Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bertanggung Jawab, Insinyur ?

Pembangunan lingkungan sering menganggu ekosistem arsitek dituntut tanggung jawabnya. Diusulkan agar calon arsitek dididik ilmu ekonomi & bersikap berani memperjuangkan yang benar. (ling)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH lorong di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, penuh dengan pohon buah. Di situ berkeliaran pula ayam, itik, hewan ternak lainnya dan manusia. Semuanya masih merupakan ekosistem yang berjalan baik: kotoran hewan menjadi pupuk bagi pohon, buah yang dihasilkan pohon itu dimakan manusia, dan manusia memelihara hewan dan tanam-tanamannya. Tapi pemandangan itu kemudian berubah secara drastis, sesudah lorong itu diaspal. Tiang listrik yang didirikan di kiri-kanan jalan menggusur pohon buah. Orang kehilangan nafkah dari berdagang buah. Kotoran hewan kemudian harus selalu dibersihkan. Lalai sedikit saja, lingkungan menjadi kotor, tak sehat. Walhasil, keutuhan ekosistem itu telah terganggu. Itulah serentetan slide yang ditembakkan ir Adhi Moersid, Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dari proyektor di Gedung Pusat Pengembangan Kesenian DKI, akhir Nopember. Dalam suatu diskusi tentang arsitek dan lingkungannya, para hadirin diajaknya melihat betapa tercerabutnya arsitektur Jakarta masa kini dari lingkungan sosial dan fisiknya. Contoh lain: satu daerah kosong di pinggir Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Tanahnya dikeruk untuk menguruk dan meratakan daerah lain yang hendak dibangun menjadi pusat perumahan atau perkantoran. Banyaknya tanah yang telah dikeruk dapat dilihat dari tingginya letak sebuah rumah lama yang masih berdiri di lapisan tanah yang asli. Tanya Adhi Moersid: "Haruskah pembangunan perumahan dilakukan dengan meratakan dulu tanahnya, dan dengan merugikan tanah di tempat lain? Tak adakah sistim lain yang justru memanfaatkan ketak-rataan tanah" Lalu ada trotoar Jalan Sabang, yang begitu sempit. Pejalan kaki di sana mudah sekali diserempet lalu-lintas. Begitu pula gambaran toko-toko yang tak menyediakan tempat parkir. "Ini menyedihkan, karena justru sekarang ditiru kota-kota lain," kata arsitek muda itu. Kemudian tampak bangunan kuno yang terpaksa dipotong separuh gara-gara pelebaran jalan. Lantas gedung sekolah dengan halaman tempat anak-anak bermain telah disemen, keras. Tukas sang seniman bangunan: "Ini sama sekali tak menguntungkan. Halaman keras ini cepat sekali panas." Boleh Protes? Parade slide itu hanya dimaksudkan untuk mengajak hadirin berfikir kembali. Diskusi yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Kesenian Ditjen Kebudayaan, Departemen P&K bekerjasama dengan Kanwil P&K DKI memang hanya ingin mengumpulkan informasi permasalahan arsitektur & lingkungan di Jakarta. Tapi ada juga usul praktis seperti dari ir Martono, 39 tahun, Kepala Sub-dinas Pemugaran dan Tata Bangunan DKI, dengan contoh bagaimana di Negeri Belanda. Tiap wilayah, katakanlah RW, di sana mempunyai penasehat arsitektur dan lingkungan. Masyarakatnya juga spontan memprotes kalau keputusan pemerintah dirasa merugikan lingkungan mereka. Umpamanya kasus pembangunan metro (kereta api bawah tanah) di Amsterdam, yang lama terkatung-katung lantaran banyak penduduk kota pelabuhan Belanda itu tak menyetujuinya. Mungkin contoh itu tak seluruhnya dapat diterapkan di Indonesia. Tapi sempat juga ia merangsang pertanyaan: Kalau Kode Etik Arsitek -- disusun tahun 1959, lalu diperbaharui tahun 1974 --"sudah biasa dilanggar", bagaimana? Apa gunanya protes kalau kita sudah mengetahui hasilnya akan sia-sia dan konyol saja? Kutu Busuk Buntut diskusi itu hanya menggapai-gapai di udara hampa. Namun angin mawas-diri sudah mulai bertiup di antara para arsitek muda. Apalagi di Bandung, Ikatan Mahasiswa Arsitektur 'Gunadharma' juga baru-baru ini sibuk membahas soal "Tanggung Jawab Sosial Arsitek Indonesia." Diskusi di lingkungan ITB itu, seperti dikemukakan seorang anggota panitianya kepada TEMPO, bertujuan mempertemukan siapa saja "yang mencium harum bunga atau kutu busuk" di kalangan arsitek Indonesia yang berperanan dewasa ini. Bagaimana sih, arsitek yang tak bertanggungjawab? tanya seorang mahasiswa. "Arsitek yang memancang pembangunan gedung-gedung mewah, sementara di sekelilingnya bertaburan warung kopi dan gubug rakyat jelata," sahut seorang dosennya, ir Suhartono. Lain lagi pendapat ir Ciputra, Dir-Ut PT Pembangunan Jaya yang Juga lulusan ITB. "Arsitek yang membikin pengusaha bangkrut, itulah contoh arsitek yang kurang bertanggungjawab," katanya. Ciputra pun memuji sejumlah arsitek lulusan ITB yang telah merancang Taman Impian Jaya Ancol sebagai salah satu contoh arsitektur yang bertanggungjawab. Makanya ia menyarankan agar di jurusan Arsitektur ITB diberikan matakuliah Ekonomi secara khusus. Selain itu, ir Hasan Poerbo, seorang dosen ITB mengusulkan agar calon arsitek juga dididik dalam hal kejujuran. Maksudnya, "keberanian memperjuangkan kebenaran, sebagai bekal menghadapi lingkungan kerja yang penuh godaan yang menggiurkan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus