ANDAI penyu mendadak bisa lincah dan pandai memilih, mungkin dia akan bertelur di pulau yang jauh dari jangkauan orang-orang usil. Tapi penyu ditakdirkan lamban sehingga satwa laut ini tak bisa jauh-jauh dari habitatnya. Di mana dia ditetaskan, di situ pula dia bertelur. Perilaku itu lalu dimanfaatkan oleh para pemburu. Cukup dengan modal menunggu, sang pemburu pasti sukses menjarah telur penyu, yang sangat didambakan itu. Dan ketika bencana ini terjadi, penyu betina sudah kembali ke laut, meninggalkan tumpukan telur dalam lubang perlindungan di pasir yang disangkanya aman.
Bahwa penjarahan telur penyu kian menjadi-jadi, itu bukan berita baru lagi. Seekor penyu memang memproduksi ratusan telur, tapi karena telurnya tiap kali dijarah, satwa ini pun bisa punah. Adalah penyu hijau yang populasinya paling cepat ludes. Data yang akurat tak ada, tapi Wetlands International memperkirakan, selama 35 tahun terakhir, jumlah penyu hijau di Indonesia tinggal 10 persen.
Lalu, apa yang sudah kita lakukan agar penyu hijau tak sampai musnah? Sejak Januari 1999, Indonesia menempatkan penyu hijau dalam daftar satwa yang dilindungi. Tapi, ada perlakuan khusus untuk perairan Tambelan, Kepulauan Riau—karena populasi penyu hijau di sini cukup banyak. Dalam kaitan dengan itu, Departemen Kehutanan mengizinkan telur penyu hijau dikelola swasta. Syaratnya, pengelola wajib menetaskan 50 persen telur agar menjadi tukik (anak penyu), yang kemudian dilepas ke laut.
Bagaimana nasib pengelola di daerah lain? "Ya, ditutup saja," kata Widodo Sutoyo dari Kantor Menteri Kehutanan. Ternyata, keputusan menteri ini tak digubris. Buktinya, sampai akhir masa panen telur bulan ini, beberapa perusahaan masih tetap sibuk. Di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur, satu setengah juta telur dipanen oleh CV Derawan, pemegang konsesi lelang telur penyu hijau. Sementara itu, di Pantai Pangumbahan, Sukabumi, Jawa Barat, tahun ini CV Daya Bakti memungut 150 ribu butir.
Widodo, yang ikut mengonsep keputusan menteri itu, kaget mendengar temuan TEMPO. "Wah, ini kasus," katanya. Soalnya, di daerah-daerah tersebut, jumlah penyu hijau sudah langka. Tanpa campur tangan manusia, tukik yang selamat sampai dewasa hanya 5 persen dari jumlah telur. Kalau pemegang konsesi taat asas, ada 10 persen dari jumlah telur yang semestinya bisa ditetaskan. Hanya, ketentuan 10 persen itu terlalu kecil untuk bisa menjamin pelestarian penyu hijau. Padahal, mitos tentang khasiat telur penyu agaknya belumlah sedahsyat mitos mengenai khasiat otak kera, tulang harimau, atau darah ular.
Tapi, para pedagang tak kehabisan akal. "Dengan mengonsumsi telur penyu, gairah seksual dan kejantanan makin jos," begitu promosi mereka. Permintaan akan telur penyu pun terus meningkat. Padahal, menurut Nyoman Suryadiputra dari Wetlands Indonesia, "Telur penyu itu tak ada bedanya dengan telur ayam."
Selain telur, ternyata daging penyu muda—usia 1-10 tahun—juga diburu pembeli. Dan orang Bali merupakan penyantap daging penyu terbesar di dunia. Menurut laporan PPA (Perlindungan dan Pelestarian Alam) Bali, dalam periode 1980-1984, konsumsi daging penyu di Pulau Dewata mencapai 82 ribu ekor. Hingga 1990, menurut catatan pencinta satwa dari WWF Bali, penyu yang dipasok lewat Pelabuhan Benoa rata-rata 20 ribu ekor per tahun. Untuk apa? Daging penyu dipakai dalam upacara agama Hindu. Dengan gelar Bedawang Nala, orang Bali menganggap penyu sebagai hewan suci. Dan menyantap daging penyu dipercaya bisa melunturkan dosa.
Tak berlebihan jika Green Peace Australia dan WWF International protes keras. Mereka menyebarkan film pembantaian penyu di Bali dan memboikot pariwisata, hingga pembantaian itu akhirnya dihentikan. Terbitlah Peraturan Daerah Bali No. 22/1990, yang membatasi kuota penyu hijau di Bali hanya 500 ekor per tahun. Namun, peraturan daerah itu pun tidak terlalu efektif. Konsumsi daging penyu hijau memang turun, tapi volumenya masih jauh di atas kuota. Hal itu lalu dibahas bersama-sama oleh pemerintah daerah, pemuka agama Hindu beserta Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), dan anggota DPRD Bali. Diputuskan, April nanti akan dikeluarkan acuan pemanfaatan penyu hijau di Bali.
Ketika dihubungi TEMPO, Pedanda Ngurah Kaleran menyebut konsumsi daging penyu di Bali memang sudah kelewatan. Padahal, daging penyu hanya diperlukan dalam upacara besar, yang paling banyak dilakukan lima kali setahun. Itu pun tak mutlak. "Daging penyu bisa diganti dengan gambar dan daging itik," demikian tutur Pedanda Kaleran.
Lalu, bagaimana dengan para pengusaha telur penyu? Adang Gunawan, Direktur CV Daya Bakti, tampak tenang dengan SK gubernur di sakunya. "Omong kosong kita hanya bicara pelestarian," kata Adang. Maksudnya, barangkali, pelestarian penyu itu harus dilakukan sungguh-sungguh, termasuk itikad untuk tidak mengonsumsi baik telur maupun dagingnya.
Agung Rulianto, Levianer, Endah W.S.,Dwi Arjanto (Derawan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini