MARSANA, 41, dengan wajah cerah meneguk air mentah itu. "Air ini bebas kuman. Tak perlu dimasak lagi, sehingga menghemat uang minyak," katanya. Suka cita kini memang menyebar pada penduduk Desa Kedung, Kecamatan Kresek, Tangerang, Jawa Barat. Itu berkat adanya proyek air bersih bertenaga matahari, sistem BPP-500, yang akan segera diresmikan di desa yang jaraknya sekitar 65 km di sebelah barat Jakarta. Kini, kekhawatiran terkena serangan diare hampir sirna. Menurut Sindhiarta Mulya, dokter di Puskesmas Kresek, munculnya penyakit akibat kekurangan air yang layak diminum itu sudah menghinggapi hampir 6% dari jumlah penduduk. Serangan ini biasa muncul pada bulan Mei--Juni, saat musim kemarau. Pada musim itu, air yang "sehat" memang sulit di wilayah Kresek. Jika kemarau tiba, tutur bekas Lurah Kedung Umar Sani, 67, air sungai menjadi asin karena air laut masuk. Bahkan air sumur pun terpengaruh. Proyek Inpres yang pernah dilaksanakan di desa itu, seperti sumur pompa tangan, sumur gali, dan jamban keluarga, praktis tidak banyak membantu minat penduduk untuk hidup bersih. Apalagi, "Ekonomi penduduk di desa-desa sini kurang kuat," tutur Sindhiarta. Statistik di Kecamatan Kresek pada 1984 memperlihatkan, 496 orang di antara penduduk Desa Kedung berjumlah 2.312 jiwa - tercatat sebagai buruh tani. BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), bekerja sama dengan Direktorat Air Bersih Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, lantas menetapkan Desa Kedung sebagai tempat proyek air bersih. Pelaksananya: British Petroleum Solar International Limited, sebuah anak perusahaan British Petroleum (BP) yang memproduksi perkakas listrik bertenaga matahari. Sebelum kerja sama dengan Inggris ini, BPPT sudah memanfaatkan tenaga surya juga. Misalnya di Situis, Tangerang, BPPT bekerja sama dengan Jerman menyaring air payau dan membuat es untuk pengawetan ikan. Hanya saja, penyaringan air menggunakan mikroorganisme baru pertama kali diterapkan di Tangerang ini. Pada September 1986, pembangunan proyek dimulai. Di atas tanah sekitar 600 m2 ditempatkan berbagai instalasinya: lempengan sel penadah cahaya matahari, pompa penyedot air, tangki penampung air I (awal), tangki penyaring, dan tangki penampung air II (bebas kuman). Semua peralatan itu masih diimpor. Menurut Ian Ingram, 29, manajer pengembangan usaha BP Solar International Limited, semua peralatan tersebut diimpor dengan harga sekitar Rp 35 juta. Sedangkan air berasal dari sungai yang biasa dipakai untuk irigasi, tak jauh. Air itu disedot dengan pompa yang tenaganya berasal dari lempengan penadah surya, berjumlah 21 lempengan, yang masing-masing merangkum 33 sel terbuat dari bahan silikon. Menurut Ir. Soeratmo Notodipoero, Kepala Direktorat Air Bersih Ditjen Cipta Karya, lempengan ini menghasilkan muatan arus listrik searah (DC) setelah ditimpa sinar matahari. Melalui kawat perak yang tersusun pararel, muatanberkumpul pada sebuah terminal (inverter), yang mengubah arus tadi menjadi arus bolak-balik (AC). Hasilnya mencapai 798 wat. Sedangkan untuk menggerakkan pompa, diperlukan daya minimum 252 wat. Air yang tersedot masuk ke penampungan I, yang bagian atasnya terbuka, sehingga air hujan pun dapat tertampung. Ini, tentu saja, untuk mengatasi cuaca mendung di saat pompa tak bertenaga untuk menyedot air. Ini sebenarnya dapat diatasi dengan batere penampung tenaga yang diperoleh dari lempengan penadah surya, yang, sayang sekali, harganya terlalu mahal. Dari penampungan 1, air dialirkan ke tangki penyaringan, yang terdiri dari dua bagian. Tangki pertama, dua buah, berisi kerikil (gravel). Tangki kedua, dua buah juga, berisi kerikil, pasir, dan lapisan tipis mikroorganisme yang disebut "schmutdecke". Itulah instalasi sistem pemurnian air - dari pabrik Potapak, yang menurut Ian Ingram mampu menggasak para bakteri, seperti faecal coli dan strepto cocci, sang penyebab diare. Ian juga menyebutkan, bebas kuman itu mencapai 99,9%. Selain itu, sistem Potapak ini mampu menjernihkan air (turbidisasi) sampai 90%. Setelah melewati instalasi pemurnian, air bebas kuman dimasukkan ke tangki penampungan II. Lalu dialirkan melalui pipa sepanjang 15 meter keluar dari proyek itu, dan dapat dipancurkan pada empat arah mata kran. Air bersih yang dapat dihasilkan mencapai 25.000 liter sehari, cukup untuk memenuhi 500 jiwa. Air itu, yang dicicipi TEMPO, terasa masih mengandung logam. Tapi menurut Ian Ingram, yang telah meminum air itu, "Ternyata, saya tidak mengalami gangguan penyakit apa pun." Dengan sukses ini ia berharap agar proyek seperti itu dapat berlanjut untuk daerah-daerah minus air bersih lainnya di Indonesia. Toh hal itu tergantung BPPT yang bertugas meneliti kelayakannya. Dilihat biaya perawatannya, menurut Prof. Dr. Ir. Harsono Wiryosumartono, Deputi Ketua Bidang Pengembangan Teknologi BPPT, memang murah. Hanya satu orang yang diperlukan merawat instalasi itu. Cara perawatannya memang tidak terlalu sulit. Seminggu sekali, misalnya mengecek saringan pada tangki kedua penyaringan - yang kotorannya perlu dibersihkan. Sebulan sekali membuka katup pencuci pada tangki penyimpanan I selama 10 menit. Instalasi seperti yang dipasang di Desa Kedung itu tak bisa dipasang di kota besar seperti Jakarta. "Untuk air yang mengandung limbah industri, rumah sakit, dan logam, alat itu tidak berfungsi," kata Dr. L. M. Panggabean, Direktur Teknologi Konversi dan Konversi Energi BPPT. Proyek ini masih berupa penelitian. Maka, Kedung dipilih karena letaknya yang dekat dengan Jakarta akan memudahkan pemantauan. "Nanti bila berhasil, barulah dikembangkan di daerah lain," kata Harsono. Suhardjo Hs., Laporan Totok Amin & M. Cholid (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini