Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DICARI pawang gajah: lelaki, berbadan sehat, suka bertualang di hutan, serta sayang pada gajah. Tugas: melatih gajah, memberi makan, dan berpatroli keliling hutan menjaga gajah. Gaji: Rp 85 ribu per bulan. Risiko: Ditendang, diseruduk, dan dikejar kawanan gajah serta berhadap-an dengan para pemburu bersenjata atau penebang liar.
Iklan lowongan kerja itu sampai ke telinga Slamet, lelaki pengangguran asal Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, 20 kilometer di sebelah barat Yogyakarta. Iklan itu tak membuatnya jeri. Hanya dengan Rp 100 ribu di kantong, Slamet nekat berangkat ke Bengkulu. Niatnya bulat: mendaftar sebagai calon pawang di Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, Bengkulu—sekitar 200 kilometer dari Kota Bengkulu. Waktu itu, pada 1993, kantor yang mengurusi gajah baru akan didirikan.
Untuk sampai ke kantor impiannya itu bukan pekerjaan mudah. Slamet telah menempuh perjalanan darat selama tiga hari, tapi ia baru sampai di Desa Air Muncang, Kecamatan Putri Hijau, desa terdekat dengan kantor pelatihan gajah itu. Butuh tujuh kilometer lagi untuk sampai ke PLG Seblat. ”Waktu itu belum ada jalan besar menuju PLG. Semuanya masih berupa hutan,” ujarnya. Terpaksa, dia harus berjalan kaki menuju PLG Seblat menembus hutan.
Sampai di sana ia kecele. Pelatihan calon pawang baru akan dimulai dua bulan lagi. Akhirnya, untuk bertahan hidup sambil menunggu pekerjaannya tiba, dia bekerja menjadi guru sekolah dasar. Baru dua bulan kemudian, akhir-nya Slamet bergabung menjadi pawang gajah di PLG Seblat. Statusnya masih pegawai honorer dengan gaji Rp 85 ribu per bulan.
Ketika pelatihan menjadi pawang di-mulai, Slamet kaget. Soalnya, tak ada pelajaran teori di kelas. Semuanya langsung praktek dengan gajah. Padahal semua calon pawang ini buta dalam soal gajah. Soemarsono, kawan seangkatan Slamet, bercerita, setiap orang langsung kebagian jatah satu gajah. Instruksi pertama sangat mudah: pegang gajah.
Hasilnya? Gampang ditebak. ”Ditendang gajah mah sudah menjadi sarapan kami tiap hari,” ujar Soemarsono, kini naik pangkat menjadi polisi hutan, me-ngenang. Toh itu tidak memupus nyali mereka.
Merawat binatang ekstrabesar seper-ti gajah memang gampang-gampang su-sah. Menurut Asep, salah satu pa-wang senior PLG Seblat, untuk membuat gajah liar menjadi jinak, minimal p-erlu waktu delapan bulan. Dua hari pertama setelah ditangkap, seekor gajah liar harus diikat rantai tanpa diberi makan. Hari ketiga, barulah sang gajah disodori rumput segar. Proses awal ini—untuk membuat gajah bergantung pada sang pawang—perlu berminggu-minggu hingga dia siap dilatih. Itu pun tetap harus didampingi gajah jinak lain dan belum boleh ditunggangi. Baru setelah dianggap benar-benar jinak, gajah ter-sebut bisa dinaiki tanpa harus dikawal gajah jinak lain.
”Pada dasarnya gajah cukup sensitif dan tahu kalau kita benar-benar memperhatikan dia,” kata Asep. Untung saja, sejauh ini belum pernah ada pawang PLG Seblat yang celaka karena gajah.
Kini PLG Seblat mempunyai 23 gajah piaraan dengan 31 pawang, 1 d-okter hewan, dan 10 polisi hutan. Selain berpatroli, gajah-gajah itu juga dipakai se-bagai pengusir dan penggiring kawanan gajah liar. Pasukan gajah PLG ini terbukti cukup efektif menangani serbuan gajah liar yang sering menyerang perkebunan sawit.
Tapi jangan dikira menggiring kawan-an gajah liar segampang menggiring ka-wanan domba. Untuk mengusir puluhan gajah liar, minimal perlu empat gajah PLG plus tentu saja para pawangnya. Meskipun sesama gajah, tidak serta-merta gajah-gajah liar itu tunduk dan gampang digiring gajah PLG. ”Kadang sampai perlu tumbuk-tumbukan,” kata Asep. Di sinilah peran pawang diperlukan untuk mengarahkan gajah-gajah tersebut. Sekali waktu, pawangnya yang justru dikejar-kejar gajah liar. Slamet pernah mengalaminya. ”Pawang yang lain cuma ketawa-ketawa saja,” kata Aswin Bangun, Koordinator PLG Seblat. Itulah risiko seorang pawang gajah.
Namun risiko tidak selalu sebanding dengan penghargaan yang mereka dapatkan. Asep belum genap setahun diangkat sebagai pegawai negeri, setelah bekerja sebagai pawang hampir 10 tahun. Seorang pawang pemula hanya mendapatkan upah Rp 700 ribu per bulan. Tidak mengherankan bila rata-rata pawang gajah di PLG Seblat harus membanting tulang bekerja di kebun di luar jam kerja. Slamet, Asep, Soemarsono, dan Rasyidin, masing-masing punya beberapa hektare kebun sawit untuk menambah belanja dapur.
Sore itu, Slamet membuat dan mengecat sendiri lemari untuk rumahnya yang baru. Di samping rumahnya yang lama, telah tegak rumah baru berlantai porselen seluas sekitar 100 meter persegi. Kenekatannya 13 tahun lalu telah membuahkan hasil.
Sapto Pradityo (Bengkulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo