Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RICHARD Latief tak menggubris telepon selulernya yang menjerit-jerit. Petang itu, pertengahan 1995, ia sedang rehat di rumahnya di bilangan Kemayoran, Jakarta Pusat. Lantaran ponselnya tak henti-henti berdering, Richard memutuskan mengangkatnya. Ia penasaran terhadap nomor asing yang memanggilnya itu.
Tak dinyana, panggilan telepon tersebut dari seberang lautan, dari Arab. Si penelepon mengenalkan diri sebagai pengusaha. Setelah berbasa-basi sejenak dan mengaku mengenal Richard dari koleganya di Jakarta, pengusaha itu meminta Richard membantu melancarkan proyek investasi pertambangan bernilai ratusan miliar rupiah di Sumatera Selatan. ”Saat itu saya sudah dikenal sebagai mediator proyek,” kata Richard kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Kala itu, Richard mengaku tak tahu besar fee yang akan diterimanya. Sebulan kemudian, ia mempertemukan pejabat pemerintah daerah Sumatera Selatan dengan pengusaha Arab itu di Jakarta. Setelah proyek disepakati, pengusaha itu pulang ke negeri asalnya. Richard sempat dongkol karena pengusaha Arab tersebut pergi tanpa memberinya sepeser pun imbalan. Enam bulan berselang, pengusaha itu mengabarkan telah mengirim fee ke rekeningnya di Bank BCA.
Setelah mengecek ke anjungan tunai mandiri, Richard melongo melihat isi saldo di rekeningnya. Pengusaha tersebut, ujar Richard, ternyata mengirim Rp 2 miliar. Padahal, selama ini, imbalan tertingginya menjadi makelar proyek hanya puluhan juta rupiah. Sejak itu, ia mengaku makin tertarik menjadi makelar. ”Ini mungkin dunia saya,” katanya.
Serius menekuni dunia makelar, Richard menahbiskan dirinya sebagai pengusaha ”palugada” alias apa aja yang lu mau, gua ada. Richard menyebut profesinya marketing atau mediator proyek. Dunia makelar membawa Richard berkenalan dengan pengusaha, pejabat negeri, pejabat daerah, sampai kepala cabang bank.
Pergaulannya dengan kepala cabang bank itulah yang kini membuatnya mendekam di ruang tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Richard dituduh berkongsi dengan Kepala Cabang Bank Mega Jababeka, Cikarang, Bekasi, Itman Harry Basuki, menggelapkan dana Rp 111 miliar milik PT Elnusa. Perannya membantu pembobolan deposito Rp 80 miliar milik pemerintah daerah Kabupaten Batu Bara, Sumatera Selatan, di bank yang sama kini juga tengah ditelusuri.
Kepolisian menyatakan Richard memang mempunyai catatan panjang dalam kejahatan bank. Menurut Kepala Satuan Fiskal, Moneter, dan Devisa Polda Metro Jaya Aris Munandar, Richard terlibat 15 kejahatan perbankan. ”Sebagian besar pembobolan dana nasabah,” kata Aris. Sejak 17 Mei 2006, Richard menjadi buron karena terlibat pembobolan deposito Rp 110 miliar milik PT Taspen di Bank Mandiri Rawamangun, Jakarta Timur. ”Dia pemain lama,” kata Aris.
Nama Richard kembali muncul setelah ia berkomplot membobol dana pemerintah daerah Aceh Utara di kantor cabang Bank Mandiri Jelambar, Jakarta Barat, senilai Rp 220 miliar. Sebelum ditetapkan sebagai buron, pada 2004 Richard pernah menjadi tersangka pembobolan dana Rp 100 miliar milik Yayasan Damandiri di Bank Lippo Cimahi, Jawa Barat. Tapi, pada saat itu, Richard tak pernah tersentuh hukum.
Richard dengan keras menolak dituduh sebagai pembobol bank. Ia mengaku hanya memperkenalkan pihak yang punya uang dengan bank. Perannya, kata dia, berakhir setelah komisi mengalir. ”Komisi itu juga ala kadarnya,” katanya.
l l l
LAHIR di Padang, Sumatera Barat, 55 tahun silam, Richard memiliki riwayat masa kanak-kanak yang suram. Tak lama setelah lahir, ia didiagnosis mengalami flek pada paru-parunya. Ia lalu dirawat secara khusus di sebuah rumah sakit di Padang yang dipimpin seorang warga negara asing. Orang itulah yang menyembuhkan penyakitnya. Menurut Richard, kepala rumah sakit ini jugalah yang memberinya nama ”Richard”. ”Latief itu nama bapak saya.”
Saat usianya tiga tahun, keluarganya merantau ke Jakarta. Ayahnya berdagang di seputar Tanjung Priok. Untuk membantu ekonomi keluarga, Richard menjadi tukang semir di rumah makan Padang di kawasan Tanjung Priok. Saat peristiwa G-30-S meletus, ayahnya memutuskan kembali ke Padang. Saat itu, Richard baru lulus sekolah dasar. Di Padang, ia mengenyam pendidikan sampai sekolah menengah atas.
Saat masih duduk di bangku SMA, Richard mengaku sudah menjadi penyiar radio Arbes, salah satu radio swasta di Padang. Itu dijalaninya pada akhir 1975. Dimintai konfirmasi soal ini, direktur sekaligus pendiri radio Arbes, Armen Khaidir, menegaskan, Richard tidak pernah tercatat sebagai karyawan Arbes. ”Dia sekadar penggemar yang kerap kumpul-kumpul di Arbes,” kata Armen kepada wartawan Tempo, Febrianti.
Karena kemampuan ”olah bicara”-nya itu, setamat SMA ia ditawari menjadi tenaga marketing sebuah perusahaan farmasi di Medan. Di sini Richard lantas mengikuti sejumlah kursus marketing. Empat belas tahun menetap di Medan dan beberapa kali ganti perusahaan, ia lantas memutuskan hijrah ke Jakarta.
Keputusan Richard tak keliru. Di Ibu Kota, ia terbukti menjadi makelar andal. Dari seminar ke seminar, ia merintis dan mencari kenalan baru, termasuk memburu kalangan bankir.
Anton Aprianto, Mustafa Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo