Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUNTUR Rian Eka Nugraha duduk di depan layar monitor LCD 16 inci di meja kerjanya yang kecil. Staf tata usaha SMP PGRI 1 Depok, Jawa Barat, ini dengan tekun memasukkan data siswa dan sekolah ke aplikasi yang baru setengah tahun ini dipakai. Aplikasi gratis yang digunakan, Jibas namanya, menggantikan data program spreadsheet yang sebelumnya dipakai. ”Yang dulu (Excel) manual,” kata Guntur. ”Yang ini lebih enak, (datanya) bisa dilihat semua siswa.”
Program gratis untuk sekolah itu dibuat di Bandung. Impian pembuatnya, PT Galileo Mitra Solusitama, perusahaan konsultan teknologi informasi, program itu tidak hanya digunakan satu sekolah, melainkan datanya juga nantinya bisa digunakan orang tua untuk memantau kemajuan pendidikan anaknya. Siswa dan guru juga diharapkan bisa menggunakannya, layaknya Facebook.
Setelah program diluncurkan pada pertengahan tahun lalu, sudah banyak sekolah yang mengunduh. ”Sudah sekitar 1.200 sekolah,” kata Senthot Budhi Santoso, manajer proyek Jibas. ”Saat mengunduh, mereka memasukkan nama sekolah, dan dari nama sekolah itu kami tahu jumlahnya.”
SMP PGRI 1 Depok, Jawa Barat, misalnya, mengenal program itu pada November tahun lalu. Yang mengenalkannya seorang staf Dinas Pendidikan Depok. Setelah pihak sekolah melihat-lihat dan merasa bahwa program itu cukup bagus, mereka langsung menggunakannya.
Data yang mereka masukkan adalah data tingkat terendah di sekolah dengan sekitar 600 siswa itu, yakni kelas tujuh. Kalau kelas sembilan, percuma juga datanya dimasukkan karena tinggal beberapa pekan lagi mereka diharapkan lulus. ”Kami berharap bulan ini semua data selesai,” kata Guntur.
Sebagai pengguna aplikasi baru, masalah klise muncul: programnya ngadat. ”Suka-suka tidak mau kebuka,” kata Guntur. Itu belum apa-apa. Pernah datanya hilang. ”Datanya sempat kehapus semua,” kata Guntur. ”Dua kali saya harus install ulang.”
Pemecahannya untuk saat ini adalah membuat data cadangan agar data yang sudah susah payah dimasukkan tidak hilang saat aplikasinya ngadat. ”Saya telepon ke (kantor Jibas) Bandung untuk tanya membuat backup,” kata Guntur.
Meski menjadi kelebihan utama, karakter Jibas yang gratis justru menjadi kekurangannya selama ini. Gratis berarti tidak ada jaminan pascajual. ”Kalau nanti ada masalah, kami tidak tahu harus bertanya ke siapa,” kata seorang staf tata usaha sebuah SMP negeri di Depok. Ia tidak ingin data yang sudah susah payah dimasukkan hilang begitu saja.
Menurut Jibas, mestinya hal itu tidak menjadi masalah. ”Kan ada Forum,” kata Senthot. Forum yang dimaksud adalah forum diskusi Internet di Jibas.net. Para pengguna—dan terutama pengelola—Jibas bisa saling bertukar pengalaman di sana.
Langkah kedua adalah mengembangkan semacam kantor cabang di tiap daerah. Kantor ini nantinya yang menangani berbagai masalah Jibas di lapangan. ”Yang sedang diproses (dibuat) di Jawa Barat,” kata Senthot. Tak mengherankan bila Jawa Barat menjadi yang pertama, karena Jibas memang datang dari Bandung.
Semula Galileo Mitra Solusitama membuat Jibas karena popularitas jaringan sosial di Internet. ”Kami terinspirasi Facebook dan Wikipedia,” kata Senthot. Seperti dengan Facebook, mereka berharap tiap sekolah dan siswa atau gurunya bisa berhubungan melalui situs yang mereka buat. Dan seperti Wikipedia, mereka berharap semua data yang terkait dengan sekolah bisa ada di Jibas. Itu sebabnya mereka menamai aplikasinya Jibas, kepanjangan dari Jaringan Informasi Bersama Antar-Sekolah.
Mereka mulai mengembangkan aplikasi itu sejak 2008 dan mulai memperkenalkannya ke publik setahun silam. Mereka, misalnya, membawanya ke kelompok Forum Teknologi Informasi dan Komunikasi Jawa Barat atau biasa disebut Fijar. Dalam pekan-pekan ini mereka juga berkunjung ke kota-kota Jawa Barat—selain Bandung adalah Bogor dan Cirebon—untuk memperkenalkan Jibas. Dengan cepat, angka yang mengunduh Jibas mencapai lebih dari 1.200 sekolah.
Tidak hanya dari Indonesia, dari Malaysia pun ada yang melirik. ”Bulan depan Institut Pendidikan Guru Malaysia akan ke sini,” kata Senthot. Ia tidak tahu dari mana sekolah calon guru Malaysia itu mendengar Jibas.
Di pasar kini sudah ada beberapa aplikasi untuk keperluan sekolah, sehingga data pendidikan bisa didapat dengan gampang. Aplikasi ini biasanya tidak gratis. Selain itu, data dalam aplikasi ini tidak bisa dibagikan dengan pihak lain. ”Sedangkan kita komunitas,” kata Senthot.
Data yang didapat dari sekolah, seperti yang dikelola Guntur, bakal diunggah di server milik Jibas, sehingga bisa dilihat orang tua murid, misalnya. ”Kebanyakan sekolah ingin melaporkan hasil belajar siswanya ke orang tua,” kata Senthot. Data lain, seperti absensi atau buku yang dipinjam siswa, juga bisa dilihat orang tua.
Tetapi, sampai tahun ini, program yang disebut ”Jendela Sekolah” ini belum bisa dijalankan karena Jibas belum mendapatkan server yang cukup besar. ”Kami berharap tahun ini sudah bisa mendapatkan server,” kata Senthot. Pihaknya memang membutuhkan server besar karena rata-rata data setiap sekolah mencapai 100 megabita.
Jika sudah berjalan, sekolah yang masih belum tersambung ke Internet juga masih bisa memanfaatkannya. ”Kita mensiasatinya sehingga sekolah bisa offline (tidak tersambung Internet),” kata Senthot. Data yang diolah di komputer sekolah, yang mungkin berada di tempat terpencil, bisa disimpan dan dibawa ke warnet.
Namun, sampai server itu dimiliki, komunitas Jibas masih belum bisa terbentuk. Meski demikian, sekolah seperti tempat Guntur bekerja sudah merasakan manfaatnya. ”Minimal punya sistem informasi sekolah, ada data siswa, ada data guru sekolah,” kata Senthot.
Galileo Mitra Solusitama memang harus bersabar untuk mendapatkan server, karena dari awal mereka membayangkan Jibas sebagai aplikasi gratis. Pemasukan dari Jibas boleh dikata masih belum ada. Tapi ada beberapa skenario pemasukan. ”Iklan salah satunya,” kata Senthot. Iklan ini yang menghidupi dan membuat situs sosial seperti Facebook kaya raya. Selain itu, diharapkan nantinya Jibas bisa digunakan sebagai sarana membayar uang sekolah, misalnya. ”Payment ini akan dikembangkan,” katanya.
Pemasukan lain diharapkan datang dari sekolah yang menghendaki sistemnya dibuat spesifik. ”Kebutuhan sekolah kan berbeda-beda,” kata Senthot. Jika sekolah ingin aplikasi yang digunakan berbeda dengan yang versi gratis, Jibas bisa melayaninya. Pengembangan aplikasi semacam ini bisa pula memberikan pemasukan bagi Jibas.
Nur Khoiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo