DI Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan. Kamis pagi, 23 Nopember
lalu, ribuan orang berkumpul mengenakan baju terbaik. Besar
kecil, laki perempuan, tidak kurang dari 5.000 penduduk telah
berkumpul di Cagar Budaya Nasional Gedung Paseban Tri Panca
Tunggal.
Hari itu Cigugur mengadakan upacara seren taun di gedung yang
mempunyai nama keren tersebut. Seren taun adalah upacara untuk
menyatakan rasa syukur, bahwa segala sesuatu telah berjalan
dengan baik. Panen baik, wabah penyakit tidak ada dan cuaca
tidak mengganas. Tanggal 23 Nopember itu adalah tepat tanggal 22
Rayagung, menurut perhitungan tahun Sunda. Rayagung untuk
perhitungan Sunda jatuh pada bulan yang ke-12.
Mengapa harus di Cigugur? Mungkin karena di tempat itu dianggap
sebagai pusat Kerajaan Siliwangi dulu. Tapi ada juga yang
mengatakan bahwa di desa itulah, sebelum 1964, telah lahir
sebuah agama. Namanya Agama Djawa Sunda (ADS) yang dipimpin
Madrais. Waktu itu ADS mempunyai pengikut sampai 5000-an dan
sebagian besar dianut oleh warga Pasundan. "Tetapi seren taun
bukan upacara agama, kepercayaan atau aliran kebatinan manapun,
hanya upacara syukuran," ujar Pangeran Djatikusumah.
Pangeran yang satu ini dianggap pewaris Almarhum Madrais. Bisa
diduga bekas orang-orang ADS-lah yang hadir hari itu. "Ya,
kira-kira begitulah," kata Kusnadi sebagai bekas ADS, "tetapi
ini upacara adat orang Sunda dan tak ada hubungannya dengan
keagamaan." ADS setelah 1965 dilarang oleh Pemerintah karena
diduga banyak menyesatkan.
Ngajayak dan Nyuhun
Segala keperluan untuk upacara ini adalah hasil gotong royong.
Setiap peserta menyumbangkan sebagian dari hasil sawah dan
kebunnya berupa padi, buah-buahan dan sayur mayur. Jumlah padi
yang terkumpul, harus 2.200 kg, sejalan dengan tanggal 22
Rayagung. Padi tersebut sudah harus terkumpul sebelum tanggal 18
Rayagung, untuk kemudian ditempatkan di 4 penjuru mata angin
(utara, selatan, barat dan timur). Semua ini dengan harapan
bahwa jatuhlah kasih Tuhan kepada umatnya di segala penjuru.
Pengumpulan padi pada 18 Rayagung juga mempunyai arti bahwa
"Tuhan mempunyai 8 macam kasih," sebab 18 dalam bahasa Sunda
diucapkan "delapan welas." Dan pada tanggal itulah, padi yang
dionggokkan di 4 penjuru diusung dalam suatu upacara yang
disebut ngaayak. Dimulai dengan 11 pasang jejaka dan gadis yang
masing-masing menyunggi padi di kepala mereka. Artinya ini
adalah lambang bahwa pemuda-pemudi itu adalah benih penerus dari
kehidupan ini.
Di belakang pemuda-pemudi 11 pasang ini, berderet rombongan
ibu-ibu menyunggi padi dalam upacara nyuhun. Hal ini mengkiaskan
bahwa setiap ibu tidak akan putus-putusnya memohon dan
mengharapkan agar puteranya selalu hidup berkecukupan. Di
belakang rombongan para ibu, muncul rombongan para bapak. Padi
kali ini tidak disunggi di atas kepala, melainkan dipikul. Cara
membawa padi memikul ini melambangkan bahwa setiap kepala
keluarga harus dapat memikul tanggung jawab serta wajib membina
dan mendidik keluarganya.
Kemudian seorang yang jadi pemimpin upacara berdiri di sebuah
podium. Padi dan segala hasil tani menjadi latar belakangnya.
Sepasang bapak dan ibu tani kemudian maju ke depan untuk
membacakan semacam ikrar dalam bahasa Sunda. Pembacaan ikrar
dikidungkan, membuat semua yang mendengar terharu dan tergetar,
karena sedikit banyak kata-katanya penuh mengandung sifat magis.
Isi ikrar ialah menyatakan rasa terimakasih kepada Yang Maha
Kuasa dan berharap panen yang akan datang akan menghasilkan padi
yang lebih banyak.
Setelah semua padi terkumpul, kemudian dilakukan upacara
menumbuk padi oleh rombongan pemuda-pemudi tadi. Ketika membawa
padi dari paseban Tri Panca Tunggal ke tempat penumbukan, para
pemudanya diharuskan mengenakan baju wanita. Karena wanita
adalah lambang kehalusan budi dan rasa kemanusiaan sejati.
Berarti pula bahwa kedudukan pria dan wanita adalah sama. Hak
dan kewajibannya sama untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan
penuh kasih.
Padi yang ditumbuk, tidak semua. Disisakan 2 kwintal untuk
bibit. Angka 2 mempunyai sifat manusia yang dua lelaki dan
perempuan. Sedangkan padi yang ditumbuk (20 kwintal) adalah
bilangan yang mempunyai arti sifat dan wujud dari kehidupan ini.
Padi yang telah ditumbuk dan dijadikan bibit, kemudian dibagikan
kepada penduduk.
Upacara ini kalau dilakukan secara tetap dalam sebuah festival,
bisa menarik turis lokal dan luar negeri. Hidangan tradisionil
yang asli seperti ini selalu menarik perhatian siapa saja, asal
tidak dimasukkan unsur propaganda bagi suatu golongan. Pemda
setempat telah mengundang 3.000 orang dan juga telah mendrop Rp
1,5 juta untuk melengkapi peragaan upacara ini. Maklum panitia
juga telah mengundang grup t.v. dari Cirebon agar menyiarkan
upacara ini.
Upacara juga dimeriahkan dengan segala macam pertunjukan dan
tetabuhan. Tentu saja kesenian Sunda asli. Ada rengkong yang
berbentuk alat pemikul padi dari bambu bulat. Di ujung bambu ini
diberi lubang untuk memberikan resonansi. Bambu yang dijadikan
alat pikul oleh rombongan bapak-bapak akan mengeluarkan bunyi
bila padi digotong, sebab tali ijuk pengikatnya tepat
digantungkan di lubang rengkong.
Selain itu ada lagi bentuk tetabuhan lain seperti angklung
buncis (gabungan antara reog dan angklung), dogdog (reog
Sunda), calung, degung, gamelan pelog simonggang, dan berbagai
pertunjukan lainnya.
Bisa dibayangkan betapa ramainya Desa Cigugur hari itu. Manusia
tumpah ruah, orang jualan membanjir dan rezekipun mengalir.
Sementara siapa saja boleh membantu menumbuk padi yang tadinya
diawali oleh rombongan pemuda-pemudi. "betul, ini hanya upacara
adat Sunda," ujar Kusnadi si bekas ADS. Sedikit kekuatiran
terpancar di mukanya. Tetapi jangan kuatir, sejak ADS dilarang
1964, banyak pengikutnya kini yang telah memeluk agama atau
kepercayaan lain. Pangeran Djatikusumah sendiri dan sebagian
besar pengikutnya, telah masuk agama Katolik. Beberapa dari
mereka masuk Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini