Deru suara kendaraan menyibak keheningan dini hari tatkala iring-iringan mobil dan motor melewati hutan di kawasan Tayiban-Ye Oo di hari Jumat dua pekan silam. Dalam salah satu mobil, duduklah Aung San Suu Kyi, pemimpin perjuangan demokrasi Myanmar, yang tengah melawat ke daerah. Tiba-tiba rombongan itu terhenti saat satu bongkahan besar kayu merintangi jalan. Rombongan itu lalu memintas jalan lewat hutan. Saat berada di tengah hutan, ratusan orang mendadak muncul dan menyerang mereka. Suara tembakan berdesing dan batu-batu katapel melayang ke arah para pendukung Suu Kyi.
Tamu-tamu gelap ini ternyata tentara dan pendukung Asosiasi Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDA), yang mendukung rezim militer Myanmar. Korban pun berjatuhan pada pagi buta itu. Wakil Liga Demokrasi Nasional (NLD)—partai oposisi terbesar pimpinan Suu Kyi—langsung menggulingkan diri ke parit. Aung San Suu Kyi sendiri, menurut sumber di National Coalition Government of the Union of Burma (NCGUB), terluka di kepala akibat pukulan.
Pemerintah menyatakan empat orang tewas dan sekitar 50 lainnya luka-luka dalam insiden ini. Angka itu berbeda jauh dengan jumlah yang dirilis pihak oposisi: 70 orang tewas dan 200 lainnya luka-luka. Apa pemicu kekerasan ini, yang disusul pembekapan Suu Kyi serta ratusan aktivis NLD? Dari Washington, Perdana Menteri "Pemerintahan Burma dalam Pengasingan" (NCGUB) mengatakan kepada TEMPO bahwa kekerasan ini mencerminkan rasa takut rezim militer yang berkuasa terhadap popularitas Suu Kyi (lihat Wawancara Sein Win). "Janji-janji para jenderal untuk membawa Burma (Myanmar) ke arah demokrasi ternyata bohong belaka," ujarnya kepada mingguan ini via surat elektronik.
Sementara itu, rezim militer Myanmar menjelaskan penahanan Suu Kyi hanyalah protective custody (penahanan demi perlindungan). Dia ditahan di sebuah wisma tamu di Yangoon untuk mencegah serangan lain terhadap wanita pemimpin Myanmar itu. Khawatir akan timbulnya gelombang protes dan kerusuhan, junta militer menutup kantor NLD dan kampus-kampus di seluruh negeri.
Insiden berdarah ini merupakan antiklimaks dari semua upaya rezim militer Myanmar untuk memoles citra mereka. Tahun lalu mereka membebaskan Suu Kyi. Maka, orang pun bertanya-tanya, mengapa para jenderal itu kembali membekap Suu Kyi. "Mereka melihat gerakan people power mulai hidup kembali," ujar Aung Din, mantan tahanan politik yang sekarang bergabung dengan Free Burma Coalition, "dan memutuskan mengisolasi Aung San Suu Kyi dari para pendukungnya," ia menambahkan.
Rezim militer Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara (SPDC)—dulu Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban (SLORC)—memang telah membabat habis seluruh gerakan demokrasi di Myanmar sejak mereka menolak kemenangan NLD dalam pemilu pada Mei 1990. Saat itu, partai oposisi pimpinan Suu Kyi itu berhasil mendapatkan 392 dari 485 kursi parlemen. Alih-alih memberi tempat di parlemen, rezim militer Myanmar menangkap nyaris semua pemimpin NLD dan tokoh oposisi lain.
Sejak saat itu, di mata dunia internasional, rezim militer memetik citra sebagai tiran pelanggar hak asasi manusia yang keji. Hingga dua pekan lalu, misalnya, sekitar 1.400 orang masih berada dalam status tahanan politik. Berbagai upaya pembebasan tahanan politik dan penegakan iklim demokrasi telah dilakukan oleh kaum oposisi. Antara lain, pembentukan Pemerintahan Burma di Pengasingan serta melobi masyarakat internasional supaya menekan junta militer agar berdialog. Hasilnya?
Amerika Serikat dan Uni Eropa telah menerapkan sejumlah sanksi ke penguasa Myanmar. Sampai-sampai rezim itu membebaskan Aung San Suu Kyi untuk kedua kalinya dari tahanan rumahnya pada Mei 2002. Pemerintah militer juga mengizinkan tim investigator Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masuk Myanmar dan mencari bukti pelanggaran hak asasi manusia serta melihat kondisi buruh di sana. Bahkan rezim itu merestui pembukaan kelas-kelas hak asasi bagi para pegawai negeri, yang disponsori Australia.
Namun, seperti yang dijelaskan Aung Ding, ketakutan tetap saja melanda rezim militer. Angin kebebasan semu belaka. Rekonsiliasi berjalan di tempat. Sejak Mei tahun lalu, tak pernah ada dialog yang mendasar antara Suu Kyi dan para jenderal SPDC. "Than Shwe (pemimpin tertinggi rezim militer SPDC) adalah hambatan terbesarnya," ujar seorang diplomat Barat.
Di tubuh SPDC sendiri terjadi perpecahan. Kelompok garis keras pimpinan Maung Aye, orang kedua di SPDC, dianggap bertanggung jawab atas tindakan penahanan kembali Suu Kyi. Di pihak lain, ada kelompok moderat SPDC yang dipimpin Jenderal Khin Nyunt. Walau pecah kongsi, tak seorang jenderal pun merelakan kekuasaan kepada Suu Kyi.
Kepada TEMPO, Perdana Menteri NCGUB, Sein Win, mengatakan bahwa Suu Kyi dan pengikutnya telah beberapa kali menerima ancaman dan gangguan. Rezim Than Shwe juga mencoba mendiskreditkan berbagai kelompok oposisi. Dalam sebuah konferensi pers Februari lalu, juru bicara SPDC, Brigjen Than Tun, menuduh NCGUB mengirim senjata ke kamp-kamp latihan militer NLD di Myanmar.
Menyusul insiden dua pekan lalu, surat kabar milik pemerintah, The Mirror, menuduh pendukung Suu Kyi yang memulai bentrokan dengan pendukung junta militer. Juru bicara NLD, U Liwn, membalas dengan mengatakan intimidasi sudah jadi makanan Suu Kyi sehari-hari. Misalnya, saat pemimpin wanita itu beranjangsana ke Negara Bagian Chin pada April lalu, pejabat setempat mencoba menghalangi Suu Kyi dan orang-orangnya. Pemda setempat mengancam masyarakat agar tidak keluar menyambut Suu Kyi.
Pengalaman serupa dia temui dalam kunjungan terakhirnya dua pekan lalu ke Negara Bagian Kachin, yang merupakan perjalanan terpanjangnya sejak dia dibebaskan. Selama sebulan, Suu Kyi mencoba bertatap muka dengan para pendukungnya serta membuka kantor-kantor cabang NLD di Kachin. "Sebelum memasuki kota-kota, anggota USDA menunggu Suu Kyi dengan papan-papan bertuliskan 'Lawan antek-antek yang bergantung pada luar negeri'," ujar U Liwn. Di beberapa tempat, para anggota USDA membawa pedang dan tongkat untuk menghalangi jalan. Pemerintah malah menawarkan kebebasan bagi narapidana di penjara yang mau ikut dalam serangan tersebut.
Toh, betapapun ketatnya rezim militer menyensor berita, peristiwa dua pekan lalu menerabas dengan cepat ke dunia internasional dan mengundang reaksi keras. Presiden Amerika George W. Bush meminta Suu Kyi segera dibebaskan. Senator Mitch McConell menyerukan larangan pemberian visa bagi petinggi SPDC dan USDA. Selama ini, Amerika juga telah mengeluarkan larangan investasi ke Myanmar.
Dari Afrika Selatan, pemenang Nobel Perdamaian Desmond Tutu juga menyerukan sanksi berat bagi Myanmar. "Bekukan semua aset rezim dan jatuhkan sanksi larangan perjalanan bagi mereka dan pendukungnya," ujar Tutu. Uni Eropa menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar melalui embargo senjata, larangan perjalanan bagi para pejabat SPDC, larangan hubungan pertahanan, dan pembekuan aset pejabat tinggi SPDC, bahkan larangan bantuan kemanusiaan.
Namun, respons ini tetap kurang menggembirakan para pejuang demokrasi. Aung Din mengatakan, semua tindakan tersebut tak berdampak jika masyarakat internasional masih terpecah-pecah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara-negara Asia seperti Cina, Jepang, India, bahkan ASEAN, cenderung bersikap diam melihat kekerasan di Myanmar. Hanya Thailand yang berani mengambil sikap keras.
"Itu urusan dalam negeri Myanmar," seorang pejabat Departemen Luar Negeri Indonesia memberi alasan kepada TEMPO. ASEAN, menurut si pejabat ini, telah bersepakat tentang kebijakan "anti-campur tangan" terhadap urusan dalam negeri tiap anggota. Selain itu, ASEAN juga lebih memilih pendekatan constructive engagement: mengiming-imingkan hadiah ketimbang ancaman hukuman dalam mendesak reformasi politik di Myanmar.
Tak bisa berharap dari tetangga, Sein Win dan rekan-rekannya berkeliling belahan bumi lain untuk mencari bantuan. Ke Amerika, Eropa, Skandinavia. Mereka membawakan suara para pejuang demokrasi Myanmar yang kian sayup-sayup.
Purwani Diyah Prabandari (AP, NCGUB.org, MSNBC)
Tarik-Ulur Aung San Suu Kyi
30 September 1988
National League for Democracy (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, putri pahlawan kemerdekaan Myanmar Aung San, dibentuk.
20 Juli 1989
Aung San Suu Kyi dikenai tahanan rumah.
27 Mei 1990
Liga Demokrasi berhasil mendapatkan 392 dari 485 kursi di parlemen. Junta militer tak mengakui kemenangan itu.
15 September 1991
'Pemerintahan Burma dalam Pengasingan' dibentuk di Mannerplaw di perbatasan Thailand.
14 Oktober 1991
Aung San Suu Kyi mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian.
10 Juli 1995
Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah.
24 Juli 1998
Suu Kyi dilarang mendatangi kantor-kantor NLD.
21 Sept 2000
Suu Kyi kembali masuk tahanan rumah.
6 Mei 2002
Suu Kyi dibebaskan.
30 Mei 2003
Suu Kyi kembali ditahan 'demi perlindungan' di Yangoon, ibu kota Myanmar.