YANG pangeran sama cintanya pada pesawat terbang seperti pada
orang utan. Selasa pekan lalu, Bernhard, 62, tiba di Jakarta
tanpa isterinya, Ratu Yuliana, dengan menerbangkan sendiri
pesawat jet F-28 milik Kerajaan Belanda. Pendiri dan bekas ketua
WWF (World Wildlife Fund Dana Satwa Sedunia) keesokan harinya
menyerahkan sumbangan WWF sebesar 1 juta dollar AS kepada Sri
Sultan Hamengkubuwono ke-IX, Ketua IWF (Indonesian Wildlife
Fund).
Dana itu diperuntukkan bagi berbagai cagar alam di seluruh
Indonesia. Berlaku untuk waktu 5 tahun uang itu terutama
dimaksudkan untuk melatih para petugas PPA (Perlindungan &
Pengawetan Alam) Indonesia di Negeri Belanda dan AS dalam bidang
pengawetan.
Bea-Masuk Halim
Kunjungan Pangeran Bernhard itu bukanlah kunjungan pertama dari
orang penting WWF ke Indonesia. Akhir tahun lalu, Dirjen WWF Dr
Fritz Vollmar yang bermarkas-besar di Morges, Swiss, berkunjung
pula ke Indonesia. Vollmar juga menandatangani naskah kerjasama
resmi antara WWF dan IUCN (Internationl Union for the
Conservations of Nature) dengan pemerintah Indonesia. Khususnya
Direktorat PPA yang bernaung di bawah Ditjen Kehutanan,
Departemen Pertanian.
WWF/IUCN sudah membantu kegiatan perlindungan alam di Indonesia
selusin tahun lamanya bantuannya kepada Indonesia, ada sekitar I
juta dollar AS setiap tahun. Bukan berupa uang kontan. Melainkan
gaji tenaga ahli, kapal untuk rute Labuan - Pulau Pecang (dekat
Ujungkulon), lima mobil jeep untuk suaka margasatwa Gunung
Leuser, dan sebagainya.
Besar bantuan untuk tiap proyek WWF tak sama - tergantung
kebutuhannya. "Sebenarnya banyak pihak asing mau membantu berupa
materi tapi kesulitan utama kita adalah bea-masuk yang tinggi
sekali di Halim," tutur Barita Manullang, seorang petugas
pendidikan perlindungan alam PPA-WWF.
Resminya VF memang bekerjasama dengan DPA. Ada sekitar 15 proyek
PPA yang dibantu organisasi swasta internasional yang bersimbol
beruang panda itu. Tersebar di 17 tempat. Salah satunya, adalah
riset sensus badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) di bawah
pimpinan. Prof. R. Schenkel, ahli ilmu hewan dari Universitas
Basel, Swiss. Hasilnya: sekarang masih ada 15 ekor badak Jawa,
dua kali jumlah yang tercatat ketika sensus dimulai tahun 1967.
Yang agak kurang menggembirakan, adalah sensus harimau Jawa yang
dilakukan Dr John Scidensticker. Hasilnya: sang macan yang
pernah bikin geger kampus Bulaksumur di Yogya itu tiggal 4 atau
5 ekor di hutan. Harapan bisa bertahan tipis sekali.
Selain bekerjasama dengan PPA, WWF juga membantu kegiatan
Yayasan Pendidikan Kelestarian Alam (Yayasan Lestari) yang
diketuwai Ny. Azis Saleh. Juga Indonesian Wildlife Fund (IWP)
yang diketuai Sri Sultan itu. Pada gilirannya. PPA, Yayasan
Lestari dan IWF saling bantu membantu baik dana maupun daya.
Yayasan Lestari misalnya sedang mengadakan 'lomba penghijauan
mini' yaitu lomba penghijauan pekarangan pribadi. Juga ceramah
tentang pentingnya kelestarian alam. Bulan lalu yayasan yang
banyak beranggotakan diplomat siang serta mahasiswa fakultas
Biologi Universitas Nasional itu, menerima cek seharga Rp 1 juta
dari Japan Club Foundation. Tujuannya juga untuk membantu
pembinaan kelestarian alam Indonesia.
Lantas, apa yang telah tercapai dengan bantuan WWF dan dana asing
lainnya? "PPA kerjanya lambat." kata seorang petugas PPA. Dana
ada, tapi kurang memperhatikan suaka yang kekurangan tenaga.
Misalnya Gunung Leuser yang hanya punya 20 petugas untuk menjaga
daerah seluas 2000 kmÿFD. Sekolah posus PPA sampai sekarang belum
ada. "IWF hanya merupakan penyalur dana, tapi kegiatannya sendiri
belum ada," sambung petugas PPA itu. Ia merasa kewalahan.
Karena itu banyak mahasiswa pencinta alam terjun membantu PPA,
WWF maupun Yayasan Lestari secara sambilan lebih lantaran
idealisme ketimbang duit yang hampir tak ada. Dari mereka
diperoleh keterangan, bahwa ancaman terhadap kelestarian alam
di gunung atau di hutan seringkali datangnya dari orang-orang
yang menyebut dirinya 'pencinta alam'. Kata June Luhulima,
mahasiswi pendaki gunung dari FK-UKI pada TEMPO: "Ada
pemuda-pemuda bersimbol panda (WWF) di jaketnya, dengan bangga
bercerita bagaimana mereka menembak belasan rusa di Kalimantan.
Dan seringkali kami yang memaki gunung di Jawa, menyaksikan
hutan yang sedang terbakar lantaran keteledoran pendaki-pendaki
yang, buang puntung rokok seenaknya."
Kalau begitu, apakah Pangeran Benhard atau Sri Sultan harus
terjun ke lapangan sendiri, biar bantuan jutaan dolar itu tidak
sia-sia habis?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini