Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MINGGU lalu ada seminar yang diorganisasikan oleh CBPlus Mondial. Temanya mengenai perkembangan dolar AS dan euro. Satu hal yang menarik, para pembicara memprediksi range prospek kedua mata uang tersebut akan sungguh-sungguh lebar. Beberapa pihak mencermati perkembangan itu dengan sangat hati-hati. Sementara itu, ada yang melihatnya masih berada dalam koridor bahwa dalam pergerakan yang demikian memang selalu saja muncul apa yang disebut overshooting atau kebablasan. Yang paling ekstrem, ada juga yang melihatnya berdasarkan tanda-tanda zaman yang pernah terjadi sebelumnya.
Juga, menarik sekali menonton siaran pagi televisi CNBC beberapa hari lalu tentang Pertemuan Puncak G8, yang antara lain juga membicarakan fenomena melemahnya dolar AS. Sebagaimana diketahui, Jepang, yang perekonomiannya sedang susah, akan makin susah jika mata uang mereka menguat terhadap dolar AS. Karena itu, pada Mei ini pemerintah Jepang sudah mengeluarkan US$ 30 miliar untuk melakukan intervensi agar dolar AS tak melemah.
Melihat perkembangan tersebut, menarik untuk mengikuti beberapa tanda zaman di masa lalu. Siapa tahu kita bisa memanfaatkannya untuk melihat apa yang terjadi di masa mendatang.
Dolar AS Sebagai Mata Uang Dunia
Tanda zaman pertama adalah yang berkaitan dengan transformasi dolar AS menjadi mata uang utama dunia. Ini terjadi melalui proses politik, sebagai hasil Konferensi Keuangan di Bretton Woods, AS, 1-22 Juli 1944. Di sinilah, selain disepakati membentuk tiga badan penting duniaInternational Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Lembaga Perdagangan Duniajuga ditetapkan dolar AS sebagai mata uang kunci dunia. Artinya, sejak saat itu nilai tukar semua mata uang di dunia dikaitkan dengan dolar AS, yang nilainya kemudian dikaitkan pula dengan harga emas. Hasil konferensi ini lalu dikenal sebagai Bretton Woods Agreement.
Meskipun telah ditetapkan, penerapan dolar AS sebagai mata uang utama dunia tidaklah berlangsung seketika. Ketika itu dolar AS masih belum dikenal luas sebagaimana laiknya poundsterling yang sungguh merajai dunia. Transformasi penggunaan dolar AS sebagai cadangan devisa resmi di berbagai negara berjalan pelan-pelan. Soalnya amat disadari, pergantian tersebut pada akhirnya akan sangat merepotkan perekonomian Inggris, karena mereka harus menyediakan cadangan devisa dalam bentuk dolar AS yang cukup untuk dapat menukar poundsterling yang dimiliki berbagai negara. Inilah yang pada waktu itu populer disebut sebagai proses "convertibility". Untuk memperlancarnya, pemerintah AS sampai perlu memberi pinjaman US$ 3,75 miliar kepada Inggris.
Toh, proses ini tetap membuat perekonomian Inggris kalang-kabut juga. Inggris akhirnya menjadi pasien pertama IMF pada September 1947. Jumlahnya pun sebetulnya tidak seberapa menurut ukuran saat ini, "hanya" US$ 60 juta. Sungguh sulit dipercaya, Inggris, yang semula merupakan superpower, akhirnya harus meruntuhkan kebanggaannya dengan meminta bantuan IMF.
Persoalan yang dihadapi Inggris bahkan terus berlanjut. Pada 18 September 1949, mereka harus mendevaluasi mata uangnya dari nilai semula US$ 4,03 menjadi US$ 2,8 untuk setiap poundsterling. Inggris bahkan kemudian meminta lagi bantuan IMF pada tahun 1956 dengan jumlah yang sangat besar pada waktu itu, US$ 1,3 miliar. Demikian juga pada November 1967, 20 tahun sesudah pinjaman ke IMF yang pertama kali, dengan jumlah yang juga cukup besar, US$ 1,4 miliar.
Tanda Zaman Perjalanan Dolar AS
Dolar AS akhirnya berhasil menjadi "jangkar" yang kuat bagi sistem moneter internasional. Lebih dari 20 tahun mata uang tersebut dapat melayani kebutuhan perdagangan internasional ataupun pemupukan cadangan devisa.
Awalnya, proses ini menimbulkan dilema tersendiri. Menyebarnya dolar AS hanya bisa terjadi jika AS mengalami defisit dalam neraca perdagangannya. Jika mereka surplus, jumlah dolar AS yang beredar menjadi lebih kecil.
Namun, sukses ini juga bisa membuat AS terlena. Mudahnya mereka mengembangkan perekonomian dengan "membebani" negara lain pada akhirnya menimbulkan defisit neraca perdagangan yang makin lama makin besar. Defisit ini pun akhirnya memperbesar jumlah cadangan devisa negara lain, terutama Eropa Barat.
Mengingat keterkaitan dolar AS dengan emas sesuai dengan "Bretton Woods Agreement", karena adanya penyimpangan harga emas di pasar dengan harga emas resmi, pada akhirnya banyak bank sentral terdorong menukarkan cadangan dolar AS mereka dengan emas. Dan jika dilakukan dalam jumlah besar, pada akhirnya ini bisa menjadi sumber krisis baru.
Inilah yang terjadi pada paruh kedua dasawarsa 1960. AS sempat menjadi pasien IMF dua kali, yaitu tahun 1966 dan 1968. Tekanan yang demikian besar pada perekonomian AS akhirnya memaksa Presiden Nixon memutus kaitan dolar AS dengan harga emas. Keputusan itu lalu mengakhiri sistem Bretton Woods, yang sudah berjalan lebih dari 25 tahun. Inilah tanda zaman yang kedua.
Dengan dimulainya sistem nilai tukar mengambang, yang lalu dikukuhkan dalam Jamaica Agreement tahun 1976, aturan main mulai berubah. Di sini yang bermain bukan "volume" lagi, melainkan "harga", yaitu harga mata uang atau yang kita kenal sebagai nilai tukar. Semua penyesuaian yang diperlukan oleh perekonomian pada akhirnya dilakukan melalui pergerakan nilai tukar tersebut.
Tanda zaman ketiga muncul pada saat perekonomian AS kembali dilanda defisit hebat. Defisit tersebut banyak dikaitkan dengan menguatnya perekonomian Jepang, sehingga dirasakan perlu melakukan penyeimbangan. Proses inilah yang akhirnya mewarnai apa yang disebut Plaza Accord, kesepakatan dari lima bank sentralAS, Inggris, Jerman, Prancis, dan Jepangdi Hotel Plaza, New York, September 1985. Dolar AS lalu "dilemahkan" sehingga nilainya turun 30 persen dalam jangka waktu dua tahun, dan ditetapkan suatu koridor nilai tukar yang menjadi kesepakatan bersama.
Jadi, dari berbagai pengalaman tersebut, dapat diambil kesimpulan: perubahan-perubahan besar yang kadang kala terjadi pada akhirnya meninggalkan dampak yang juga besar atau membutuhkan langkah drastis untuk mengatasinya.
Perkembangan Euro
Melihat tanda-tanda zaman tersebut, menarik untuk dicermati apakah perkembangan yang terjadi pada euro saat ini merupakan hal yang biasa saja, atau sudah menyiratkan bakal munculnya suatu tanda zaman yang baru. Dari seminar minggu lalu, umumnya para pembicara melihat gejala itu sebagai suatu hal yang normal, meskipun di sana-sini terdapat fenomena overshooting.
Sebagaimana dimaklumi, dalam setahun terakhir euro menguat. Meski pada awalnya Gubernur Bank Sentral Eropa (ECB) Wim Duisenberg kadang diledek media karena euro sempat melemah, mata uang yang dalam peluncuran perdananya bernilai US$ 1,17 ini akhirnya mengalami konsolidasimeski dalam waktu cukup lama. Perkembangan terakhir bahkan menunjukkan kecenderungan penguatan yang konsisten. Awal minggu lalu euro mencapai tingkat US$ 1,19. Ini memang hanya US$ 2 sen di atas nilai tukar perdananya. Tapi pencapaian tersebut tidaklah bisa dianggap main-main. Kenapa?
Dalam setahun terakhir, penguatan euro mencapai sekitar 14 persen. Tahun 2003 ini, sampai April, euro sudah menguat 10 persen dan belum ada tanda-tanda akan mengendur. Perkembangan tersebut tentu menimbulkan banyak tanda tanya, bagaimana kira-kira prospeknya. Banyak yang mengatakan, level US$ 1,2 dolar per euro merupakan suatu tingkat yang dianggap tidak sustainable. Sementara itu, level tersebut kini sudah betul-betul dekat menjadi kenyataan. Lalu apa yang akan terjadi dengan perekonomian Eropa, dan pada gilirannya perekonomian global?
Jika euro terus menguat seperti setahun terakhir, Eropa akan mulai gelagapan. Kawasan yang pertumbuhan ekonominya sangat rendah tersebut akan ditimpa kemalangan. Ekspor mereka akan kehilangan daya saing. Mengingat pentingnya pertumbuhan ekonomi di Eropa sebagai motor perekonomian dunia bersama AS, pertumbuhan yang lambatatau bahkan resesijelas akan mempengaruhi gairah perekonomian global. Karena itu, perkembangan mata uang tersebut tentu akan dicermati ECB. Penurunan suku bunga, misalnya, meskipun bertentangan dengan misi utama ECB untuk mengendalikan stabilitas harga, mungkin akan terpaksa diambil untuk mengurangi besarnya minat investasi dalam euro.
Jika penguatan euro terus berlanjut, kesepakatan untuk melakukan "intervensi bersama" mungkin akan dilakukan ECB melalui bank-bank sentral negara anggotanya, yang bukan tidak mungkin melibatkan juga bank sentral Jepang dan AS. Jika hal tersebut masih juga tak dapat meredakan minat terhadap euro, kesepakatan seperti Plaza Accord bukan tak mungkin pula ditempuh. Inilah range yang masih mungkin dilakukan secara "normal".
Namun, ada kekhawatiran skenario lebih ekstremlah yang akan terjadi. Pendapat ini didasari fakta bahwa dua pertiga cadangan devisa di dunia ada di Asia. AS sendiri hanya memiliki 2 persennya. Dengan penguatan euro yang cukup lama dan terus-menerus, niat pemegang portofolio, termasuk bank-bank sentral, melakukan diversifikasi tentu akan semakin besar. Jika ini yang terjadi, kenaikan komposisi euro sebesar 10 persen saja di berbagai bank sentral Asiapergeseran yang tak terlalu besar dan sangat mungkin dilakukanakan menggeser jumlah devisa di negara-negara Asia dari dolar AS ke euro sebesar kurang-lebih 6,7 persen cadangan devisa dunia. Jumlah ini jelas berkali-kali lipat dibanding cadangan devisa AS. Pergeseran ini, terutama jika terjadi dalam waktu yang cepat, pada akhirnya dapat berdampak seperti saat proses transformasi mata uang dunia dari poundsterling ke dolar AS.
Di masa lalu, keadaan tersebut telah menghasilkan langkah drastis berupa pemutusan kaitan dolar AS dengan emas seperti di zaman Nixon pada tahun 1971, ataupun Plaza Accord 1985. Karena itu, proses transformasi yang terjadi dalam kaitannya dengan euro perlu sungguh-sungguh dicermati. Terlebih lagi, dengan banyaknya dana yang dikelola oleh mutual fund, hedge fund, ataupun lembaga keuangan lain, termasuk proprietary trading oleh bank-bank, proses tersebut bukan tidak mungkin dapat menyebabkan terjadinya gangguan (disruptions) pada perekonomian global. Dalam konteks inilah Pertemuan Puncak G8 menjadi sangat penting.
Kita sungguh berharap gangguan itu tidak terjadi. Dengan demikian, kita tetap dapat mengharapkan terjadinya proses pemulihan ekonomi global di bulan-bulan mendatang, tanpa harus terganggu oleh sebuah transformasi yang mendadak. Meski demikian, tidak ada salahnya kita melihat gejala ini dengan sikap waspada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo