Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Balada Kakus di Ruang Tamu

Terminal sampah Bantargebang digugat. Baunya mengelana, asapnya mencekik pernapasan. Penanganan sampah harus dimulai dari rumah tangga.

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum pukul sepuluh pagi, tapi terik matahari di Bantargebang serasa menerkam kulit. Bau busuk menggenang di antara langit dan bumi. Aromanya mengendap dan melekat di semua tempat: di dinding rumah, di keranjang, di pakaian, dan di setiap pori puluhan tubuh ceking yang pagi itu terhuyung-huyung di antara gundukan sampah. Di sana-sini, asap mengepul terbawa angin kemarau. Hidung terasa tercekik, mata pedih, terpicing. Bantargebang adalah legenda kakus yang sulit diurus. Kawasan 100 hektare di pojok Bekasi itu, dalam sepuluh tahun terakhir, menjadi satu-satunya tempat pembuangan akhir (TPA) sampah warga Jakarta. Setiap hari, tak kurang dari 22 ribu meter kubik sampah disetorkan ke tempat ini. Padahal, kapasitas pengolahannya cuma 14 ribu meter kubik. Selain kelebihan beban, Bantargebang agaknya juga mulai salah posisi. Dulu, ketika masih terpencil, terminal sampah itu seperti borok tersembunyi. Tapi pertumbuhan penduduk dan industri tiba-tiba menempatkan kubangan sampah ini di tengah-tengah permukiman padat. Seperti kakus di ruang tamu, Bantargebang jadi perkara serius. Bau dan asap tebal tak lagi bisa dikurung, tapi berkelana hingga 10 kilometer jauhnya. Akibatnya bukan cuma jarak pandang yang terganggu, penyakit pun merebak. Sebuah penelitian kesehatan Juli lalu menyimpulkan, 59 persen penduduk terserang infeksi saluran pernapasan atas. Dari jumlah itu, 34 persen mengidap TBC. Lebih parah lagi, 95 persen air tanah di sekitar Bantargebang tercemar bakteri koli dan cairan limbah. Gatal-gatal sehabis mandi air sumur sudah jadi keluhan yang lumrah. Sebenarnya, Bantargebang didesain sebagai gudang sampah yang bebas polusi. Tanah di terminal sampah itu harus dilapisi karpet kedap air untuk mencegah imbasan limbah cair sampah yang membusuk. Ada pipa khusus yang mengalirkan juice busuk itu ke kolam pengolahan, sebelum akhirnya dibuang ke sungai. Penumpukan sampah juga tak boleh sembarangan. Untuk mencegah sebaran bau, tiap bertambah tinggi dua meter, gunung sampah itu harus dilapisi tanah 15 cm. Agar tetap stabil, gundukan seperti itu tak boleh lebih dari 20 meter. Lapisan tanah teratas harus dihijaukan. Dengan cara ini, Bantargebang bukan sekadar kubangan sampah tapi juga taman yang hijau. Rencana boleh hebat, tapi praktek perkara lain. Pelapisan tanah itu, misalnya, bukan soal yang murah. Untuk membeli tanah uruknya saja, Pemda DKI harus menghabiskan Rp 12,5 miliar setahun. Padahal, anggaran operasional konon amat terbatas. Akibatnya, kubangan sampah raksasa itu tak pernah dikelola dengan semestinya. Dari 60 hektare areal yang ditangani, misalnya, tahun lalu cuma 4,5 hektare yang dilapis tanah. Alih-alih jadi taman, Bantargebang malah lebih mirip tong sampah terbuka. Posisi Bantargebang sebagai sumber penghidupan sekitar 5.000 pemulung membuat pengurusannya makin belepotan. Kendati diakui membantu mengurangi sampah tak terurai, pemulung juga dituding sebagai biang keladi tumbuhnya TPA liar. Menurut Kepala Seksi Pemusnahan dan Pemanfaatan Sampah DKI, Prasodjo Sudarmo, para pemulung sering "membajak" truk sampah di tengah jalan. Setelah plastik, botol, atau kalengnya diambil, sisanya berceceran. Akibatnya, muncul muara sampah liar yang tingkat pencemarannya tak terkontrol. Pendek kata, persoalan Bantargebang bukan cuma perkara teknis penanganan sampah. Lebih dari itu, ia sudah berkembang menjadi masalah sosial yang kompleks. Rencana penyelesaian bukan tak ada. Bantargebang, yang ditargetkan bisa beroperasi lima tahun lagi, akan terus dipoles. Pemerintah Jepang, misalnya, telah memberikan bantuan Rp 3,7 miliar untuk membangun sistem drainase. Anggaran pemerintah daerah juga sudah menyiapkan Rp 2,4 miliar untuk areal sekitar 1,5 hektare yang belum terpakai dengan karpet kedap air. Bahkan, ada pula rencana membuka satu terminal sampah baru di Ciangir, Tangerang, sebelum Bantargebang pensiun. Tapi, apa itu cukup? Tampaknya, pengelolaan sampah Jakarta bukan cuma memerlukan kakus baru. Memindahkan Bantargebang ke tempat lain sama saja dengan menggusur sampah ke halaman tetangga. Penanganan sampah seharusnya sudah dimulai dari unit rumah tangga. Menurut Prasodjo, biaya operasinal Bantargebang bisa ditekan jika volume sampah dikurangi. Caranya, sebelum sampai TPA, sampah sudah dipilah: mana yang bisa didaur ulang, mana yang mesti dibuang. Tapi pemilahan sederhana seperti itu bukan cuma membutuhkan disiplin, tapi juga revolusi gaya hidup. Wendi Ruky

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus