SUATU hari di sebuah rumah di Pal Putih, Jakarta Pusat, pekan lalu. Sejumlah remaja meminggir-minggirkan kursi dan meja. Lalu di ruang sekitar 20 x 5 meter itu mereka berteriak, berbicara satu sama lain menurut buku yang mereka pegang. Ada yang menuding, mengembangkan tangan, lalu, ya, inilah, jungkir balik. Percayalah, ini bukan rumah sakit jiwa. Ini sebuah sekolah, namanya SMST alias Sekolah Menengah Seni dan Teater - baru satu-satunya di Indonesia. Pada mulanya adalah omong-omong warung kopi ketika para seniman Jakarta bertemu. Tercetuslah gagasan mendirikan sekolah teater. "Kita ini 'kan bangsa teater, jadi ada baiknya mendirikan sekolah formal, supaya kita tahu teorinya, sejarahnya, dan lain-lain," tutur Gerson Poyk, 55, sastrawan yang pernah jadi wartawan surat kabar Sinar Harapan, awal 1970-an. Lalu, usul agak kongkret datang dari M. Nisar, seniman yang lama bermukim di Yogyakarta (pernah menjadi kolumnis majalah Minggu Pagi sebelum jadi koran mingguan), yang pada 1980-an ini pindah ke Jakarta. "Sekolah menengah saja," kata Nisar, karena tingkat akademinya sudah ada, yakni Akademi Seni Drama dan Film di Yogya. Singkat kata, setelah konsultasi dengan pihak Kanwil P & K DKI Jakarta, yang cuma mensyaratkan adanya gedung dan murid, sim salabim, jadilah sekolah itu. Gerson, lulusan sekolah guru atas yang pernah jadi guru SMP dan SGA, yang pekan ini memperoleh Hadiah Adinegoro (lihat Album), disepakati menjadi kepala sekolahnya. Adapun kurikulumnya sungguh sangat serius. Selain teori dan praktek teater, masih ada 14 mata pelajaran. Misalnya PMP (ini wajib), matematika, koperasi, dan olah raga. "Biasanya, wawasan seniman kita sempit," tutur Gerson. "Sekolah ini mencoba memberikan dasar wawasan yang luas." Matematika, katanya, berguna untuk memahami peralatan modern, misalnya kamera film. Olah raga - yang diasuh oleh Hardi, pelukis, salah seorang pewaris perguruan Bangau Putih - perlu agar siswa "Bila bermain teater bisa jatuh bangun tanpa sakit," kata pelukis itu. Sedangkan guru PMP dan matematika datang dari lulusan IKIP. Untuk sementara, tiap pengajar mendapat honorarium Rp 10.000 per jam pelajaran. Uang itu dari mana lagi kalau bukan dari para siswa yang membayar uang pangkal Rp 150.000, dan uang sekolah Rp 15.000 per bulan. Telah berjalan sekitar sebulan, ternyata banyak siswa mengakui manfaat SMST. Mereka, selain berijazah SMP seperti disyaratkan, banyak yang ternyata lulusan SMA. Bahkan ada yang drop-out perguruan tinggi, ada pula yang masih aktif kuliah. Kata Sutari, 19, lulusan SMP, "Saya sudah pernah keluar masuk sanggar teater. Saya tidak betah. Latihan tidak rutin, dan tak ada teori." Yanti Januarti, 22, mahasiswa Sekolah Tinggi llmu Komunikasi Indonesia, Jakarta, mengaku sudah 15 kali bermain drama di TVRI. "Tetapi saya tak puas, karena saya tak pernah belajar teori, langsung praktek. Di sini saya mendapatkan segalanya." SMST, yang kini terdiri dari tiga kelas, 100 murid, dan 23 guru, merencanakan lama pendidikan 4 tahun. Untuk sementara, tampaknya, menampung kebutuhan sebagian remaja juga. Tetapi bagi yang mengejar selembar ijazah, tak usah masuk ke sini. Sekolah ini tak memberikan status simbol nan tak berguna itu. Sabtu pekan ini lahir lagi sekolah sejenis. Pendirinya: Wahyu Sardono - ya, inilah Dono dari Warkop - dan kawan-kawannya. "Namanya, Lembaga Pendidikan Studio Dua," kata Dono. Masuk ke sini tak perlu ijazah, asal punya bakat. Cita-cita sang pelawak, Studio Dua, yang berdiri di Pulomas, Jakarta Timur, itu bisa menyumbangkan pemain film dan teater yang baik. Juga diharapkan muncul penulis naskah dan sutradara yang tak cuma berbakat alam, dan pelawak, tentunya. Agar muncul jenis-jenis Losmen, drama televisi yang sukses, yang lain. Boleh ditunggu hasilnya, dan semoga tak seperti menunggu Godot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini