Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rancangan peraturan Menteri Perindustrian tentang bahan baku gula industri menunggu aturan pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja.
Rencana mekanisme baru impor gula belum jelas.
Draf rancangan Peraturan Menteri Perindustrian tak sejalan dengan keputusan rapat kabinet 5 Oktober 2020.
TIGA bulan sudah draf rancangan peraturan Menteri Perindustrian bertajuk “Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional” bercokol di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrian Supriadi mengatakan naskah rancangan regulasi baru tersebut masih dalam tahap harmonisasi. “Menunggu rancangan peraturan pemerintah turunan Undang-Undang Cipta Kerja selesai,” kata Supriadi, Jumat, 5 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah memang tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian yang merupakan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja—dikenal sebagai omnibus law. Meski tak spesifik mengatur soal gula, RPP berisi 141 pasal ini memuat sejumlah pasal tentang kemudahan memperoleh bahan baku dan bahan penolong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Supriadi, jaminan bahan baku bagi industri pangan menjadi salah satu fokus pengaturan dalam RPP tersebut. Kelak ketersediaan bahan baku gula dan garam, baik dari dalam negeri maupun impor, dibahas berdasarkan neraca komoditas. Pembahasannya melibatkan semua kementerian dan lembaga terkait, dari hulu hingga hilir, di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian. “Harus dilakukan verifikasi baik dari sisi supply maupun demand sehingga akan didapatkan data kebutuhan bahan baku yang akurat dan akuntabel,” tutur Supriadi.
Akurasi data selama ini menjadi momok bagi pengelolaan komoditas pangan di Indonesia. Gula, misalnya, saban tahun menjadi isu panas lantaran bisa mendadak langka, lalu tiba-tiba membanjiri pasar. Kondisi ini terjadi baik pada gula kristal rafinasi yang dibutuhkan oleh industri makanan dan minuman maupun gula kristal putih yang biasa dikonsumsi masyarakat.
Pada Maret 2020, di tengah wabah Covid-19 yang mulai menjangkiti Indonesia, publik ramai lantaran langkanya gula konsumsi. Hingga medio April 2020, harga gula konsumsi melambung 25 persen di kisaran Rp 18-20 ribu per kilogram. Kondisi ini memaksa pemerintah menugasi sejumlah pabrik gula rafinasi, yang biasanya memenuhi kebutuhan industri, mengolah gula mentah hasil impor menjadi gula konsumsi.
Masalah baru muncul kemudian. Giliran industri yang sulit mendapatkan bahan baku gula. Pasokan menipis lantaran izin impor tambahan telat keluar. Sejumlah perusahaan besar di industri makanan dan minuman pun mengirim surat kepada Kementerian Koordinator Perekonomian. Mereka mendesak pemerintah agar segera memberikan izin impor gula mentah kepada pabrik gula rekanan yang biasa memasok gula rafinasi.
Di tengah kecemasan pabrik makanan dan minuman itu, rapat kabinet digelar, khusus untuk membahas importasi gula dan garam industri. Seusai rapat, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan rencana pemerintah memberikan izin impor gula hanya kepada industri pengguna. “Gula nanti yang mengimpor hanya industri pangan, yang memerlukan. Jadi tidak dari orang lain sehingga tidak menjadi permainan,” ucap Luhut ketika itu. Aturan teknisnya, dia melanjutkan, akan disiapkan Kementerian Perindustrian dan kementerian terkait lain.
Belakangan, Kementerian Perindustrian menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri Perindustrian tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Rancangan peraturan ini menjadi sumber kasak-kusuk di antara pelaku industri. Pasalnya, alih-alih membuka peluang bagi industri pengguna untuk mengimpor langsung bahan bakunya, draf tersebut justru membatasi izin impor hanya bagi importir lama.
•••
PELAKU industri makanan dan minuman bisa sedikit bernapas lega. Pemerintah dikabarkan telah menyetujui impor 1,9 juta ton gula mentah untuk direalisasi pada semester pertama tahun ini.
Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia, mengatakan asosiasinya telah bertemu dengan Kementerian Perindustrian untuk membahas kebutuhan industri tahun ini. “Kalau tentang mekanisme impornya belum (dibahas),” ujar Adhi, Jumat, 5 Februari lalu.
Menurut Adhi, asosiasi yang dipimpinnya juga belum membahas khusus draf rancangan peraturan Menteri Perindustrian, yang menyatakan impor gula hanya dapat dilakukan oleh perusahaan industri gula rafinasi. Asosiasi, kata Adhi, masih menunggu hasil akhir penyusunan rancangan peraturan pemerintah turunan Undang-Undang Cipta Kerja. “Di sana akan berdasarkan neraca komoditas.”
Pasal 5 draf Peraturan Menteri Perindustrian tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional menyatakan rekomendasi impor raw sugar untuk produksi gula rafinasi hanya dapat diberikan kepada perusahaan industri gula kristal rafinasi yang memiliki izin sebelum 25 Mei 2010. Draf sama sekali tak mengatur rencana izin impor secara langsung oleh industri pengguna seperti yang disebut telah diputuskan dalam rapat kabinet 5 Oktober 2020.
Pasal inilah yang sebelumnya memicu kasak-kusuk di antara pelaku industri gula. Batas izin 25 Mei 2010 mengacu pada tanggal penerbitan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Peraturan itu dikenal sebagai daftar negatif investasi.
Pelaku industri pengguna gula rafinasi khawatir pasal itu hanya memberikan hak impor kepada sebelas perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI). Mengacu pada jumlahnya, perusahaan-perusahaan anggota AGRI ini kerap dijuluki “Sebelas Samurai” gula rafinasi. Mereka mendominasi industri lantaran tak hanya menggarap bisnis gula rafinasi. Sebagian di antaranya juga mulai masuk ke industri pabrik gula berbasis tebu.
Ketua Forum Lintas Asosiasi Industri Pengguna Gula Rafinasi Dwiatmoko Setiono menilai keputusan rapat kabinet 5 Oktober 2020 sudah tepat. Pengadaan secara langsung oleh industri pengguna, dia mengungkapkan, “Jauh lebih efisien baik dari sisi prosedur maupun biaya.”
Rencana pembatasan pelaksana impor juga dipertanyakan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia Danang Girindrawardana. Ketentuan itu bakal menutup peluang bagi pabrik baru untuk mengimpor gula mentah. “Makin jauh dari keputusan kabinet. Ini mengukuhkan praktik yang selama ini terjadi oleh sebelas pelaku lama,” ucap Danang, Kamis, 4 Februari lalu.
Tudingan miring mengarah ke Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia. Pasalnya, perhimpunan produsen gula rafinasi ini sempat mengusulkan aturan impor gula mentah dibedakan antara gula rafinasi untuk industri dan gula kristal putih buat rumah tangga.
Ketua AGRI Bernardi Dharmawan menampik kabar bahwa asosiasinya telah melobi pemerintah dalam penyusunan rancangan peraturan baru tersebut. Bernardi menyatakan asosiasi hanya menyampaikan keluhan kepada Kementerian Perindustrian mengenai perbedaan antara komoditas gula untuk industri dan konsumsi rumah tangga.
Menurut Bernardi, kapasitas produksi gula rafinasi dari sebelas anggota AGRI sudah berlebih. Angkanya mencapai 5,5 juta ton per tahun. Sedangkan kebutuhan industri berada di kisaran 3 juta ton. “Ketika ada industri gula baru, mereka mengisi defisit dari kebutuhan konsumsi. Kalau gula industri sudah terpenuhi oleh AGRI,” ujarnya.
Anggota Komisi Industri Dewan Perwakilan Rakyat, Mufti Anam, sepakat dengan isi rancangan peraturan Menteri Perindustrian tersebut. Dia menilai impor bahan baku gula melalui industri gula rafinasi dapat memberi nilai tambah bagi perekonomian.
Meski begitu, dia mendesak agar tata niaga gula diperbaiki. Sistem perizinan impor, misalnya, dapat diberlakukan secara tahunan untuk menjaga pasokan. Dengan begitu, industri pengguna tidak sulit mengakses gula rafinasi seperti yang selama ini kerap terjadi. Selain itu, tata kelola impor harus transparan, tepat waktu, tepat jumlah, dan dilengkapi sistem pengawasan yang ketat. “Selama ini pengawasan tidak optimal. Banyak kasus ditemukan ada gula rafinasi bocor ke pasar gula konsumsi atau tradisional,” tutur Mufti, Kamis, 4 Februari lalu.
AISHA SHAIDRA, RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo