Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terik matahari serasa membakar kepala. Mori cuek saja alias tak peduli. Empat karung bekal seberat puluhan kilogram yang disampirkan di punggungnya se-akan seringan kapas. Hari itu, Mori, Eva, dan Sari—mereka adalah tiga dari 23 gajah Sumatera yang dipelihara Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, Bengkulu—akan mulai patroli memantau kegiatan perambah hutan. Sebuah misi yang melelahkan, karena harus naik-turun gunung mengitari hutan seluas 6.865 hektare.
Tiga pawang dan lima polisi hutan telah siaga sejak pagi. Sebagian menyandang golok di pinggang, radio HT (handy talkie) dan alat pencari lokasi berbasis satelit (global positioning system). Beberapa orang lainnya ha-nya berbekal sepotong ka-yu untuk ”menggemba-la” gajah. Saat matahari mendekati titik puncak, mereka meng-gebah gajah meninggalkan posko PLG Seblat. Masing-masing mengangkut beban perbekalan untuk 10 hari plus tiga orang di atas punggungnya. Mori yang saya tunggangi dikendalikan Rasyidin, mantan pawang senior yang sekarang menjadi polisi hutan.
Meskipun duduk bersama pawang- yang sudah lebih dari 10 tahun bergaul dengan gajah, bagi yang tidak pernah naik gajah seperti saya—di kebun binatang sekalipun—naik mamalia seberat 2,5 ton ini sungguh membuat waswas. Belum apa-apa, saya sudah memba-yangkan bagaimana bila Mori tiba-tiba mengamuk. ”Santai aja, Bang. Mori ini jarang bikin ulah,” kata Rasyi-din. Mungkin dia melihat ketegangan di wajah saya. Walau demikian, tetap saja, naik gajah tidak sama dengan naik kuda—yang ini saya pernah tunggangi di kebun binatang. Berulang kali saya tergelincir dan kesulitan mengatur keseimbangan, apalagi saat Mori menuruni tebing Sungai Seblat yang curam. Tak urung ulah saya ini mengundang senyum para pawang.
Sengatan terik matahari dan pantat yang mulai terasa linu karena duduk persis di atas rantai pengikat gajah sedikit terlupakan saat melihat pemandangan hijau yang sedap di sepanjang Sungai Seblat. Di sebelah kiri terpampang vegetasi asli hutan PLG Seblat. Sayangnya, di seberang hutan PLG, tetumbuhan rimba telah terbabat habis dan sepenuhnya digantikan perkebunan sawit. Menurut Aswin Bangun, Koordinator PLG Seblat, laju perluasan perkebunan semakin kencang dalam satu-dua tahun terakhir. ”Tiga tahun lalu, gajah liar masih sering tampak berkeliaran di kawasan (perkebunan) itu,” katanya.
Kini, gajah semakin terpojok di habitat yang sempit. Sepanjang hari pertama patroli, tidak sekalipun kami bertemu kawanan gajah liar. Yang tampak justru sisa-sisa kegiatan perambahan hutan. Aktivitas perambah inilah yang bikin Aswin hilang akal, karena sebagian dari mereka merupakan penduduk kampung sekitar PLG Seblat. Mengusir mereka bisa memantik konflik dengan penduduk lokal. Nyawa jadi taruhan. ”PLG pernah hampir dibakar gara-gara mengusir perambah,” kata Aswin. Alhasil, Aswin harus pintar-pintar cari akal untuk mengusir mereka. Tahun lalu patroli dwimingguan itu berhasil meng-usir 100 keluarga perambah. Pasukan gajah itu juga membuat perambah sedikit jeri—saat ini perambah hanya merajalela di luar daerah PLG Seblat.
Lima jam berjalan, sekitar tujuh kilometer terlewat, kami sampai juga di pos PLG. Yang namanya pos ini hanyalah dataran tempat mereka biasa mendirikan tenda. Perbekalan diturunkan, tenda segera didirikan. Setelah m-andi di sungai, badan terasa segar, nyeri-nyeri di pantat t-idak lagi terasa, dan saat yang ditunggu-tunggu tiba: makan malam. Meski ”candle light dinner” kala itu cuma ditemani menu nasi, telur dadar, sayur terung plus ikan asin, rasanya jauh lebih enak ketimbang menu makan malam di hotel bintang lima sekalipun. Mungkin, karena sudah kelaparan sejak siang.
Paginya, perjalanan dilanjutkan ke perbatasan PLG dengan hutan Lebong Kandis II. Ini adalah target patroli. Belum genap sete-ngah jam berjalan, di depan mata terpampang hutan yang telah tandas. Potong-an kayu bergelimpangan. Semak-semak menghitam bekas dibakar. Sayup-sayup terdengar deru gergaji-gergaji mesin bersahutan.
Selebar dua ratus meter sepanjang kurang lebih tiga kilometer hutan Lebong Kandis II telah terpapas habis. Hanya berjarak sepelemparan batu, puluhan rumah milik pe-rambah telah berdiri dan puluhan rangka rumah mulai ditegakkan. Kabel menjulur dari genset besar yang menyalurkan listrik ke rumah-rumah. Praktis koridor hutan penghubung hutan PLG dengan hutan Lebong Kandis II dan Taman Nasio-nal Kerinci Seblat telah tandas. Padahal, koridor ini diharapkan membuat satwa langka seperti gajah dan harimau bisa lebih berkembang karena luas habitat dan mangsa buruannya bertambah.
Parnyo, salah satu perambah yang di-temui Tempo, mengaku telah membayar Rp 650 ribu kepada Samni, Kepala Desa Sukamaju, Kecamatan Putri Hijau, Bengkulu Utara, untuk mendapatkan konsesi 2.500 meter persegi lahan pemukiman dan dua hektare ladang calon perke-bunan. ‘’Kalau ini melanggar hukum, ya kami pasrah.’’
Sementara itu, dipanggang matahari, Mori, Eva dan Sari hanya tertunduk le-su. Mereka tidak tahu ”kampung” mere-ka terus-menerus digerus manusia.
Sapto Pradityo (Seblat, Bengkulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo