SEBUAH lorong di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, penuh
dengan pohon buah. Di situ berkeliaran pula ayam, itik, hewan
ternak lainnya dan manusia. Semuanya masih merupakan ekosistem
yang berjalan baik: kotoran hewan menjadi pupuk bagi pohon, buah
yang dihasilkan pohon itu dimakan manusia, dan manusia
memelihara hewan dan tanam-tanamannya.
Tapi pemandangan itu kemudian berubah secara drastis, sesudah
lorong itu diaspal. Tiang listrik yang didirikan di kiri-kanan
jalan menggusur pohon buah. Orang kehilangan nafkah dari
berdagang buah. Kotoran hewan kemudian harus selalu dibersihkan.
Lalai sedikit saja, lingkungan menjadi kotor, tak sehat.
Walhasil, keutuhan ekosistem itu telah terganggu.
Itulah serentetan slide yang ditembakkan ir Adhi Moersid, Wakil
Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dari proyektor di Gedung
Pusat Pengembangan Kesenian DKI, akhir Nopember. Dalam suatu
diskusi tentang arsitek dan lingkungannya, para hadirin
diajaknya melihat betapa tercerabutnya arsitektur Jakarta masa
kini dari lingkungan sosial dan fisiknya.
Contoh lain: satu daerah kosong di pinggir Jalan Rasuna Said,
Kuningan, Jakarta. Tanahnya dikeruk untuk menguruk dan meratakan
daerah lain yang hendak dibangun menjadi pusat perumahan atau
perkantoran. Banyaknya tanah yang telah dikeruk dapat dilihat
dari tingginya letak sebuah rumah lama yang masih berdiri di
lapisan tanah yang asli. Tanya Adhi Moersid: "Haruskah
pembangunan perumahan dilakukan dengan meratakan dulu tanahnya,
dan dengan merugikan tanah di tempat lain? Tak adakah sistim
lain yang justru memanfaatkan ketak-rataan tanah"
Lalu ada trotoar Jalan Sabang, yang begitu sempit. Pejalan kaki
di sana mudah sekali diserempet lalu-lintas. Begitu pula
gambaran toko-toko yang tak menyediakan tempat parkir. "Ini
menyedihkan, karena justru sekarang ditiru kota-kota lain," kata
arsitek muda itu.
Kemudian tampak bangunan kuno yang terpaksa dipotong separuh
gara-gara pelebaran jalan. Lantas gedung sekolah dengan halaman
tempat anak-anak bermain telah disemen, keras. Tukas sang
seniman bangunan: "Ini sama sekali tak menguntungkan. Halaman
keras ini cepat sekali panas."
Boleh Protes?
Parade slide itu hanya dimaksudkan untuk mengajak hadirin
berfikir kembali. Diskusi yang diselenggarakan oleh Direktorat
Pembinaan Kesenian Ditjen Kebudayaan, Departemen P&K bekerjasama
dengan Kanwil P&K DKI memang hanya ingin mengumpulkan informasi
permasalahan arsitektur & lingkungan di Jakarta. Tapi ada juga
usul praktis seperti dari ir Martono, 39 tahun, Kepala Sub-dinas
Pemugaran dan Tata Bangunan DKI, dengan contoh bagaimana di
Negeri Belanda. Tiap wilayah, katakanlah RW, di sana mempunyai
penasehat arsitektur dan lingkungan. Masyarakatnya juga spontan
memprotes kalau keputusan pemerintah dirasa merugikan lingkungan
mereka. Umpamanya kasus pembangunan metro (kereta api bawah
tanah) di Amsterdam, yang lama terkatung-katung lantaran banyak
penduduk kota pelabuhan Belanda itu tak menyetujuinya.
Mungkin contoh itu tak seluruhnya dapat diterapkan di Indonesia.
Tapi sempat juga ia merangsang pertanyaan: Kalau Kode Etik
Arsitek -- disusun tahun 1959, lalu diperbaharui tahun 1974
--"sudah biasa dilanggar", bagaimana? Apa gunanya protes kalau
kita sudah mengetahui hasilnya akan sia-sia dan konyol saja?
Kutu Busuk
Buntut diskusi itu hanya menggapai-gapai di udara hampa. Namun
angin mawas-diri sudah mulai bertiup di antara para arsitek
muda. Apalagi di Bandung, Ikatan Mahasiswa Arsitektur
'Gunadharma' juga baru-baru ini sibuk membahas soal "Tanggung
Jawab Sosial Arsitek Indonesia." Diskusi di lingkungan ITB itu,
seperti dikemukakan seorang anggota panitianya kepada TEMPO,
bertujuan mempertemukan siapa saja "yang mencium harum bunga
atau kutu busuk" di kalangan arsitek Indonesia yang berperanan
dewasa ini.
Bagaimana sih, arsitek yang tak bertanggungjawab? tanya seorang
mahasiswa. "Arsitek yang memancang pembangunan gedung-gedung
mewah, sementara di sekelilingnya bertaburan warung kopi dan
gubug rakyat jelata," sahut seorang dosennya, ir Suhartono.
Lain lagi pendapat ir Ciputra, Dir-Ut PT Pembangunan Jaya yang
Juga lulusan ITB. "Arsitek yang membikin pengusaha bangkrut,
itulah contoh arsitek yang kurang bertanggungjawab," katanya.
Ciputra pun memuji sejumlah arsitek lulusan ITB yang telah
merancang Taman Impian Jaya Ancol sebagai salah satu contoh
arsitektur yang bertanggungjawab. Makanya ia menyarankan agar
di jurusan Arsitektur ITB diberikan matakuliah Ekonomi secara
khusus.
Selain itu, ir Hasan Poerbo, seorang dosen ITB mengusulkan agar
calon arsitek juga dididik dalam hal kejujuran. Maksudnya,
"keberanian memperjuangkan kebenaran, sebagai bekal menghadapi
lingkungan kerja yang penuh godaan yang menggiurkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini