Terletak di sebuah kompleks olahraga, ruangan wartawan yang disediakan panitia penyelenggara konferensi negara-negara industri kelompok G8 di Evian, Prancis, tak cukup nyaman. Ruangan besar ini berubah menjadi sauna raksasa pada jam-jam sibuk.
Untuk meredam panas dan haus, berkali-kali air mineral tambahan dipesan dari pabrik air botolan Evian, yang ada di kota itu. Tak kurang dari 23 ribu botol sudah diguyurkan buat membasahi tenggorokan wartawan yang sering kehausan. Secara keseluruhan, kebutuhan air minum pertemuan negara-negara industri kaya itu mencapai 30 ribu liter. Ini jumlah yang cukup memadai untuk menjaga seorang pria dewasa yang hidup di pantai agar tetap bugar dan sehat selama 40 tahun.
Di luar Evian, dunia justru sedang menjerit meminta air. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekitar 1,2 miliar penduduk dunia tak memiliki akses terhadap air bersih. Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Mochamad Amron, satu dari empat orang di dunia saat ini kekurangan air minum. Juga satu dari tiga orang di dunia bahkan tak mendapat sarana sanitasi yang layak. Amron melanjutkan, menjelang tahun 2005, sekitar 2,7 miliar manusia—kira-kira sepertiga populasi dunia—akan menghadapi kekurangan air pada tingkat yang parah.
Di tengah guyuran bergalon-galon air, Presiden Amerika Serikat George W. Bush dan koleganya duduk mengutarakan keprihatinan. "Air penting bagi kehidupan. Kekurangan air bisa mempengaruhi keamanan dan kesejahteraan manusia. Kami berkomitmen untuk memegang peranan aktif," begitu pernyataan yang dilontarkan kelompok G8.
Omongan itu diwujudkan dalam komitmen rencana aksi masalah air yang terdiri atas lima kegiatan, yakni good governance, finansial, infrastruktur, monitoring, serta kerja sama internasional. Disepakati bahwa negara-negara G8—Amerika Serikat, Prancis, Jepang, Kanada, Italia, Inggris, Jerman, dan Rusia—akan menyediakan bantuan teknis, finansial, dan logistik bagi negara-negara miskin untuk mendapatkan air bersih. Hanya, kesepakatan ini tak diturunkan dalam rencana aksi pelaksanaan. Tak disebutkan pula berapa besaran bantuan yang akan dikucurkan.
Barry Coates, Direktur World Development Movement, yang telah lama memantau krisis air, memandang sinis komitmen G8. "Ini sih komitmen yang didorong ideologi untuk melakukan privatisasi air di negara-negara miskin," ujarnya. Ia menunjukkan bukti, dalam rencana aksi G8 tertera kalimat, "Kami berkomitmen untuk mempromosikan kerja sama publik-privat yang paling baik dan sesuai."
Elemen lain yang disebut-sebut berbau proyek adalah klausul peningkatan kerja sama dan pembangunan infrastruktur yang lebih baik, seperti pengolahan air, irigasi, ataupun pembuangan.
Saking geramnya, sebuah kelompok pencinta lingkungan, Friends of the Earth, menyebut komitmen negara G8 sebagai "tak bisa diminum" (undrinkable). Helene Ballande, juru bicara kelompok ini, menyebut akses untuk memperoleh air bersih dan sanitasi merupakan hak dasar setiap manusia. "Tidak layak kalau harus diatur berdasarkan kepentingan negara multinasional dan pasar bebas," tuturnya, "Seharusnya mereka mendorong teknologi penyediaan air tepat guna dengan biaya yang bisa dijangkau atau mungkin gratis bagi negara miskin."
Maka, bersama sekitar 200 demonstran lain, Coates dan Ballande berjejal di depan markas World Trade Organisation (WTO) di Jenewa, Swiss, melancarkan protes dan melakukan aksi menentang pertemuan kelompok G8. Mereka melambai-lambaikan spanduk bertuliskan "Air Kami, Hidup Kami, Tidak untuk Dijual".
Agus Hidayat (Reuters, AFP, Guardian, www.g8.fr)a
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini