Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bersih-sudah dijadwal

Mahasiswa dan dosen lpkj mengadakan pameran serentak pada tempat terpisah. soal teknik mahasiswa ketinggalan, tapi mereka berhasil tampil dengan patung jenis baru: dari bambu.(sr)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP akhir tahun, baik dosen maupun mahasiswa LPKJ mengadakan pameran sendiri-sendiri. Tapi kali ini, pameran dua kelompok itu diadakan persis serentak (5-11 Desember), walaupun tidak di ruang yang sama. Para dosen di Ruang Pameran TIM dan disponsori Dewan Kesenian Jakarta. Para mahasiswa di Galeri LPKJ, di belakang TIM, dengan biaya patungan. Pembukaan kedua pameran ini hanya terpaut setengah jam: untuk yang mahasiswa jam 19.00, untuk yang dosen jam 19.30. Yang Mahasiswa Dengan sekitar 130 karya seni rupa galeri kecil di belakang TIM itu tak bisa mewadahi semuanya. Maka ada lukisan yang dipasang di dinding-luar, ada pula patung yang di plaza. Jadinya suasana lebih meriah. Tapi ini memang karya para mahasiswa -- yang pengalaman berkaryanya relatif masih singkat. Di antara 130 karya itu sendiri memang susah dicari yang melegakan. Kalau tidak karena tekniknya belum memadai, sebuah karya yang nampak berhasil ternyata banyak sekali mirip dengan karya seniman yang sudah jadi. Ada karya non-figuratif dengan teknik mencipratkan cat mirip karya Jackson Pollock -- jagonya action painting Amerika Serikat -- yang dibaringkan di lantai. Anehnya, kalau kita sudah nonton pameran dosen LPKJ di Ruang Pameran, memang bisa ada kesan kalau lukisan ala Pollock itu seperti mengejek lukisan seorang dosen yang juga mirip karya Pollock. Ialah lukisan Sardono W. Kusumo -- bukan dosen seni rupa, memang. Lalu ada patung yang mirip patung primitif Kalimantan. Bahkan seorang dosen LPKJ salah anggap: mengira benda itu dibawa mahasiswa LPKJ yang beberapa bulan lalu mempelajari kesenian rakyat Kalimantan. Agaknya bakat mahasiswa itu memang besar, sehingga bisa membuat patung primitif mirip benar dengan aslinya. Ini harapan pertama. Harapan kedua bisa dilihat pada sebuah patung bambu: tiga batang bambu masing-masing terdiri dari tiga-empat ruas, bagian atasnya dibelah, dibentuk seperti jari-jari tangan mengembang. Memang tak begitu baik. Tapi ide bahannya -- bambu itu -- unik jugalah (seingat saya belum pernah ada patung bambu). Dengan sedikit ketekunan, mungkin bisa ditemukan satu bentuk khas patung jenis itu -- murah, dan berakar pada budaya kita sendiri. Yang Dosen Para dosen tentu saja menyuguhkan karya yang lebih pas, lebih siap ke "pasaran." Teknis tak perlu lagi diomongkan. Tapi toh tak ada karya yang menukik dan menyuguhkan kemungkinan yang jauh. Memang ada Srihadi -- yang sudah kita bicarakan dua minggu lewat. Ada karya Danarto yang merupakan hiasan murni, yang menyobek batas antara patung, lukisan dan benda pakai. Karya yang terdiri dari bidang-bidang putih disusun tiga dimensi itu, kiranya sangat dipengaruhi pengalaman Danarto membuat disain panggung sandiwara (untuk Arifin C. Noer atau Rendra). Lalu ada karya Priyanto S., yang menggambar serangga: rapi, indah. Ini tentu kelanjutan pameran PERSEGI yang lampau -- yang mengajukan gagasan bahwa gambar pun patut dihargai setingkat dengan jenis seni rupa yang lain. Yang memang pantas diketengahkan karena memang belum pernah dipamerkan -- di Jakarta paling tidak -- adalah karya G. Sidharta. Sebuah patung kayu, tinggi sekitar 3 meter, berwarna, ada bagian yang ditempeli kaca. Menggambarkan seorang dewi lagi menangis -- judulnya memang begitu Tangisan Dewi Batari Warna-warna merah-biru-putih, kemulian tangannya yang menyilang dada, lalu rambutnya yang menjurai ke bawah dan gambar air mata yang menitik, memang mengesankan seorang yang agung (bukan manusia) sedang berduka. Sementara itu Jim Supangkat masih sadis: mengurung patung wanita telanjang yang dibalut goni dalam sebuah kotak, lalu menggantung empat kepala manusia yang juga dibalut karung goni pada satu rantai. Pameran ini sudah rutin. Itulah barangkali yang menyebabkan para pesertanya juga tak ingin mengetengahkan karya andalan. Datar saja. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus