Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semuanya berawal dari tiga Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni yang bernomor 26, 31, dan 37 Tahun 2004. Ketiganya secara singkat memberikan batasan kepada deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk menjadi calon presiden pada Pemilu 2004 karena alasan kesehatan.
PKB menggugat. Mula-mula kami mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung dan melapor ke Mahkamah Konstitusi. Tapi kedua lembaga itu menolak. Kami menentang ketiga peraturan itu bukan semata untuk memperjuangkan pencalonan Gus Dur, melainkan karena kami menganggap peraturan itu telah mengancam demokratisasi, tegaknya hak asasi manusia, dan keadilan hukum.
Surat Keputusan KPU itu pertama kami anggap telah mengingkari asas demokrasi dan hak asasi, yang melarang diskriminasi atas warga negara untuk mendapatkan suatu jabatan publik. Ini adalah aspirasi universal umat manusia di seluruh dunia.
Kedua, melalui SK itu, KPU kami anggap telah melampaui batas kewenangan untuk membuat peraturan turunan dari UUD 1945 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kedua undang-undang itu hanya mengatakan salah satu syarat menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah "mampu secara rohani dan jasmani...." Syarat ini bersifat limitatif dan tak bisa diurai dengan perluasan tafsir seperti yang dilakukan KPU.
Persyaratan rinci tentang syarat kesehatan yang diatur SK KPU itu dulu memang pernah muncul dalam draf RUU tentang Pemilihan Presiden. Belakangan draf itu dihapus oleh DPR agar setiap orang yang punya kendala fisik tidak terhalang untuk menjadi calon presiden.
Berdasar metode penafsiran hukum, setiap penafsiran implementatif?termasuk pembuatan peraturan lanjutan atas sebuah undang-undang?haruslah didasarkan pada kewenangan lembaga yang membuatnya. Juga harus dikaitkan dengan latar belakang sejarah dibuatnya ketentuan itu. Dalam SK No. 26 tampak bahwa KPU telah dengan sewenang-wenang membuat tafsir sendiri atas UU No. 23/2003. Tafsir itu berlawanan bukan saja dengan penafsiran gramatikal tetapi juga dengan penafsiran historis.
Hal lain yang dilanggar KPU adalah UU No. 23 Tahun 2003 Pasal 6 butir i, yang menyebut bahwa orang yang bisa dilarang untuk mengajukan diri sebagai calon presiden hanyalah orang yang dicabut haknya berdasar putusan pengadilan. Lalu apa hak KPU melarang Gus Dur?orang yang belum pernah dicabut haknya oleh pengadilan?untuk mengajukan diri menjadi calon presiden?
Kami menganggap ukuran kesehatan yang dibuat KPU bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 1992. Sebab, dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa ukuran sehat jasmani dan rohani adalah pada produktivitas seseorang dalam bidang sosial dan ekonomi.
Gus Dur adalah orang dengan produktivitas tinggi. Setelah lengser dari kursi presiden, dia mampu menulis banyak artikel dan makalah untuk media massa dan forum ilmiah di dalam dan luar negeri. Dia mampu menyabet berbagai penghargaan dan gelar doktor honoris causa dari berbagai universitas ternama di Eropa, Amerika, dan Asia. Paling tidak empat kali dalam setahun Gus Dur berceramah di forum internasional, termasuk PBB. Ia juga menjadi pemimpin dari beberapa organisasi internasional. Siapa yang bisa bilang bahwa Gus Dur itu tidak sehat jika diukur dari UU No. 23 Tahun 1992?
Tapi ironisnya MA tak peduli dengan masalah-masalah yang sangat mendasar itu. MA menolak permohonan judicial review atas SK KPU itu dengan alasan bahwa KPU berwenang membuat SK tersebut. MA bahkan tidak mengambil sebagai dasar pertimbangan (konsiderans) beberapa undang-undang?misalnya UU No. 4 Tahun 1997 dan No. 26 Tahun 1999?yang nyata-nyata dilanggar oleh keputusan KPU.
Kalau ini jadi yurisprudensi, sungguh amat berbahaya. Nanti akan banyak muncul peraturan yang bertentangan dengan undang-undang. Anehnya, ketika digugat, undang-undang itu sendiri tidak dijadikan dasar pertimbangan. Tata hukum di negeri ini akan kacau-balau.
Banyak yang menganggap vonis MA itu menutup pintu hukum gugatan PKB. Saya berpendapat tidak, karena masih ada satu pintu lagi yang selama ini tidak banyak dilihat orang, yakni Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Menurut Pasal 80 dan 81 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2003, panitia tersebut bisa memeriksa sebuah sengketa berdasarkan asas penyelesaian sengketa?apabila kesepakatan di antara para pihak yang diusahakan Panwaslu tidak dicapai. Keputusan panitia itu bersifat final dan mengikat.
Jika ternyata pencalonan Gus Dur sebagai presiden itu tetap ditolak oleh KPU, PKB akan menyengketakan keputusan KPU itu ke Panitia Pengawas Pemilu untuk diperiksa, dicarikan jalan kesepakatan dan/atau diputuskan secara final dan mengikat.
Masyarakat akan melihat apakah Panwaslu punya keberanian untuk bersikap responsif. Apakah keputusan panitia tersebut cukup ampuh atau tidak. Masyarakat juga akan melihat apakah KPU akan melecehkan Panitia Pengawas Pemilu, yang jelas-jelas diberi wewenang oleh undang-undang untuk menawarkan kesepakatan dan membuat keputusan yang final dan mengikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo