezuko, hidup tapi berubah menjadi oni. Tanjiro pun berikrar untuk membalas dendam dengan memburu oni dan bergabung dengan skuad pembasmi iblis. Awalnya, ia ditempa oleh Sakonji Urokodaki—salah satu penggawa demon slayer.
Sebagai tokoh utama, Tanjiro Kamado semacam ceruk yang menyerap seluruh karakter “putih” protagonis. Ia pendekar yang sayang keluarga, berani tapi juga welas asih, naif, dan gigih bertarung. Saking terkenalnya Tanjiro di Jepang, bocah sekolah dasar di sana bahkan lebih mengaguminya ketimbang orang tua mereka sendiri. Jajak pendapat itu dilakukan tahun lalu oleh perusahaan penerbitan dan pendidikan Benesse. Respondennya adalah 7.661 anak kelas III-VI sekolah dasar di Jepang.
Demon Slayer: Kimetsu No Yaiba/imdb
Benesse merilis, Tanjiro Kamado ada di peringkat pertama pahlawan versi para bocah, mengungguli ibu di posisi kedua, guru di peringkat keempat, dan ayah ada di deret kelima. Bahkan, di sepuluh besar, tokoh pahlawan lainnya juga merupakan karakter Demon Slayer, seperti Shinobi Kocho, Giyu Tomioka, dan Nezuko—adik Tanjiro. Fenomena ini membuat pejabat pemerintahan Jepang ikut bersuara. Menteri Revitalisasi Ekonomi Jepang Yasutoshi Nishimura di akun Twitternya mencuit bahwa capaian Demon Slayer spektakuler bagi dunia hiburan dan kebudayaan, di tengah perjuangan dunia melawan virus corona.
Sementara serial Demon Slayer mengisahkan petualangan Tanjiro dan gengnya, filmnya yang selama dua jam menuturkan perjalanan penuh bahaya di kereta mugen. Di kereta itu, Tanjiro berangkat bersama Nezuko dan kawan seperjuangan, Zenitsu Agatsama dan Inosuke Hashibara—yang sangat konyol. Mereka bergabung dengan hashira (kasta atas pembasmi iblis) Kyojuro Rengoku. Berbeda dengan kelompok Tanjiro yang culun, Rengoku adalah prajurit karismatik yang eksentrik. Dia mahir bertempur dengan pedang, yang dalam satu adegan ditunjukkan dengan kemampuannya melibas leher iblis dalam sekali tebasan.
Saking kerennya Rengoku, Tanjiro yang indra penciumannya kuat menyebut seniornya itu menguarkan bau keadilan. Namun, baru sesaat kereta berjalan, lampu di gerbong tempat mereka duduk tiba-tiba padam. Bau iblis terendus oleh Tanjiro, diikuti kekacauan yang mesti mereka bereskan. Nyatanya, serangan tak hanya muncul dalam kereta dari setan yang bisa memanipulasi mimpi manusia, tapi juga dari Akaza, oni terkejam peringkat ketiga yang lihai bela diri. Munculnya Akaza ini menjadi mimpi buruk bagi Rengoku.
Plot yang seru, dengan sejumlah kejutan dan adegan melodramatis ini disokong visual garapan Studio Ufotable (Tales of Zestiria, Fate/Zero) yang ciamik. Palet warna cat airnya cenderung tegas—sedikit berbeda dengan film Studio Ghibli yang kalem dan dreamy. Salah satu sajian gambar indah di film ini adalah hutan yang dipenuhi bunga wisteria, yang kontras dengan belantara para iblis yang mengerikan.
Laga para pahlawan melawan setan untungnya mendapat porsi sama besar dengan dramanya. Hal itu menyenangkan karena babak pertarungan selalu terlihat padat, bertempo cepat, brutal, dan indah. Sokongan musiknya pun mampu memperkuat dramatisasi tiap adegan, sehingga emosi kita bisa jungkir balik dibuatnya. Ada haru, sesal, tawa, dan kemarahan yang bisa tersampaikan dengan baik berkat scoring film yang pas.
Sebagai film anime, boleh dibilang sinematografi dan jalan cerita Demon Slayer tak menyuguhkan kebaruan. Penggalan ceritanya bahkan sering mengingatkan kita pada bagian dari manga dan anime lain. Namun siapa pun yang menontonnya, muda-mudi, anak-anak, ataupun orang tua, akan menyerap banyak hal baik dari kisah peringkus iblis ini. Sebab, Demon Slayer tak hanya menyematkan nilai-nilai persahabatan, cinta kepada keluarga, keteguhan, dan empati, tapi film ini juga menyelimutkan kehangatan di tengah keresahan karena pandemi.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo