Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAMBAR naga kuning dengan mulut terbuka dan posisi siap terkam memenuhi bagian depan T-shirt yang dikenakan Richard Latief. Celana pendek selutut membebat pria 55 tahun yang kini mendekam di ruang tahanan Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya itu. ”Saya ini mediator,” katanya Kamis pekan lalu kepada Tempo.
Polisi telah menetapkan Richard sebagai salah satu tersangka penggarong deposito Rp 111 miliar milik PT Elnusa Tbk di Bank Mega Cabang Pembantu Jababeka, Cikarang, Bekasi. Bersama Richard, ditangkap pula Kepala Bank Mega Jababeka Itman Harry Basuki. ”Padahal Itman tak bersalah. Dia sudah bekerja sesuai dengan prosedur,” kata Partahi Sihombing, pengacara Itman.
Tapi uang yang raib dari Mega Cikarang ternyata tak hanya milik Elnusa. Penyidik Kejaksaan Agung, Jumat dua pekan lalu, juga mengendus hilangnya Rp 80 miliar duit anggaran Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara. Richard ternyata juga berada dalam pusaran hilangnya kas daerah itu.
Seperti dalam pembobolan duit Elnusa, Richard, menurut penyidik, bekerja sama dengan Itman. Mereka mengalirkan deposito milik Kabupaten Batu Bara ke rekening perusahaan investasi.
Selain menahan Richard dan Itman, polisi sudah menahan Direktur Keuangan Elnusa Santun Nainggolan, Direktur Utama PT Discovery Indonesia sekaligus Komisaris PT Harvestindo Ivan C.H. Litha, serta bawahan mereka, Andi Gunawan dan Zulham. Semuanya juga dijebloskan ke ruang tahanan Polda Metro Jaya.
Terbongkarnya penjebolan kas Bank Mega ini, ujar sumber Tempo, bermula dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. PPATK menemukan kejanggalan aliran duit dari bank itu. Selasa akhir April lalu, polisi bergerak. Maka jebolnya rekening Elnusa pun terkuak.
PPATK ternyata juga menemukan transaksi mencurigakan dari deposito milik Pemerintah Kabupaten Batu Bara. Laporan pun dikirim ke Kejaksaan Agung. Jumat pekan lalu, penyidik Kejaksaan Agung menahan Kepala Dinas Pendapatan Daerah dan Pengelolaan Keuangan Daerah Pemerintah Kabupaten Batu Bara Yos Rauke serta Bendahara Umum Pemerintah Kabupaten Batu Bara Fadil Kurniawan. Kejaksaan menemukan aliran uang ke rekening mereka. Juru bicara Kejaksaan Agung, Noor Rachmad, menolak membeberkan jumlah duit yang masuk ke kedua pejabat ini. ”Kami masih mendalami kasus ini,” kata Noor.
Gaya bicara Richard Latief tenang dan meyakinkan. Pria kelahiran Padang ini mengaku hanya sebagai broker. Tak ada kelebihannya yang lain. Soal kemudian ada permainan uang yang ditanam di sana-sini, Richard menyatakan itu bukan lagi urusannya. ”Ini dunia kang auw,” kata Richard merujuk cerita persilatan Tiongkok.
Dalam rimba persilatan, ujar Richard, haram hukumnya serakah. Menurut Richard, penggambaran tentang dirinya dan sepak terjangnya sebagai pembobol bank dilebih-lebihkan. ”Saya ketawa-ketawa saja mendengarnya.”
Richard boleh saja berkata demikian. Tapi Kepala Satuan Fiskal, Moneter, dan Devisa Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Aris Munandar menyatakan Richard adalah pemain lama pembobolan sejumlah bank.
Richard, kata Aris, masuk daftar pencarian orang alias buron sejak lima tahun silam. Juru bicara Polda Metro Jaya, Baharuddin Djafar, menegaskan, otak perantara pemindahan duit Elnusa dari Bank Mega ke PT Discovery dan PT Harvestindo memang Richard.
Tudingan polisi ada duit haram masuk Harvestindo serta-merta dibantah direktur utama perusahaan tersebut, Fresty Handayani. Menurut dia, tak ada duit Elnusa atau Batu Bara yang mengalir ke perusahaannya. Kendati demikian, Fresty mengakui Ivan C.H. Litha adalah pemegang saham terbesar di Harvestindo. Ivan masuk Harvestindo pada 2009 dan menjabat komisaris utama.
Richard tak menampik mengenal Ivan. Ia mengaku kenal Ivan lewat seseorang bernama Aldo. Ia dan Aldo pulalah yang mempertemukan Ivan dengan Itman, yang ujungnya, ujarnya, kemudian terjadilah transaksi diam-diam digelontorkannya duit Elnusa ke Discovery.
Baharuddin menunjuk otak semua ini tetap Richard. Richard, ujarnya, meyakinkan Itman bahwa permainan pindah-memindah ini aman dan tak terendus siapa pun. Richard pulalah, kata Baharuddin, yang ”menggosok” Direktur Keuangan Elnusa Santun Nainggolan supaya bersedia memindahkan duit Elnusa ke Discovery. Tapi Santun menyatakan tak kenal Richard. ”Siapa Richard?” katanya.
Sumber Tempo tak menampik jika Richard-lah pelaku utama di balik bobolnya rekening Elnusa. ”Dia pemain gaek dalam putar-putar duit bank dengan transaksi di bawah meja,” ujar sumber yang dekat dengan kalangan perbankan ini. ”Dia punya banyak teman orang bank,” sumber ini menambahkan.
Perihal kedekatan Richard dengan banyak kepala bank diakui seorang penyidik. Kehebatan Richard, ujarnya, terletak pada bicaranya yang meyakinkan. ”Dia piawai membujuk kepala-kepala cabang agar mau menanamkan duit bank mereka pada perusahaan investasi,” ujar sang penyidik. Richard, ujarnya, kerap memakai ”jurus prestasi” untuk mendekati kepala cabang.
Ukuran menjadi kepala cabang berprestasidan lantas kariernya berpeluang naikujar sumber ini, bank itu mesti memiliki nasabah jumbo. Richard memasok kepala cabang bank itu dengan informasi tentang siapa saja yang punya dana jumbo. Lalu ia mempertemukan nasabah tersebut dengan sang kepala cabang.
Jika ternyata pemilik nasabah sudah memindahkan uang ke bank tersebut, posisi Richard terhadap kepala cabang pun kuat. Di sini Richard lantas ”memainkan kartu”-nya. Ia membuat permufakatan bawah tangan dengan kepala cabang bank untuk memutar duit yang sudah masuk itu. ”Modusnya sederhana,” kata sumber itu.
Dalam perkara deposito milik Elnusa dan Kabupaten Batu Bara, Richard bermain bersama Rahman Hakim. Orang ini, menurut sumber di Kejaksaan Agung, kini menjadi buron. Sehari-hari Rahman adalah anggota direksi di PT Discovery.
Untuk perkara anggaran Kabupaten Batu Bara, dalam jaringan Richard ada lagi yang bernama Ilham Maratua Harahap. Kepada Tempo, seorang sumber di Kabupaten Batu Bara menyebutkan Ilham mendapat tugas dari Richard membujuk Fadil Kurniawan ”memainkan” uang Batu Bara.
Seorang bankir kepada Tempo bercerita, sepak terjang Richard sebenarnya sudah lama diketahui banyak orang bank. Sejumlah bank yang duitnya digangsir komplotan Richard, ujarnya, memilih berdiam lantaran khawatir citra bank mereka langsung anjlok jika diketahui masyarakat. Sumber ini menyebutkan Richard sebenarnya merupakan bagian dari jaringan Adrian Waworuntu, penggangsir Bank BNI 46 senilai Rp 1,3 triliun, yang kini mendekam di penjara. Saat ditanyakan soal ini, Richard menggeleng. ”Saya tahu Adrian, tapi tidak kenal dia.”
Polisi memastikan Richard satu jaringan dengan Ahmad Fadillah alias Andre Aminuddin. Ahmad, yang dibekuk polisi Maret lalu, adalah pembobol duit Bank BNI sebesar Rp 4,5 miliar. Ahmad pulalah yang menggangsir dana Taspen Bank Mandiri sebesar Rp 110 miliar empat tahun lalu.
Nama Richard Latief juga disebut-sebut dalam persidangan pembobolan anggaran Pemerintah Kabupaten Aceh Utara senilai Rp 220 miliar di Bank Mandiri Cabang Jelambar, Jakarta Barat, dua tahun lalu. Lima tahun sebelumnya, pada 2004, ia dituduh menggasak deposito Yayasan Damandiri Sejahtera senilai Rp 100 miliar di Bank Lippo Cabang Cimahi, Jawa Barat. Caranya dengan memalsukan aplikasi pemindahbukuan.
Nama Richard juga muncul pada sidang kasus pembobolan uang milik Bank BRI Atrium Segitiga Senen dan Bank BRI Pasar Tanah Abang senilai Rp 200 miliar pada 2006. Dalam persidangan terungkap, pemimpin Cabang BRI Atrium Segitiga Senen, Deden Gumilar Sapoetra, mencairkan kredit Rp 190,55 miliar yang kemudian dipindahkan ke rekening Richard Latief dan PT Delta Makmur Ekspresindo.
Richard, lagi-lagi, membantah jika ia dikatakan terkait dengan pembobolan bank-bank itu. Ia tetap menyatakan dirinya hanya perantara untuk memperkenalkan nasabah yang memiliki uang banyak. ”Saya ini bukan ahli perbankan dan bukan ahli teknologi yang bisa memindah-mindahkan transaksi bank,” katanya. Richard bisa berdalih apa saja. Tapi seorang penyidik memastikan Richard kali ini bakal masuk bui.
Sunudyantoro, Mustafa Silalahi, Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo