Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ekspor Monyet Makin Pesat

Ratusan monyet asal Indonesia mati setelah dipakai untuk eksperimen di AS. Kelompok friends of monkey protes dan mendesak pemerintah RI agar tak mengizinkan ekspor, kecuali untuk riset medis. (ling)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HENTIKAN pelumpuhan monyet Jawa! lndonesia -- hentikan ekspor monyet yang bakal ditimpa beban berat di sini! Dengan slogan semacam itu, lebih dari 100 demonstran berbaris di depan Fakultas Kedokteran Universitas Carolina Selatan, AS, beberapa waktu berselang. Mereka nemprotes eksperimen sadis terhadap monyet pemakan kepiting (Macaca fascicularis) yang diimpor dari Indonesia. Eksperimen itu sudah dilaksanakan sejak 1969. Namun sekelompok pencinta binatang dari Charleston, Carolina Selatan, baru saja mengetahuinya setelah memanfaatkan UU Kebebasan Informasi. Berdasarkan UU tersebut setiap warganegara AS berhak meminta dan memperoleh keterangan tentang setiap percobaan ilmiah yang dibiayai dengan uang negara. Liga Internasional untuk Perlindungan Primata menyiarkan sudah ratusan monyet pemakan kepiting menemui ajalnya dalam laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas itu. Kebanyakan diimpor dari Indonesia, melalui perusahaan importir Haleton Primelabs dari Farmingdale, New Jersey, binatang percobaan itu mula-mula dipasangi elektroda menembus tempurung kepalanya untuk mengukur arus listrik otak (electro-cephalogram). Sesudah itu binatang itu dijatuhi beban berat di atas tulang punggungnya. Berat beban itu bertingkat-tingkat, begitu pula jarak ketinggian penjatuhannya. Semuanya tergantung pada derajat kelumpuhan seberapa yang ingin dihasilkan pada monyet itu, dari kelumpuhan ringan sampai kelumpuhan abadi (paraplegia). Sesudah dibiarkan sengsara selama dua-tiga minggu untuk penyelidikan ilmiah, monyet itu dibunuh untuk penyelidikan setelah mati (post-mortem analysis). Kata Nona Donato, seorang pelopor kelompok Friends of Monkeys yang melancarkan protes itu "Monyet pemakan kepiting ini, dapat mencapai tingkat kecerdasan seperti bayi manusia berumur dua tahun. Makanya, bila orang secara sengaja melumpuhkan monyet itu sama amoralnya seperti membunuh bayi manusia." Seorang kawannya, Ny. Rita Corbett masih menambahkan lagi: "Monyet, seperti juga manusia, juga memiliki rasa cemas, takut dan rasa sakit. Saya jadinya seringkali tak dapat tidur malam hari lantaran membayangkan mesin setan penjatuh beban itu, yang telah membuat begitu banyak monyet muda yang sehat dan berbahagia jadi lumpuh, cacad dan tak pernah lagi mampu berlari atau meloncat-loncat lagi "Walhasil, kelompok itu berusah menghimbau rakyat Indonesia untuk menyetop ekspor monyet guna kepentingan riset yang "kejam" dan "tak berperikemanusiaan" itu di Amerika Serikat. Di Indonesia, tak ada yang kedengaran menanggapi himbauan itu. Malah ekspor primata dan monyet Jawa khususnya telah meningkat pesat. Permintaan akan monyet Indonesia telah semakin melonjak semenjak India menghentikan secara total ekspor monyet rhesus dari negeri itu sejak 1 April. "Kalau sebelum embargo India itu kami paling banter mengekspor sekitar 200 ekor setahun, tahun ini kami sudah mengekspor lebih dari 1200 ekor," ujar David H. Siswandi, seorang eksportir monyet berlisensi di Jakarta. Dan dia menambahkan lagi bahwa devaluasi rupiah 15 Nopember semakin merangsang ekspor monyet lebih banyak lagi. Riset Senjata Tapi setujukah Siswandi dengan percobaan ilmiah nan kejam di Amerika? Pertanyaan ini, ditanggapi oleh 'konsultan'nya, Chuck L. Darsono, tokoh yang sudah lama juga menjadi sumber kontroversi lantaran dia juga aktif dalam ekspor berbagai jenis monyet Indonesia ke Amerika dan Jepang. Katanya kepada TEMPO: "Selama itu untuk kepentingan penelitian, saya dapat menyetujui pengorbaran monyet itu." Dia melihat selama ini nasib monyet di Indonesia juga terus terancam oleh menciutnya hutan habitat monyet. Khususnya monyet Jawa (Macaca fascicularis) dan beruk Lampung (Macaca nemestrina). "Jadi dari pada monyet itu mati merana di sini, 'kan lebih baik mati terhormat untuk kepentingan kemanusiaan di sana," ujar Darsono, yang sehari-harinya bekerja sebagai kontraktor bangunan. Tapi monyet juga dipakai orang untuk penyelidikan senjata militer yang paling mutakhir. Misalnya penyelidikan bom neutron, yang sudah mengorbankan 1200 nyawa monyet rhesus India sejak 1966 (TEMPO, 11 Maret). Juga, seperti telah diakui Komando Litbang Persenjataan AD-AS, sekitar 200 - 250 monyet Jawa setahun telah digunakan untuk menemukan bahan penangkal terhadap senjata kimia. Pengujian bahan penangkal itu terang saja harus dilakukan terhadap monyet yang sudah lebih dulu 'diserang' dengan senjata bio-kimia seperti bom napalm atau bom kuman. Dan monyet percobaan itu dibeli dari negara-negara seperti India (sebelum 1 April 1978), Malaysia dan Indonesia. Di antara 9 perusahaan eksportir monyet di Jakarta, baru CV Primates Indonesia yang dikonsultani Chuck Darsono meminta importir supaya memperoleh surat keterangan PPA dan Depkes AS bahwa binatang impor itu hanya digunakan untuk "riset biologi". Tapi sekali masuk ke kandang importir di negeri Paman Sam sana, siapa yang dapat menjamin bahwa monyet itu bukannya digunakan untuk riset penyakit polio, melainkan riset senjata paling mutakhir? Darsono pun tak dapat menjamin. "Tapi akan saya tanyakan pada Primelabs, salah satu langganan kami yang terbesar di sana," katanya berhati-hati. Namun terhadap pemerintah Indonesia, ada satu hal konkrit yang diusulkannya. Yakni ketentuan bahwa monyet Indonesia hanya boleh diekspor untuk riset medis. "Sebab sekarang, hanya 25% dari 17 ribu monyet yang diekspor tahun 1975, misalnya, digunakan untuk riset. Sedang lainnya, antara lain diekspor ke Taiwan, hanya untuk dimakan." tutur Darsono yang juga pencinta alam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus