MAJALAH terbitan Hongkong Far Eastern Economic Review akhir
Oktober menulis tentang tempat tahanan G-30-S di Indonesia.
Laporan berjudul Inside Soeharto's Prisons itu sebagian besar
hasil kerja wartawannya di Jakarta, David Jenkins. Reportase
Jenkins dapat ijin Kaskopkamtib Soedomo - satu hal yang hampir
tak pernah diperoleh wartawan Indonesia sendiri. Dan para
wartawan dalam negeri pun ngiri.
Para pejabat Indonesia lebih terbuka bagi pers asing'? Atau pers
lokal yang kurang gigih". Menurut Brigjen Darjono SH, Ka Puspen
Hankam, "pemerintah tidak menganak-emaskan pers asing." Katanya,
hal itu dilakukan untuk melawan opini Amnesty International yang
selama ini mengkritik kebijaksanaan RI dalam soal penahanan
tanpa proses pengadilan. "Kalau kita sendiri yang bicara, 'kan
orang luar tidak percaya ?"
Itu pun tak berarti David Jenkins dengan mudah memperoleh ijin.
Setelah mengajukan permintaan tertulis, ia harus menunggu tiga
bulan, karena rupanya Kopkamtib lebih mendahulukan Sabam Siagian
dari Sinar Harapan.
Gengsi
Toh cerita Jenkins lebih terperinci, termasuk wawancara dengan
Dr. Subandrio. Tanpa sensor Sudomo. Sudomo sendiri mula-mula
keberatan wawancara dengan Subandrio dimuat. Tapi akhirnya
setuju dengan catatan: Subandrio tak disebut sebagai tapol tapi
narapidana.
Harus diakui, pers dalam negeri memang kurang gesit, meskipun
nyatanya kesempatan bagi pers asing lebih luas. Misalnya untuk
wawancara dengan Presiden Soeharto. Selama ini yang berhasil
misalnya Roy Rowan (Time) dan Barnard Krischller Newsweek
menjelang KTT ASEAN di Kualalumpur lalu. Juga Robert Kroon dari
koran Belanda De Telegraaf Terakhir majalah beroplah kecil
(mengaku 20.000) terbitan Hongkong, Asia Week, 20 Agustus yang
lalu. Menurut Kepala Penerangan Sekneg. drs. Dwipayana, wartawan
asing itu memang gigih. "Mereka bertanya dari segala segi, juga
menemui beberapa orang dan taktiknya macam-macam," katanya.
Namun sejak beberapa waktu ini memang tampak ada kecenderungan
sementara Menteri untuk lebih suka bicara dengan pers asing
saja. Tahun lalu Menteri Perdagangan Radius Prawiro dan Menpan
Sumarlin bicara dengan mereka soal tanker. Awal Oktober kemarin
kembali Menpan Sumarlin menjelaskan soal modal asing. Mungkin
karena soalnya menyangkut negeri luar.
Kedua konperensi pers itu diselenggarakan oleh national
Development Information Office (NDIO) - cabang dari Hill &
Knowlton, kantor humas kelas satu di New York itu - yang sejak
Agustus Ialu dikontrak oleh pemerintah selama dua tahun.
Meskipun papan nama yang terpampang di kantornya yang besar di
hotel Wisata, Jakarta bertuliskan Republic of Indonesia,
pimpinannya adalah orang Australia: William H. Douglass.
NDIO yang mempekerjakan enam pegawai Indonesia itu selain punya
data komplit dan resmi (misalnya tentang penanaman modar asing,
gas alam Bontang, LNG di Arun) juga menerbitkan buletin empat
halaman Indonesia Development News. Tapi kepada Toeti Kakiailatu
dari TEMPO, Bill Douglass membantah sebagai "corong pemerintah
RI."
Meskipun NDIO bertugas memberikan gambaran yang jelas tentang RI
di mata dunia, tapi para wartawan asing di Jakarta menyatakan
tak begitu memerlukannya. Menurut penilaian mereka, Menteri
Radius atau Sumarlin sebenarnya cukup kompeten dan baik bicara
langsung dengan pers asing.
Sedang untuk pers dalam negeri, juga banyak pejabat yang
sebenarnya tak perlu pakai humas. Bagi wartawan, itu lebih enak
dan sip. Tapi apa pers dalam negeri masih punya gengsi - seperti
jaman dulu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini