MODAL asing welcome, tapi bagaimana kalau masuk ke bidang pendidikan? Pemerintah ternyata tak mengijinkannya. Kalaupun modal itu sudah ada misalnya, lewat kerja sama dengan pemilik modal di sini, lalu dibuka cabang perguruan tinggi asing, keberadaannya tidak akan diakui oleh Departemen P dan K. Hal itu sebenarnya sudah dikatakan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi, Sukadji Ranuwihardjo, dua pekan lalu. Waktu itu, mungkin terburu buru, Sukadji tak menjelaskan dasar kebijaksanaan pemerintah ini. Menteri P dan K Fuad Hassan, Senin pekan ini kepada TEMPO menjelaskan soal itu. "Kecenderungan perguruan asing untuk membuka cabang di Indonesia harus kita perhatikan dalam kaitan yang lebih luas," kata Fuad. Kecenderungan itu oleh Menteri disebutkan antara lain, ada kelebihan tenaga akademis di negara maju yang kesulitan mendapatkan pekerjaan di dalam negerinya. "Belum lagi adanya kemungkinan perguruan tinggi asing yang berjiwa petualangan, dan melihat kesempatan baik untuk mengelabui kita dengan distribusi gelar tidak bermutu." Bagi Fuad, penting adanya keterkaitan antara perguruan tinggi dan kehidupan masyarakatnya. "Kita tak perlu kalap. Perguruan tinggi, selain menjadi tempat pengembangan intelektual, seharusnya juga menjadi pusat pengembangan sikap dan wawasan kultural dalam arti luas." Sebenarnya, hingga sekarang pemerintah belum pernah menolak, apalagi memberi izin, berdirinya cabang perguruan tinggi asing. Satu-satunya yang bisa diduga punya hubungan erat dengan perguruan tinggi di luar negeri adalah Indonesia European University (IEU) yang berdiri September tahun lalu di Jakarta. Toh, ini sulit juga disebut cabang European University (EU) yang didirikan di Belgia, 1973. "Ini bukan cabang," kata Kemala Motik, Rektor IEU. "Ini hasil kerja sama." Menurut Kemala, yang kini jadi nyonya Menpora Abdul Gafur, kerja sama ini digalang ketika ia selaku Ketua Yayasan Pendidikan Kadin berkunjung ke Belgia, tahun lalu. "Mereka memiliki know-how dan teknologinya, kami di Jakarta punya modal dan kemauan, akhirnya berdirilah IEU itu," tuturnya. Bukti bahwa lembaga pendidikan tinggi ini bukan cabang dari Belgia itu, "pimpinan tertinggi IEU kita yang pegang, dan kebijaksanaan di sini bukan mereka yang memutuskan." Kampus IEU terletak di Jalan Blora Jakarta. Dua program pendidikan yang ditawarkan program Bachelor in Business Administration dan Master in Business Administration. Yang pertama sudah dimulai September lalu dengan 35 mahasiswa, dengan uang kuliah US$ 4.000 untuk masa kuliah tiga tahun. Program kedua baru dibuka Januari tahun ini, diikuti 50 mahasiswa yang sudah sarjana. Dengan masa kuliah satu sampai dua tahun, tergantung kemampuan mahasiswa sendiri, uang kuliah US$ 4.800. Selain standar keuangannya dengan dolar, semua kuliah diberikan dalam bahasa dolar pula, yakni Inggris. Memang salah satu syarat calon mahasiswa, lulus TOEFL dengan nilai minimal 500. Sebab, enam dari sembilan pengajar tetap IEU berasal dari "induknya", EU Belgia itu. Salah seorang di antaranya, Dr. Roger De Bruycker, 33, lulusan University of Brussel, yang menjabat Dekan. Sudah sejak awal di sini tak dipersoalkan diakuinya gelar pemberian IEU oleh pemerintah atau tidak. Yang terang, gelar itu diakui di AS selain di Eropa, terutama di Montreux dan Monaco. "Sehingga lulusan B.B.A. di sini bisa saja melanjutkan M.B.A. di Amerika atau Eropa tanpa tes lagi," kata Kemala pula. Menurut pihak IEU, lembaga pendidikan ini didirikan untuk mengurangi arus deras mahasiswa Indonesia ke luar negeri. Dan itu berarti juga menyetop sejumlah devisa agar tak lari ke luar. Lain di sini lain pula di Malaysia. Di negara tetangga itu perguruan tinggi asing, terutama dari Amerika Serikat dan Inggris, justru diundang untuk membuka cabang. Caranya, bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat, menyelenggarakan "pendidikan tingkat diploma", minimal dua tahun. Dengan diploma ini mahasiswa bisa melanjutkan pendidikan sarjananya di perguruan tinggi luar negeri. Memang belum sama sekali mencegah mahasiswa keluar dari Malaysia, tapi "tak perlu mahasiswa itu belajar di luar negeri empat sampai lima tahun. Cukup dua atau tiga tahun, dan itu menyelamatkan devisa," kata Datuk Wira Abdul Rahman, Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Malaysia. Di cabang-cabang perguruan tinggi asing itu, pemerintah ikut campur tangan, terutama mensyaratkan agar bahasa Malaysia dan agama Islam dimasukkan dalam kurikulum, walau resminya semua kuliah diajarkan dalam bahasa Inggris. Di Indonesia, "Kita harus kerja keras dan banyak akal untuk mencari jalan mengembangkan perguruan tinggi sendiri," kata Menteri Fuad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini