Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berebut Air Bersih di Bandung

Penduduk Rancaekek berseteru dengan pelaku industri karena air bersih. Kota Bandung mengalami krisis air paling parah di Jawa Barat.

8 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELIANG sumur berdiameter satu meter menganga di belakang rumah Doy Mulyadi, warga Permata Hijau, Rancaekek, Kabupaten Bandung. Tapi bukan air yang memenuhi sumur sedalam 12 meter ini, melainkan aneka jenis sampah, lalat, dan nyamuk yang bersarang nyaman. Alih fungsi sumur menjadi tempat sampah ini, menurut Mulyadi, dilakukan karena keadaan sumur yang kering-kerontang.

Kalaupun keluar air, warnanya kekuningan dan jumlahnya tak berarti, yang kalau ditimba akan menguarkan bau menyengat. Merasa sumurnya kurang dalam, Mulyadi menggalinya lagi. Hasilnya, air yang bisa ditimba tetap secuil. Ia pun mencoba peruntungan lain, menimba dengan pompa jet berkekuatan 125 watt, tapi tanpa hasil juga. Ia akhirnya pasrah: "Kepalang puyeng, saya jadikan saja tempat sampah." Buat memenuhi kebutuhan air minum dan memasak, terpaksalah ia membeli bergalon-galon air tiap hari. Buat mandi dan mencuci, ia nebeng ke sumur tetangga yang masih berair.

Persoalan serupa itu dirasakan warga Rancaekek yang berdiam di sekitar Jalan Raya Rancaekek-Bandung. Inilah area yang ditegaki pabrik-pabrik besar, mulai puluhan pabrik tekstil, rokok, hingga pabrik minuman bersoda merek kesohor.

Dari sekian banyak pabrik tekstil yang ada, yang terbesar adalah PT Kahatex. Pabrik yang didirikan pada 1979 oleh L.H. Song ini berada di sebuah area seluas 150 hektare dengan 26 ribu pekerja. Buat memenuhi kebutuhan air bagi kegiatan produksinya, Kahatex memakai sedikitnya tiga sumur bor.

Penggunaan sumur bor itulah yang oleh warga dituding sebagai biang kerok lenyapnya air dari sumur mereka. Tentu saja Kahatex menolak dijadikan sebagai tertuduh. "Perusahaan sebesar ini taat aturan. Juga di sini ada puluhan pabrik lain," ujar Nonot Daryono, Asisten Personalia Kahatex.

Warga tak peduli, dan beberapa kali melakukan unjuk rasa. Untuk mencari solusi atas konflik air antara warga dan kalangan industri, Sabtu akhir pekan lalu digelar dialog antara warga, kalangan industri, Kementerian Lingkungan Hidup, pemerintah daerah, dan lembaga swadaya masyarakat. Pertemuan yang digagas oleh Acil Bimbo melalui Bandung Spirit ini dilakukan di Lapangan Garuda, Rancaekek.

Pertemuan Rancaekek sesungguhnya mengisyaratkan persoalan umum yang tengah dihadapi Bandung: krisis air. Menurut Kepala Subbidang Pengendalian Hutan, Lahan, dan Tata Air, Badan Pengawasan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat, Hariyadi, Bandung merupakan kota yang mengalami krisis air paling parah di Jawa Barat.

Hariyadi membuka catatannya dan menyebut bahwa pada 1990 produksi air tanah cekungan Bandung 0,1 juta meter kubik per tahun. Jumlah ini mengalami penurunan drastis tiap tahun hingga tahun 2000 tinggal 0,02 juta meter kubik per tahun. Padahal kebutuhan air untuk tahun ini lebih-kurang 12 juta meter kubik per tahun.

Menurut catatan Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, penurunan itu diakibatkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan kawasan industri. Peningkatan keduanya membuat kebutuhan akan air bersih juga melonjak.

Sebagian besar air bersih dipenuhi dari pemanfaatan air tanah. Soalnya, perusahaan daerah air minum baru memenuhi 43 persen kebutuhan air bersih. Pengambilan air tanah yang pesat terutama dilakukan oleh industri. Akibatnya, kondisi dan lingkungan air tanah memburuk.

Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan Bandung menemukan penurunan muka air tanah yang mencapai lebih dari 50 meter jika dihitung dari kondisi awal serta gejala amblesan tanah di beberapa tempat. Penurunan muka air tanah ini kemudian membentuk kerucut muka air tanah di Batujajar, Cimahi Selatan, Dayeuhkolot, Katapang, dan Rancaekek-Cimanggung.

Direktorat Tata Lingkungan Geologi juga menemukan, di daerah padat industri, gejala amblesan tanah telah nyata terjadi. Indikasinya, antara lain, kerusakan pada lantai sumur pantau atau fondasi sumur bor yang menggantung di empat lokasi pabrik di Cimahi Selatan, Dayeuhkolot, Ujungberung, dan Rancaekek.

Menurut Hariyadi, wilayah yang mengalami penurunan permukaan air paling parah terdapat di Rancaekek, Cimahi, Buah Batu, Mohamad Toha, dan Cicadas. Akibat penurunan ini, penduduk di sekitar kawasan industrilah yang lebih dulu merasakan kesulitan memperoleh air. Karena itu, konflik antara industri dan masyarakat seperti yang terjadi di Rancaekek, menurut Hariyadi, tak bisa dihindari.

Sejak mencuatnya pertikaian itu, menurut Hariyadi, pihaknya dan pemerintah daerah telah mengupayakan berbagai penyelesaian, antara lain melalui One River Basin, One Plan and One Integrated Management, menghentikan surat izin pengambilan air baru di daerah kritis air, membuat ketentuan agar semua pengambilan air tanah yang komersial dilengkapi alat ukur, dan memperbanyak danau untuk menampung air permukaan.

Itu rencana-rencana hebat yang, buat Mulyadi, tak memberikan hasil apa-apa, setidaknya sejauh ini. Mulyadi duduk mencangkung, memandang sumur 12 meternya yang kerontang, lalu melemparkan sekantong sampah ke dalamnya.

Agus Hidayat, Bobby Gunawan (Rancaekek), Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus