Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Gajah di Ujung Tanduk

Merajalelanya pembangunan kebun sawit membuat kawanan gajah makin terpojok dan terbagi jadi kelompok kecil. Akibatnya, gajah sering mengamuk.

31 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMERLAP lampu menambah riang Petersham House, bangunan tua di tepi London. Saat matahari lingsir, tamu-tamu agung—bangsawan dan artis Hollywood—dalam balutan busana mewah berdatangan ke markas Elephant Family itu. Denyut pesta makin terasa ketika para pelayan tak henti-henti meluncur menyajikan menu spesial, yakni vegeta-rian dari bahan-bahan organik yang diracik ala resep India dan Inggris.

Bintang kehormatan malam itu adalah putra mahkota Kerajaan Inggris Pange-ran Charles dan istrinya, Duchess of Cornwall. Agendanya satu: menggalang dana khusus bagi upaya penyelamatan gajah Asia. Selain ada bangsawan Inggris dan India, acara itu juga diramaikan artis Hollywood seperti Angelica Houston, Rob Lowe, dan Goldie Hawn. Di antara para jetset dunia itu, terseliplah pengusaha Indonesia Setiawan Djody. Ada apa gerangan?

Djody mengaku datang atas undangan Mark Shand, salah satu ketua Elephant Family, organisasi pengumpul dana untuk penyelamatan gajah Asia. ”Mark ini sangat cinta Indonesia,” katanya. Mark Shand dulu pernah tinggal di Bali pada 1970 sampai 1980-an. ”Kami berteman dan sama-sama aktif dalam perlindung-an flora dan fauna,” kata Djody kepada Tempo melalui saluran telepon inter-nasional.

Pesta yang meriah. Mereka juga sukses mengumpulkan dana 500 ribu pound sterling untuk menghutankan kembali habitat gajah di Indonesia, India, dan Thailand.

Ribuan kilometer dari London, jauh dari ingar-bingar kota, di Taman Nasio-nal Gunung Leuser, Tangkahan, Sumatera Utara, Sudiyono sedang mengelus-elus Agustin, gajah didikannya. Agustin adalah gajah pintar yang biasa diajak patroli menjaga habitat gajah yang kini di ambang serbuan para pembalak. Ke hutan itulah sebagian dana dari Petersham House mengalir. Elephant Family memang mendanai beberapa proyek penyelamatan gajah di Tangkahan, Aras Napal (keduanya di Sumatera Utara), dan Saree (Aceh). ”Gajah sumatera kini jumlah tinggal sekitar 3.500 ekor,” tutur para pejabat Elephant Family dalam -situsnya.

Hidup makhluk bongsor ini memang di ujung tanduk. Rumah tinggalnya, hutan primer dan sekunder Sumatera, te-rus-menerus digerus para penebang liar dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Di Sumatera Selatan, misalnya, dari total luas hutan 3,7 juta hektare, 60 persen sudah rusak. Padahal gajah butuh daerah jelajah 165 kilometer persegi di hutan primer dan 60 kilometer persegi di hutan sekunder.

Saban tahun, gajah juga relatif selalu menjelajahi rute yang sama. Ketika hutan—yang merupakan jalur gajah—disulap menjadi kebun sawit, akibatnya terjadilah bentrok antara gajah dan penduduk. Itulah yang dialami Oloan Hasibuan. Lelaki itu sudah kehilangan akal menghadapi kawanan gajah yang rajin menyatroni perkebunan PT PD Pati, Kabupaten Muko-Muko, Bengkulu, tempat dia bekerja. Dalam tiga bulan terakhir saja, empat kali gerombolan gajah sumatera menggeruduk perkebunannya. Ratusan hektare tanaman sawit muda tumpas hanya dalam waktu beberapa jam.

Oloan pun berang pada hewan yang beratnya bisa 3,5 ton itu. Ia dan bosnya lalu meminta satuan Brimob untuk meng-usir gajah. Tapi mereka tak berani berbuat banyak. Dengan bekal senapan di tangan, bukannya mereka tidak mampu membunuh kawanan gajah tersebut. ”Mereka takut nanti disalahkan,” kata Oloan. Terpaksa, pasukan Brimob meng-andalkan gas air mata dan tembakan ke atas untuk menghalau kawanan gajah liar tersebut. Ini jelas cara yang mahal dan yang pasti sama sekali tidak me-mecahkan persoalan. Gajah selalu datang dan kembali datang lagi.

Menurut Wahdi Azmi, aktivis penye-lamatan gajah dari Fauna & Flora International (FFI), menyempitnya habitat gajah sumatera sudah kronis. Selain itu, akibat pembangunan perkebunan sawit yang merajalela, kawanan gajah terpecah menjadi beberapa kelompok kecil. ”Dua pertiga populasi gajah sekarang hidup di luar kawasan konservasi,” kata Wahdi sedih.

Direktur Konservasi Keanekara-gam-an Hayati Departemen Kehutanan Adi Susmianto mengamini tudingan Wahdi. ”Kami (Direktorat Jenderal Perlindung-an dan Konservasi Alam) menjadi korban kebijakan pemerintah sendiri yang tidak sejalan. Di satu sisi kami disuruh melestarikan gajah, tapi terus saja diganggu kebijakan lain,” katanya.

Padahal panduan dari Departemen Kehutanan terang-benderang. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, tegas dilarang konversi hutan menjadi perkebunan. Tapi panduan ini di lapangan hanya jadi macan kertas.

Alhasil, konflik gajah dengan pe-milik perkebunan pecah di mana-mana. Di Riau, berdasarkan catatan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, sejak 2000, 45 gajah mati dibunuh dengan senjata rakitan dan diracun. Sebaliknya, ada 16 orang mati dibunuh gajah. Selain itu ada 201 gajah terpaksa ditangkap dan 45 ekor di antaranya mati setelah pe-nangkapan. ”Gajah harus berkompetisi memperebutkan ruang hidupnya de-ngan manusia,” kata Nazir Foead, Direktur Program Species WWF Indonesia.

Di Bengkulu konflik gajah dengan manusia memang belum sekeras di Riau. Kasus gajah yang mati diracun juga belum ada. ”Tapi itu tinggal tunggu waktu saja,” kata Aswin Bangun, Koordinator Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, Bengkulu. Dua pekan lalu Tempo ikut berpatroli di daerah itu dengan menaiki gajah. Dalam patroli itu, dijumpai para penebang liar leluasa berkeliaran (baca boks Polisi Gajah di Ladang Tandus).

Memang belum ada data yang p-asti berapa populasi gajah sumatera dan be-rapa pengurangannya setiap tahun. Diperkirakan, menurut Wahdi, populasi gajah sumatera saat ini 2.800 hingga 4.800 ekor. Berapa pengurangannya setiap tahun, perkiraan populasi gajah di Riau bisa menjadi patokan. Pada 1999, menurut WWF Indonesia, jumlah gajah di Riau masih 709 ekor. Empat tahun kemudian, jumlahnya telah susut hampir setengahnya menjadi 353 hingga 431 ekor.

Banyak modus baru untuk membunuh gajah. Salah satunya adalah memanfaatkan konflik antara gajah dan manusia. Dengan dalih serangan gajah mengancam keselamatan kampung, sebagian gajah dibunuh. Wahdi menduga, banyak pemburu gading yang sengaja datang ke daerah-daerah konflik dan berpura-pura menawarkan bantuan untuk membereskan gajah. Ujung-ujungnya, gajah dibunuh, gadingnya ditilap. ”Tapi pemburu ini bukan akar masalah. Akar masalahnya tetap penggerogotan habitat gajah,” kata Nazir.

Sebagai solusi, Wahdi mengusulkan perlunya kawasan konservasi gajah dan satwa lain yang terproteksi dengan ke-tat. Syaratnya, selain kondisi hutannya masih terjaga, luas kawasannya juga harus mencukupi. Hutan seperti ini masih ada di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Bengkulu, hingga Lampung. Menanggapi usul itu, pemerintah kini berencana memperluas Taman Nasional Tesso Nilo di Riau dari 38 ribu hektare menjadi 100 ribu hektare. Masalahnya, perluasan itu akan menggusur 2.000 perambah liar. Inilah yang repot.

Seandainya kawasan ini terealisasi, Oloan bakal tenang, gajah pun senang.

Sapto Pradityo (Seblat, Bengkulu), Deddy Sinaga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus