HENTIKAN pelumpuhan monyet Jawa! lndonesia -- hentikan ekspor
monyet yang bakal ditimpa beban berat di sini! Dengan slogan
semacam itu, lebih dari 100 demonstran berbaris di depan
Fakultas Kedokteran Universitas Carolina Selatan, AS, beberapa
waktu berselang.
Mereka nemprotes eksperimen sadis terhadap monyet pemakan
kepiting (Macaca fascicularis) yang diimpor dari Indonesia.
Eksperimen itu sudah dilaksanakan sejak 1969. Namun sekelompok
pencinta binatang dari Charleston, Carolina Selatan, baru saja
mengetahuinya setelah memanfaatkan UU Kebebasan Informasi.
Berdasarkan UU tersebut setiap warganegara AS berhak meminta dan
memperoleh keterangan tentang setiap percobaan ilmiah yang
dibiayai dengan uang negara.
Liga Internasional untuk Perlindungan Primata menyiarkan sudah
ratusan monyet pemakan kepiting menemui ajalnya dalam
laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas itu. Kebanyakan
diimpor dari Indonesia, melalui perusahaan importir Haleton
Primelabs dari Farmingdale, New Jersey, binatang percobaan itu
mula-mula dipasangi elektroda menembus tempurung kepalanya untuk
mengukur arus listrik otak (electro-cephalogram). Sesudah itu
binatang itu dijatuhi beban berat di atas tulang punggungnya.
Berat beban itu bertingkat-tingkat, begitu pula jarak ketinggian
penjatuhannya. Semuanya tergantung pada derajat kelumpuhan
seberapa yang ingin dihasilkan pada monyet itu, dari kelumpuhan
ringan sampai kelumpuhan abadi (paraplegia). Sesudah dibiarkan
sengsara selama dua-tiga minggu untuk penyelidikan ilmiah,
monyet itu dibunuh untuk penyelidikan setelah mati (post-mortem
analysis).
Kata Nona Donato, seorang pelopor kelompok Friends of Monkeys
yang melancarkan protes itu "Monyet pemakan kepiting ini, dapat
mencapai tingkat kecerdasan seperti bayi manusia berumur dua
tahun. Makanya, bila orang secara sengaja melumpuhkan monyet itu
sama amoralnya seperti membunuh bayi manusia." Seorang kawannya,
Ny. Rita Corbett masih menambahkan lagi: "Monyet, seperti juga
manusia, juga memiliki rasa cemas, takut dan rasa sakit. Saya
jadinya seringkali tak dapat tidur malam hari lantaran
membayangkan mesin setan penjatuh beban itu, yang telah membuat
begitu banyak monyet muda yang sehat dan berbahagia jadi
lumpuh, cacad dan tak pernah lagi mampu berlari atau
meloncat-loncat lagi "Walhasil, kelompok itu berusah menghimbau
rakyat Indonesia untuk menyetop ekspor monyet guna kepentingan
riset yang "kejam" dan "tak berperikemanusiaan" itu di Amerika
Serikat.
Di Indonesia, tak ada yang kedengaran menanggapi himbauan itu.
Malah ekspor primata dan monyet Jawa khususnya telah meningkat
pesat.
Permintaan akan monyet Indonesia telah semakin melonjak semenjak
India menghentikan secara total ekspor monyet rhesus dari negeri
itu sejak 1 April. "Kalau sebelum embargo India itu kami paling
banter mengekspor sekitar 200 ekor setahun, tahun ini kami sudah
mengekspor lebih dari 1200 ekor," ujar David H. Siswandi,
seorang eksportir monyet berlisensi di Jakarta. Dan dia
menambahkan lagi bahwa devaluasi rupiah 15 Nopember semakin
merangsang ekspor monyet lebih banyak lagi.
Riset Senjata
Tapi setujukah Siswandi dengan percobaan ilmiah nan kejam di
Amerika? Pertanyaan ini, ditanggapi oleh 'konsultan'nya, Chuck
L. Darsono, tokoh yang sudah lama juga menjadi sumber
kontroversi lantaran dia juga aktif dalam ekspor berbagai jenis
monyet Indonesia ke Amerika dan Jepang. Katanya kepada TEMPO:
"Selama itu untuk kepentingan penelitian, saya dapat menyetujui
pengorbaran monyet itu." Dia melihat selama ini nasib monyet di
Indonesia juga terus terancam oleh menciutnya hutan habitat
monyet. Khususnya monyet Jawa (Macaca fascicularis) dan beruk
Lampung (Macaca nemestrina). "Jadi dari pada monyet itu mati
merana di sini, 'kan lebih baik mati terhormat untuk kepentingan
kemanusiaan di sana," ujar Darsono, yang sehari-harinya bekerja
sebagai kontraktor bangunan.
Tapi monyet juga dipakai orang untuk penyelidikan senjata
militer yang paling mutakhir. Misalnya penyelidikan bom neutron,
yang sudah mengorbankan 1200 nyawa monyet rhesus India sejak
1966 (TEMPO, 11 Maret). Juga, seperti telah diakui Komando
Litbang Persenjataan AD-AS, sekitar 200 - 250 monyet Jawa
setahun telah digunakan untuk menemukan bahan penangkal terhadap
senjata kimia.
Pengujian bahan penangkal itu terang saja harus dilakukan
terhadap monyet yang sudah lebih dulu 'diserang' dengan senjata
bio-kimia seperti bom napalm atau bom kuman. Dan monyet
percobaan itu dibeli dari negara-negara seperti India (sebelum 1
April 1978), Malaysia dan Indonesia.
Di antara 9 perusahaan eksportir monyet di Jakarta, baru CV
Primates Indonesia yang dikonsultani Chuck Darsono meminta
importir supaya memperoleh surat keterangan PPA dan Depkes AS
bahwa binatang impor itu hanya digunakan untuk "riset biologi".
Tapi sekali masuk ke kandang importir di negeri Paman Sam sana,
siapa yang dapat menjamin bahwa monyet itu bukannya digunakan
untuk riset penyakit polio, melainkan riset senjata paling
mutakhir? Darsono pun tak dapat menjamin. "Tapi akan saya
tanyakan pada Primelabs, salah satu langganan kami yang terbesar
di sana," katanya berhati-hati.
Namun terhadap pemerintah Indonesia, ada satu hal konkrit yang
diusulkannya. Yakni ketentuan bahwa monyet Indonesia hanya boleh
diekspor untuk riset medis. "Sebab sekarang, hanya 25% dari 17
ribu monyet yang diekspor tahun 1975, misalnya, digunakan untuk
riset. Sedang lainnya, antara lain diekspor ke Taiwan, hanya
untuk dimakan." tutur Darsono yang juga pencinta alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini