Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ikarus dan Inñáritu

2 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jendela dibuka. Angin menerpa wajah. Sam mencari ayahnya yang barangkali saja menjatuhkan diri dari ketinggian gedung itu. Tak ada. Perlahan mata Sam lantas menatap ke langit. Lalu dia tersenyum.

Pada saat itulah kita menyimpulkan Riggan Thomson melayang di udara seperti seorang Ikarus, bukan sekadar Birdman, burung buatan Hollywood yang berlagak menjadi superhero, pahlawan ajaib dari komik yang membuatnya menjadi pujaan dunia puluhan tahun lalu. Di panggung teater itu, Riggan ingin menemukan dirinya kembali sebagai aktor, sutradara, serta seseorang yang mampu mengontrol nasib dan masa depan kariernya sebagai seniman. Caranya? Riggan Thomson (Michael Keaton) mencoba mengangkat cerita pendek Raymond Carver, What We Talk about When We Talk about Love, ke atas panggung Broadway. Bak seekor burung, Birdman yang sudah gundul kehabisan bulu sayap untuk terbang, Riggan mencoba meniupkan roh ke dalam dirinya yang sudah dianggap sebagai aktor yang "tidak relevan, tidak penting" karena tidak memiliki halaman di Facebook dan Twitter-demikian tuduh Sam (Emma Stone) kepada sang ayah.

Pilihan Riggan untuk menjadi sutradara dan aktor dalam drama di Broadway ini adalah upayanya terbang seperti Ikarus. Dia mengira matahari yang panas yang bakal melelehkan sayapnya itu adalah kritikus teater yang sadistis, seperti Tabitha Dickinson (Lindsay Duncan), yang mengaku akan menghancurkan pertunjukan itu tanpa menyaksikannya. Ternyata "matahari" yang bisa melelehkan sayapnya adalah sebuah "suara" yang terus-menerus mengejarnya.

Ide liar untuk mengangkat sebuah cerita tentang hari-hari menjelang pementasan sebuah drama ini diperoleh sekejap. Sutradara Alejandro González Iñárritu telah lelah menyutradarai film-film drama yang muram, seperti Amores Perros (2000), 21 Grams (2003), Babel (2006), dan Biutiful (2010). Sutradara asal Meksiko itu ingin menampilkan drama komedi hitam.

Humor di dalam film ini tentu saja bukan seperti film komedi biasa, bahkan tak seperti komedi Woody Allen yang tangkas, melainkan humor yang terselip dengan subtil di antara kepahitan. Misalnya munculnya Mike Shiner (Edward Norton), aktor luar biasa yang memiliki ego besar hingga dia yang mengatur-atur adegan dan memanipulasi sutradara, atau adegan tempat tidur antara Mike dan Lesley (Naomi Watts), yang cilakanya membuat Mike kepingin begituan dan membuat penonton teater ngakak karena dengan jelas bisa melihat jendulan di balik celananya. Tapi humor Iñárritu tak segamblang itu. Sesekali humor itu terselip di antara dialog panjang, bahkan pertengkaran intelektual yang saling mengejek antargenerasi ("Saya tahu, untuk generasi kalian, yang penting bisa viral," ujar Riggan menyentak Sam, putrinya, bekas pecandu narkotik yang sedang mencoba hidup berjauhan dari racun itu).

Film ini dibuat seolah-olah dengan satu rekaman panjang tanpa suntingan; padahal tentu saja Iñárritu membuat rekaman satu shot panjang untuk banyak adegan. One shot wander memang menjadi salah satu sidik jari Iñárritu, sehingga hal-hal yang kecil, yang tak bisa dilakukan dalam sebuah latihan, bisa tertanggap dengan satu rekaman panjang. Keseharian Riggan, kegelisahan dan jiwa yang bergolak, terekam tajam ketika dia melalui lorong-lorong sempit dan gelap di balik panggung; juga saat dia meletakkan rambut palsu di atas kepala gundulnya dan mengokang senjata ke pelipisnya di atas panggung.

Serangkaian pemain dalam film ini hampir tak ada cacat. Michael Keaton, Emma Stone, Naomi Watts, Edward Norton, dan Zach Galifianakis adalah serangkaian pemain yang paham kapan muncul sebagai kelompok atau monolog yang menggelikan. Di dalam film ini, mereka adalah aktor, bukan bintang film.

Tentu Iñárritu, sengaja atau tidak, mengaburkan batas realitas dan panggung teater. Adegan perkelahian serta pertengkaran di atas dan di belakang panggung sama-sama teaterikal, sama-sama harus menjerit hingga bola mata nyaris menggelinding (tengok Emma Stone yang membentak-bentak ayahnya). Tapi memang, dalam hidup, kita ternyata menyukai dramatisasi. Birdman, yang meraih empat Piala Oscar tahun ini, termasuk Skenario, Sutradara, dan Film Terbaik, memang bukan film yang langsung bisa dinikmati dengan sekali tonton. Menyaksikan film ini memberi perasaan kita memasuki lorong gelap panjang tak berkesudahan dan muncul keinginan untuk membebaskan diri seperti Ikarus, terbang ke udara mendekati sumber cahaya.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus