Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Upacara adat, bukan agama, sungguh

Sebagai luapan rasa syukur karena hasil panen baik, rakyat pasundan mengadakan upacara seren taun di cigugur. diakui sebagai upacara adat. yang hadir banyak bekas pengikut aliran terlarang. (ils)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan. Kamis pagi, 23 Nopember lalu, ribuan orang berkumpul mengenakan baju terbaik. Besar kecil, laki perempuan, tidak kurang dari 5.000 penduduk telah berkumpul di Cagar Budaya Nasional Gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Hari itu Cigugur mengadakan upacara seren taun di gedung yang mempunyai nama keren tersebut. Seren taun adalah upacara untuk menyatakan rasa syukur, bahwa segala sesuatu telah berjalan dengan baik. Panen baik, wabah penyakit tidak ada dan cuaca tidak mengganas. Tanggal 23 Nopember itu adalah tepat tanggal 22 Rayagung, menurut perhitungan tahun Sunda. Rayagung untuk perhitungan Sunda jatuh pada bulan yang ke-12. Mengapa harus di Cigugur? Mungkin karena di tempat itu dianggap sebagai pusat Kerajaan Siliwangi dulu. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa di desa itulah, sebelum 1964, telah lahir sebuah agama. Namanya Agama Djawa Sunda (ADS) yang dipimpin Madrais. Waktu itu ADS mempunyai pengikut sampai 5000-an dan sebagian besar dianut oleh warga Pasundan. "Tetapi seren taun bukan upacara agama, kepercayaan atau aliran kebatinan manapun, hanya upacara syukuran," ujar Pangeran Djatikusumah. Pangeran yang satu ini dianggap pewaris Almarhum Madrais. Bisa diduga bekas orang-orang ADS-lah yang hadir hari itu. "Ya, kira-kira begitulah," kata Kusnadi sebagai bekas ADS, "tetapi ini upacara adat orang Sunda dan tak ada hubungannya dengan keagamaan." ADS setelah 1965 dilarang oleh Pemerintah karena diduga banyak menyesatkan. Ngajayak dan Nyuhun Segala keperluan untuk upacara ini adalah hasil gotong royong. Setiap peserta menyumbangkan sebagian dari hasil sawah dan kebunnya berupa padi, buah-buahan dan sayur mayur. Jumlah padi yang terkumpul, harus 2.200 kg, sejalan dengan tanggal 22 Rayagung. Padi tersebut sudah harus terkumpul sebelum tanggal 18 Rayagung, untuk kemudian ditempatkan di 4 penjuru mata angin (utara, selatan, barat dan timur). Semua ini dengan harapan bahwa jatuhlah kasih Tuhan kepada umatnya di segala penjuru. Pengumpulan padi pada 18 Rayagung juga mempunyai arti bahwa "Tuhan mempunyai 8 macam kasih," sebab 18 dalam bahasa Sunda diucapkan "delapan welas." Dan pada tanggal itulah, padi yang dionggokkan di 4 penjuru diusung dalam suatu upacara yang disebut ngaayak. Dimulai dengan 11 pasang jejaka dan gadis yang masing-masing menyunggi padi di kepala mereka. Artinya ini adalah lambang bahwa pemuda-pemudi itu adalah benih penerus dari kehidupan ini. Di belakang pemuda-pemudi 11 pasang ini, berderet rombongan ibu-ibu menyunggi padi dalam upacara nyuhun. Hal ini mengkiaskan bahwa setiap ibu tidak akan putus-putusnya memohon dan mengharapkan agar puteranya selalu hidup berkecukupan. Di belakang rombongan para ibu, muncul rombongan para bapak. Padi kali ini tidak disunggi di atas kepala, melainkan dipikul. Cara membawa padi memikul ini melambangkan bahwa setiap kepala keluarga harus dapat memikul tanggung jawab serta wajib membina dan mendidik keluarganya. Kemudian seorang yang jadi pemimpin upacara berdiri di sebuah podium. Padi dan segala hasil tani menjadi latar belakangnya. Sepasang bapak dan ibu tani kemudian maju ke depan untuk membacakan semacam ikrar dalam bahasa Sunda. Pembacaan ikrar dikidungkan, membuat semua yang mendengar terharu dan tergetar, karena sedikit banyak kata-katanya penuh mengandung sifat magis. Isi ikrar ialah menyatakan rasa terimakasih kepada Yang Maha Kuasa dan berharap panen yang akan datang akan menghasilkan padi yang lebih banyak. Setelah semua padi terkumpul, kemudian dilakukan upacara menumbuk padi oleh rombongan pemuda-pemudi tadi. Ketika membawa padi dari paseban Tri Panca Tunggal ke tempat penumbukan, para pemudanya diharuskan mengenakan baju wanita. Karena wanita adalah lambang kehalusan budi dan rasa kemanusiaan sejati. Berarti pula bahwa kedudukan pria dan wanita adalah sama. Hak dan kewajibannya sama untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan penuh kasih. Padi yang ditumbuk, tidak semua. Disisakan 2 kwintal untuk bibit. Angka 2 mempunyai sifat manusia yang dua lelaki dan perempuan. Sedangkan padi yang ditumbuk (20 kwintal) adalah bilangan yang mempunyai arti sifat dan wujud dari kehidupan ini. Padi yang telah ditumbuk dan dijadikan bibit, kemudian dibagikan kepada penduduk. Upacara ini kalau dilakukan secara tetap dalam sebuah festival, bisa menarik turis lokal dan luar negeri. Hidangan tradisionil yang asli seperti ini selalu menarik perhatian siapa saja, asal tidak dimasukkan unsur propaganda bagi suatu golongan. Pemda setempat telah mengundang 3.000 orang dan juga telah mendrop Rp 1,5 juta untuk melengkapi peragaan upacara ini. Maklum panitia juga telah mengundang grup t.v. dari Cirebon agar menyiarkan upacara ini. Upacara juga dimeriahkan dengan segala macam pertunjukan dan tetabuhan. Tentu saja kesenian Sunda asli. Ada rengkong yang berbentuk alat pemikul padi dari bambu bulat. Di ujung bambu ini diberi lubang untuk memberikan resonansi. Bambu yang dijadikan alat pikul oleh rombongan bapak-bapak akan mengeluarkan bunyi bila padi digotong, sebab tali ijuk pengikatnya tepat digantungkan di lubang rengkong. Selain itu ada lagi bentuk tetabuhan lain seperti angklung buncis (gabungan antara reog dan angklung), dogdog (reog Sunda), calung, degung, gamelan pelog simonggang, dan berbagai pertunjukan lainnya. Bisa dibayangkan betapa ramainya Desa Cigugur hari itu. Manusia tumpah ruah, orang jualan membanjir dan rezekipun mengalir. Sementara siapa saja boleh membantu menumbuk padi yang tadinya diawali oleh rombongan pemuda-pemudi. "betul, ini hanya upacara adat Sunda," ujar Kusnadi si bekas ADS. Sedikit kekuatiran terpancar di mukanya. Tetapi jangan kuatir, sejak ADS dilarang 1964, banyak pengikutnya kini yang telah memeluk agama atau kepercayaan lain. Pangeran Djatikusumah sendiri dan sebagian besar pengikutnya, telah masuk agama Katolik. Beberapa dari mereka masuk Islam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus