Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bakau dibabat, malaria tiba

Pembabatan hutan bakau di Desa Ujungalang & Ujung Gagak, kampung laut, untuk bertambak ikan, ternyata mendatangkan penyakit malaria yang memakan korban puluhan orang. (ling)

1 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELANGGARAN Daerah Bebas Malaria (DBM) di Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah, sampai pekan lalu, telah memakan korban 67 jiwa. Padahal, Cilacap sebelumnya dikenal sebagai kabupaten dengan Annual Parasite Index (API) yang sangat kecil. Tahun 1960, API di daerah tinkat dua ini tercatat 0,92. Artinya, tak sampai seorang dari 1.000 penduduk yang menderita malaria. Bahkan, sampai Juli lalu, angka itu hanya 0,32. "Ini sudah bisa dikatakan bebas malaria," kata dr. Nardho Gunawan, M.P.H., kepala Kanwil Depkes Ja-Teng. Tapi, sejak Oktober lalu, nyamuk anopheles, penyebab malaria, telah menjungkirbalikkan angka-angka itu. "Setiap hari ada dua orang yang menggigil dengan panas badan yang tinggi," ujar Budiono, kepala desa Ujungalang. Di desa yang berpenduduk 3.650 orang itu tercatat sudah 37 orang yang meninggal akibat wabah malaria kali ini. Dari sekitar 7.000 penduduk Kecamatan Kampung Laut, menurut Nardho Gunawan, diduga 1.000 orang terserang malaria. Betapa berbahaya keadaan inl tercermm dari survei penghitungan kepadatan nyamuk yang dilakukan Kanwil Depkes. Hasil survei menunjukkan, rata-rata seorang penduduk di Kampung Laut hari-hari ini membunuh 19 ekor nyamuk tiap satu jam. "Padahal, bila satu jam saja seorang membunuh dua nyamuk, bisa diartikan daerah itu sudah berbahaya," kata Nardho. Mengapa nyamuk malaria kembali menyerbu Kecamatan Kampung Laut? Semua itu terjadi gara-gara pembabatan hutan bakau. Sejak akhir Juli, selama dua bulan, hutan bakao di Desa Ulungalang dan Desa Ujunggagak, masing-masing hanya 1,5 ha, habis dibabati penduduk. "Soalnya, kami ingin membuat kolam ikan," kata Budiono. "Dan rencana ini sudah disetujui Bupati dan juga Perhutani." Kecamatan Kampung Laut yang terletak di Segara Anakan, yang memisahkan pantai Cilacap dengan Pulau Nusakambangan, memang daerah nelayan. Tapi kedalaman rata-rata di perairan itu kini tinggal sekltar dua meter. Penyebabnya, serbuan lumpur dari Kali Donan, Citanduy, Sapuregel, Kembang Kuning, dan Dongol yang bermuara ke sana. Akibat pendangkalan itu, hasil tangkapan penduduk di perairan bebas itu berkurang. "Kami sekarang hanya bisa hidup paspasan," kata Budiono. Kenyataan ini mendorong penduduk mencoba hidup dengan membuka tambak ikan sendiri. Untuk itu, hutan bakau tersebut dibabat. Di Desa Ujungalang dan Desa Ujunggagak kini masing-masing dibangun dua tambak seluas 0,75 ha. Meski hanya 3 ha dari sekitar 24.000 ha hutan bakau di Kecamatan Kampung Laut yang dibabat, toh itu sudah lebih dari cukup untuk "membangkitkan" nyamuk dari sarangnya. "Dengan ditebangnya hutan bakau itu, jentik nyamuk, yang selama ini tak bisa hidup karena tak mendapat matahari, lantas berkembang biak," kata Nyoman Kumara Rai, kepala Subdit Malaria Ditjen Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Depkes. Nyamuk-nyamuk malaria itu, yang punya kesanggupan "merantau" sejauh 3,4 km, lalu beroperasi ke rumah-rumah penduduk. Akibatnya, 37 penduduk Ujungalang dan 30 warga Ujunggagak meninggal. Bahkan, sampai pekan lalu,45 tenaga medis yang diterjunkan Kanwil Depkeske Kecamatan Kampung Laut belum dipanggil pulang. "Mereka bertugas melakukan penyemprotan massal dengan DDT, dan melakukan pengobatan radikal," kata Nardho. Malapetaka ini sebenarnya tak perlu terjadi andai kata larangan menteri pertanian tentang penebangan hutan bakau (1979) ditaati. "Tapi memang tidak disebutkan hutan mana yang tidak boleh ditebang," 'ujar Dr. Herman Haeruman dari Kantor Menteri KLH. Sebuah sumber mengatakan larangan itu juga berlaku untuk hutan bakau Cilacap. Sebab, sejak 1875, Belanda sudah mensinyalir bahwa hutan bakau di Cilacap ini banyak mengalami kerusakan akibat ulah penduduk, yang menebangi kayunya untuk dijual ke pedagang Cina. Bahkan, penelitian Sunarto Hardjosuwarno dari Fakultas Biologi UGM kemudian membuktikan bahwa hutan bakau di Cilacap itu tinggal hutan sekunder saja - yang tumbuh dari proses regenerasi alamlah. Padahal, dulunya, hutan bakau di Segara Anakan itu tergolong sangat baik. Vegetasi hutan di situ bisa memiliki tajuk yang tingginya 40 m dan membentuk suatu jalur yang lebarnya 40 m pula. Semua itu, sekarang, tinggal kenangan. Merusakkan hutan bakau tidak cuma membangkitkan penyakit malaria seperti terjadi di Kecamatan Kampung Laut, tapi juga mengebiri pertumbuhan populasi udang. Sebab, hanya udang dewasa yang mencari tempat dalam di tengah laut. Waktu muda, mereka berdomisili di tempat yang dangkal di tepi pantai. Itu artinya di hutan bakau. "Sebab, akar-akar hutan bakau itu tempat menempel makanan yang dibawa air laut," kata Djoko Setiadjid, kepala Subbagian Bina Program Dinas Perikanan Provinsi Ja-Teng. Itulah sebabnya penduduk dilarang "mengganggu" hutan bakau pada zona 3 km dari pantai Cilacap. Sebab, kawasan itu merupakan "sabuk hijau" (green belt) yang dibikin Perhutani dan Dinas Perikanan. "Tapi tangan jahil penduduk tetap saja menebanginya untuk kayu bakar," kata Wahyudi, kepala Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus