BALI, yang punya andil sebagai andalan devisa negara, memang mengesankan para turis -- yang kepadatannya diperkirakan sekitar 1.200 orang per km2. Tapi lihatlah Pantai Sanur. Hari itu, misalnya, ada seorang bapak berendam, seraya makan nasi yang bungkusnya dibuang begitu saja di air. Itu belum lagi kulit pisang, kacang, kertas tisu, yang berserak di sana sini. Kalau ditegur? "Tempat membuang sampahnya terlalu jauh, Pak!" jawab seorang mahasiswa, I Nyoman Rekita. Ia malah membuang bonggol jagung sembarangan. Tempat sampah ? Itu berupa tong bekas, tetapi diletakkan 100 meter dari garis pantai. Beberapa turis Australia, seperti yang menginap di Bali Hyatt, mengeluh ketika melihat sampah yang berscrakan itu. Mereka merasa agak "jijik" walau ada juga yang mandi di Pantai Sanur. "Sepanjang belum menggatalkan kulit, oke-oke saja," ujar seorang turis yang senang berenang. Karena kondisi pantai yang semak itu, konon banyak turis asing tak betah menginap di Bali Hyatt yang berbintang lima itu. Mereka pindah ke Nusa Dua. Di sana pantainya bersih, kendati tak sembarang orang berani berenang. "Tidak benar mereka pindah dari hotel ini karena Pantai Sanur tercemar," bantah manajer humas hotel itu, I.G.P. Aryasutha. Banyak turis lebih suka menyelam disebelah timur pelabuhan Benoa yang masih jernih airnya. Pada kedalaman hampir 11 meter saja dasar lautnya terlihat jelas. Apalagi di dekat sana ada daya tarik terumbu karang -- mengandung unsur N dan K -- dan hewan laut seperti ikan hias, udang karang, bulu babi, teripang. Bukan seperti di Pantai Sanur. Baru pada kedalaman enam meter saja, dasarnya sudah kabur dipandang. Hal tercemar itu sudah diamati sejak 1977. Pertama kali pada waktu itu ada penelitian Dra. N.K. Mardani Rata, M.Sc., tetapi sempat menghebohkan. Sanur tercemar? "Kalau kita bicara pencemaran pantai wisata, itu bukan sebagai biota laut," katanya kepada TEMPO. Diakuinya, ketika itu analisa kandungan semua bakteri memang tinggi, walau sebenarnya tak semua bakteri membahayakan. Misalnya bakteri E-coli yang bisa bikin sakit perut? "Ternyata rendah kandungannya," tambah Mardani Rata, yang kini Eektor Kepala di Bagian Biologi FK Universitas Udayana itu. Dalam tulisan hasil penelitiannya pada 1985, Pengaruh Pengembangan Pantai terhadap Ekosistem Pantai Bali, ia mencatat:bakteri itu pada 1975 mencapai 2.466 koloni per 100 ml air. Dua tahun kemudian menjadi 43.200 koloni. Padahal, lingkungan perairan laut yang dipakai tempat rekreasi itu standarnya, antara lain, bakteri coli mestinya lebih kecil dari seribu koloni. Lalu waktu itu ia menyimpulkan: Pantai Sanur dan Kuta tidak sesuai untuk rekreasi, karena membahayakan kesehatan. Di antara biang pencemarnya adalah restoran dan hotel di wilayah itu, seperti Hotel Bali Hyatt, juga ikut dituding. Semua itu tampak dari cara pembuangannya ke laut, misalnya, dengan menunggu sedang pasangnya air -- karena ketika itu limbah dari hotel dan eks restoran cepat tersolusi di laut. Tapi mereka lupa. Minyak sebenarnya tak pernah berkompromi dengan air Buangan minyak (oli), yang mengandung "hidrokarbon", itu tampak di atas, karena berat jenisnya lebih kecil dibanding air. Bahayanya, bila terminum oleh orang yang sedang berenang, bisa mengempiskan "alvioli" atau membuat paru-parunya pecah. Limbah pencemar lainnya dari kegiatan turis, seperti air panas atau kotoran lainnya, dapat mengubah ekosistem dan mempengaruhi komunitas biota laut. Kegawatan buangan minyak itu, menurut Mardani, sudah tak tampak lagi sekarang. "Saya bisa menjamin, Sanur itu belum tercemar, termasuk pencemar pestisida dan limbah hotel," ujarnya. Rupanya, Bali Hyatt sudah menampung minyak itu di drum, dan seminggu sekali tangki Pertamina mengambilnya (tanpa biaya) -- meski limbah minyak itu laku dijual. Sedangkan limbah organik dari dapur Bali Hyatt masuk ke pengolahan imbah yang memakai sistem bertingkat empat. Prosesnya tanpa bahan kimia, melainkan prinsipnya limbah itu dicampur air, diembus angin, diaduk, dan disaring. Air limbah itu lantas dimanfaatkan untuk menyiram taman. "Lihatlah kesuburan taman kami," ujar Wyn. Mataram, manajer Engineering Bali Hyatt. Boleh disangka bahwa Bali Hyatt tak berandil lagi sebagai pencemar, karena pada muara buangan yang tak terdeteksi kandungan H2S tidak berbau busuk. Tapi, itu bukan berarti penikmat alam di Pantai Sanur tak perlu ragu-ragu lagi. Di dekat situ sekarang muncul hotel-hotel kecil yang, tak pelak lagi, membuat lingkungan asri Sanur jadi scperti mabuk. "Bila saat pasan, mereka memang sering kucing-kucingan membuang limbah dari hotelnya," ujar Kepala Biro KLH di Bali, I B. Ngurah Kusayatna. Karena itu, Pemda akan membuat tempat buangan limbah juga tinja manusia -- dari hotel-hotel kecil itu. Belum lagi limbah yang bersumber dari turis, seperti bungkus permen, pembungkus dari daun pisang, bonggol jagung. "Ini yang mencapai titik kritis," tutur Mardani. Ahli biologi laut dan ibu 4 anak ini, yang terus meneliti sejak 1977 itu, kini sedang menyusun disertasinya mengenai aspek lingkungan daerah wisata Sanur dan Kuta. Limbah yang tergolong bahan organik itu, kalau tak keburu dibersihkan, disapu air laut yang menggelombang ke pantai jangan sangka itu tak berarti bagi alam yang dijadikan komoditi wisata. Menurut Mardani, bahan organik itu setelah diolah jasad renik sebagian jadi larutan suspensi (suspended solution). Larutan itu, mungkin, tak jadi masalah jika air pasang dan surut yang membentuk ombak itu bebas membawa limbah. Tapi di sana ada karang yang membentang dari Padang Galak, Benoa -- yang terpotong sedikit di Pulau Serangan -- sampai ke Nusa Dua, yang panjangnya sekitar 30 km. Karang itu sebenarnya bagus untuk turis karena melemahkan ombak pantai selatan yang terkenal ganas itu. Sebaliknya, bentangan karang itulah yang membuat larutan suspensi tak bebas berbalik ke lautan. Maka, keruh jadinya. Suhardjo Hs., IN. Wedja, Djoko Daryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini