Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CANDA tawa di restoran hidangan laut di Pelabuhan Paotere, Makassar, malam itu terhenti sejenak. Saat ada yang memilih kerapu dari daftar menu, seorang aktivis World Wildlife Fund langsung menyergah. Nada bicaranya tegas. Rombongan yang terdiri atas selusin wartawan dan pengurus WWF itu diharamkan menyentuh kerapu. Fatwa, diambil dari seafood guide, menyatakan kerapu masuk kategori merah alias hasil laut yang wajib dihindari, bersama penyu, lumba-lumba, dan hiu.
”Karena cara tangkapnya merusak lingkungan,” ujar Sugianta, pemimpin proyek gabungan The Nature Conservancy dan WWF di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dua pekan lalu.
Sebagai ikan yang hidup di antara karang, grouper fish tidak dapat ditangkap jala. Sebagian nelayan yang tidak sabar menggunakan pancing memilih metode lain: menyelam dan menyemprotkan potasium sianida ke tempat persembunyian kerapu. Meski tidak mematikan, racun membuat kerapu teler sehingga mudah dipungut.
Cara itu menimbulkan masalah. Menurut Sugianta, potasium membuat telur tak bisa menetas, sekaligus membunuh kerapu-kerapu kecil—menghabiskan lebih dari satu generasi. Terumbu karang di sekitarnya ikut mati akibat cairan yang tak bisa dinetralisasi air laut itu. Tanpa terumbu karang, ikan kecil menghilang, rantai makanan di laut rusak, dan berujung terganggunya ketahanan pangan manusia.
Padahal kerapu, yang nama Latinnya Epinephelinae, merupakan hidangan laut favorit. Pasar Asia, terutama Hong Kong dan Taiwan, seakan tiada henti meminta kerapu dari perairan Nusantara. Nilai ekspornya meningkat, dari Rp 430 miliar pada 2009 menjadi Rp 860 miliar tahun lalu. Karena memiliki daya tahan lebih kuat ketimbang ikan lain, kerapu dikirim hidup ke negara tujuan, bahkan sampai restoran, untuk menjamin kesegaran. Di pasar internasional, harganya mencapai Rp 500 ribu per kilogram.
Sejak Maret lalu, WWF memusatkan perhatian di Wakatobi. Kepulauan yang terdiri atas Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko ini merupakan sentra pemijahan yang memenuhi 30 persen ekspor kerapu Indonesia, tapi dengan ponten merah. Penelitian pada 2007-2010 mendapati 80 persen tangkapan nelayan masih pada kategori juvenile atau anakan. ”Nelayan butuh waktu lebih lama dan makin jauh setiap kali melaut,” ujar Sugianta. Dia menduga kelangkaan terjadi akibat maraknya nelayan bius—sebutan bagi mereka yang mengandalkan potasium sebagai senjata.
Bersama 22 rekannya, Sugianta berkeliling meneriakkan pelarangan potas, juga bom, yang menghabisi ikan dan koral tanpa pandang bulu. Nelayan diminta kembali ke joran konvensional dengan tali nilon dan kail. Juga pedo-pedo, teknik pancing tradisional dengan umpan dikaitkan di kawat halus, lalu nelayan berkeliling dengan perahu berkecepatan dua knot untuk menarik perhatian ikan. Selain dengan alasan keseimbangan alam, dia bercuap-cuap meyakinkan nelayan bahwa kerapu masuk kategori ikan rakus yang mudah terbujuk umpan.
Tidak mudah mengubah cara kerja yang sudah berjalan puluhan tahun. ”Awalnya dia dimusuhi,” kata Ketua Forum Kaledupa Taudani, La Beloro. Maklum, berbeda dengan potas atau bom yang sekali lempar bisa dapat seabrek, pancing cuma bisa menangkap ikan satu-satu. Ini memperberat kerja nelayan. Tapi perlahan usaha pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 43 tahun lalu itu menuai hasil. Ada 46 orang yang akur dengan seruannya, bersumpah tak lagi menggunakan potas atau bom. Termasuk pekerja di satu dari empat keramba, bangunan terapung di tengah laut untuk tempat penampungan tangkapan nelayan.
Keramba Usaha Dagang Pulomas, yang menampung dan mengekspor kerapu, menolak ikan yang ditangkap dengan potasium. Walaupun ada luka di bibir akibat mata kail, ikan pancingan lebih sehat daripada ikan yang kena obat bius. Kemungkinan hidup ikan pancing 90 banding 100, dan 50 banding 100 untuk ikan bius.
Imam Musyafa, 29 tahun, pekerja di keramba berukuran 5 x 6 meter di lepas pantai Wangi-wangi Selatan itu, tidak bisa dikibuli. Kalau kena obat bius, katanya, lendir di kulit hilang dan ikan terasa kesat. Pria asal Kediri, Jawa Timur, ini juga hanya menerima kerapu berbobot minimal 600 gram. Sesuai dengan poster WWF yang terpampang di bilik keramba, ukuran ini menunjukkan ikan berumur sedikitnya delapan bulan dan bertelur satu kali. Ini menjamin regenerasi. Harga per kilogram untuk kualitas terbaik mencapai Rp 60 ribu. Harga spesial diberlakukan untuk kerapu sunu merah (Plectropomus leopardus). Nelayan mendapat Rp 170 ribu per kilogram untuk ikan favorit pasar Timur Jauh dengan nama pasaran tung sing ini.
Sejak jadi penganut paham penangkapan ramah lingkungan, produksi keramba itu melorot. Sebelumnya, Imam bisa mendapat sampai 600 kilogram—sekitar 700 ekor—kerapu saban bulan. Sekarang mentok di 400 kilogram. Nelayan yang jadi anggotanya juga menyusut dari 60 menjadi 30 orang. Satu orang dia coret karena kepergok meracuni laut dengan potas. Sisanya mundur teratur.
Tempo mengunjungi tempat kerjanya pada Kamis dua pekan lalu dan mendapati keramba itu kosong. Sebanyak 100 kilogram kerapu berbagai jenis baru dikapalkan ke Bali untuk diteruskan diekspor ke Hong Kong. Namun selang tiga hari tak ada satu kapal pun merapat untuk menjual hasil tangkapan. Padahal, sebelum mengikuti aturan WWF, Imam melanjutkan, siang-malam di keramba dia selalu ditemani ikan.
Dia melupakan pendapatan dan memilih kelestarian lingkungan setelah melewati dilema. Dia percaya omongan Sugianta bahwa cara tangkap lama bisa membawa kerapu ke ambang kepunahan. ”Lebih baik rugi sedikit sekarang daripada bulan depan kita tidak makan,” katanya.
Pemerintah tak mau ketinggalan, mengimbau nelayan menggunakan mata kail dua inci, bukan seperti yang kebanyakan beredar, satu inci. ”Untuk menghindari penangkapan ikan kecil,” ujar Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, Bahrul Haer. Dia juga mengatakan akan menyiapkan penjaga pantai untuk mengawasi pulau-pulau rawan illegal fishing, seperti Runduma dan Moromaho di ujung timur kabupaten seluas 1,39 juta hektare itu. Tapi dia mengakui usahanya tak akan berhasil tanpa kesadaran nelayan.
Kesadaran menjadi kata kunci pelestarian lingkungan. Tokoh nelayan Pulau Kaledupa, La Beloro, mengakui cara tangkapnya salah dan harus diubah demi kelestarian laut. ”Kalau isi laut habis,” katanya, ”habis pula kami.”
Reza M., Sadika Hamid (Wakatobi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo