Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak hari itu, selama 22 hari, Ibrahim mendekam di dalam ruangan sempit dan pengap. Dari ruangan itulah ia menyaksikan lebih dari 100 orang dibantai silih berganti. Ia menyaksikan orang-orang yang kepalanya dibungkus karung, kemudian dipukul hingga mati. Wanita-wanita tak bersalah dipancung. Para tahanan dititahkan untuk saling membunuh. Seorang ibu ditembak saat menggendong bayinya hingga darah muncrat ke mana-mana. Ibrahim muda merekam seluruh peristiwa itu bagai menunggu datangnya malaikat maut. Hari ini orang lain, besok mungkin ia sendiri yang dibunuh.
Memang, pada akhirnya maut belum menjamah Ibrahim. Pada hari ke-23, Ibrahim dilepaskan dari penjara dengan alasan kekeliruan dalam penangkapan. Ibrahim pun pulang ke desa dan menyambut danau di muka rumahnya dengan membawa sejuta trauma yang membekas hingga masa tuanya kelak.
Pengalaman kelam pria kelahiran Kemili, Takengon, 2 Agustus 1942, itulah yang diangkat sutradara Garin Nugroho dalam film Puisi Tak Terkuburkan. Sehari-harinya, Ibrahim adalah seniman didong (kesenian tradisional Aceh). Ia banyak mengisi acara kesenian di desanya sampai ke daerah lain. Hutan dan danau di sekitar rumahnya memberi inspirasi bagi Ibrahim untuk menciptakan karya-karya didong. Dengan didong pula, ia mengekspresikan perasaan-perasaannya saat berada di dalam penjara itu.
Keahlian berdidong pula yang mengantar Ibrahim bertemu dengan Eros Djarot dan Christine Hakim dalam film Tjoet Nja' Dhien. Waktu itu, Eros sedang "berburu" orang Aceh untuk bermain dalam film itu. Dalam pencarian itu, Eros menonton Ibrahim berdidong di sebuah hotel. Eros langsung tertarik dan meminta Ibrahim untuk casting. Tanpa proses yang lama, Ibrahim pun dipercaya untuk memerankan penyair dalam film tentang pahlawan wanita Aceh itu.
Hampir 10 tahun kemudian, Garin Nugroho juga tertarik merekam kehidupan masa lalu Ibrahim Kadir. "Ibrahim Kadir adalah orang yang penuh luka. Ia berani membuka luka itu dan menjadi testimoni bagi dirinya," tutur Garin. Sutradara ini juga terkesan, betapa Ibrahim tidak menyimpan kejadian itu sebagai dendam. Berbekal kesan pertama itulah Garin akhirnya memutuskan untuk mengangkat kisah Ibrahim ke layar lebar. Padahal, "Waktu itu, saya tidak tahu wajahnya, belum pernah wawancara dengan dia," kata Garin.
Ketika akhirnya bertemu dengan Ibrahim, Garin makin yakin pilihannya tidak salah. Garin semakin kagum ketika menemukan bahwa Ibrahim mampu mengekspresikan perasaan traumatisnya itu menjadi karya seni, bukan dendam.
Tentu saja, tidaklah mudah meminta seorang yang traumatis untuk menceritakan kembali peristiwa kelam yang menimpanya itu. Suatu ketika, di sebuah mal di Bandung, seorang wanita muda lari ketakutan saat Ibrahim berteriak dan menunjuk-nunjuk, "Itu mata yang dulu dipancung." Pernah juga terjadi, saat sedang membaca naskah, tiba-tiba saja ia berteriak-teriak dan menangis. Semua pemain bingung. Garin mengakui sangat sulit menghadapi seseorang yang penuh trauma. Namun, bagaimanapun, karena Ibrahim Kadir adalah seniman besarsalah satu penyair balada terbaik Acehsekaligus orang yang mengalami trauma, kesulitan-kesulitan kecil itu dihadapi kru film Garin.
Berliana Fibrianti, yang menjadi wanita dapur muda dalam Puisi Tak Terkuburkan, mengaku pada mulanya ia takut melihat sosok Ibrahim. Pertama kali berkenalan, Ibrahim langsung menarik tangan Berliana. Sambil menangis tersedu-sedu, Ibrahim menyatakan, "Saya tidak mau mulai. Tidak mau. Ini dia orang yang dulu dipancung." Pernah juga Ibrahim memarahi seorang juru kamera, "Kamu belum tahu rasanya mau mati, ya?"
Tingkah polah Ibrahim selama syuting memang serba tak terduga. "Kalau kita tidak tahu siapa dia, kita bisa kaget," kata El Manik, salah satu rekan mainnya di film ini.
Kejadian 35 tahun silam itu memang menimbulkan trauma mendalam. Namun, dengan arifnya, Ibrahim tidak menceritakannya dengan dendam. Ia memilih untuk menuturkan rekaman peristiwa kelam itu dalam bentuk kesenian. Salah satunya adalah puisi Sebuku (dalam bahasa Indonesia berarti "ratapan") yang diciptakannya di dalam sel, ketika merasa tengah berhadapan dengan kematian. "Untuk mengingatkan semua orang," katanya. Untuk menggali pengalamannya di masa lalu, TEMPO menemui Ibrahim di rumah sederhananya di tepi Danau Laut Tawar, Aceh Tengah. Petikannya:
Apa sebenarnya yang terjadi pada 1965?
Saya kira rakyat dan WMD tidak mau membunuh sesamanya. Kejadian ini erat kaitannya dengan perintah dari Pangdam Letnan Jenderal Ishak Juarsah, siapa yang tidak mau membunuh PKI, dialah yang akan dihabisi. Lalu, mereka ramai-ramai melakukan pembunuhan tanpa memeriksa dan menanyai siapa yang PKI dan siapa yang bukan. Malah, di sini ada sekelompok orang Jawa yang membentuk grup Persatuan Ketoprak Isaq, atau disingkat PKI. Karena singkatan yang sama dengan Partai Komunis Indonesia itu, mereka semua dibantai. Saya dilepas ketika pembantaian terhadap gadis itu selesai dilakukan. Saya dipanggil dan dibawa ke pos polisi militer. Komandannya,Letnan Linggo, bilang, "Bapak bebas. Bapak enggak bersalah." Saya langsung protes. Saya bilang, dulu saya ditangkap tanpa diperiksa, mengapa kini saya bebas? Setelah saya menyaksikan semua itu, mengapa kini saya dibebaskan? (Ibrahim berteriak-teriak.) Semua peristiwa itu kembali terulang sekarang, malah lebih dahsyat lagi. Saya heran, kok tidak ada perkembangan dalam cara dan alat penyiksaan. Sangat ortodoks, tidak ada kemajuan peradaban. Malah, saya lihat lebih kanibal.
Apa yang Anda alami selama di penjara?
Setiap hari saya menyaksikan lebih dari 100 orang dibantai silih berganti. Selama 22 hari saya di penjara, saya melihat manusia dibantai seperti binatang. Saya berharap mampu mengetuk hati umat manusia di seluruh dunia untuk berhenti membunuh manusia.
Bagaimana pengalaman Anda ketika ditangkap?
Pahit sekali. Saya diambil kira-kira pukul 12.00 siang. Datang orang-orang wajib militer darurat (WMD) di sekolah, saya lalu dibawa ke penjara. Sesampai di sana, saya melihat sejumlah orang sudah dikumpulkan. Bulu kuduk saya merinding. Saya dimasukkan ke kamar 7 nomor urut 25. Saya menyaksikan banyak orang yang dibunuh tanpa kesalahan apa-apa, tanpa ditanyai dulu apa kesalahannya. Yang lebih sakit, orang-orang disuruh membunuh sesamanya. Dan orang-orang WMD melakukan eksekusi di bukit.
Apakah Anda tahu bahwa Anda dituduh PKI?
Saya baru tahu ketika di dalam penjara, sehari setelah saya ditangkap. Saya bertanya kepada orang-orang di penjara, mengapa mereka ditangkap. Mereka bilang, mereka ditangkap karena dituduh memberontak, dituduh PKI. Di situ saya baru tahu bahwa saya dituduh PKI juga, sehingga ditangkap.
Mungkin karena Anda seorang seniman sehingga dianggap anggota Lekra .
Bukan, saya tidak masuk Lekra. Sebagai seniman didong, saya memang banyak mengisi acara-acara kesenian, bukan hanya pada kegiatan PKI, tapi juga pada acara Perti. Jadi, penangkapan ini memang hanya faktor kekeliruan.
Apakah film ini betul-betul menceritakan kisah yang Bapak alami?
Ohoi , itu sudah total, sudah mirip seluruhnya. Hanya ada beberapa tambahan pada musik didong. Dalam penjara, waktu itu enggak ada musik didong. Karena saya ini pengarang, pembawa, dan pelatih didong, dimasukkanlah adegan bernyanyi itu.
Bagaimana perasaan Anda sekarang?
Sukar melupakannya, hoi. Mana bisa aku melupakannya, terus ingat sampai sekarang. (Mimiknya berubah, suaranya gemetarRed.)
Apakah semua tokoh dalam film itu memang ada di penjara saat itu?
Ya, total semuanya. Hanya, aktornya yang berbeda. Tapi mereka menjiwai cerita sehingga semuanya persis sama seperti waktu di penjara.
Bagaimana didong bisa menjadi bagian dari keseharian Anda ?
Saya mulai mengarang didong waktu kelas empat SD. Waktu itu kan banyak diadakan lomba didong antarkampung. Abang-abang di kampung saya punya grup didong. Untuk bisa bertanding, kita harus tahu banyak syair. Mereka meminta saya menciptakannya. Itu terus berlangsung sejak 1955. Hingga sekarang, saya sudah menciptakan banyak syair didong, baik mengenai legenda maupun acara-acara adat. Ada kisah Putri Bungsu, Malem Diwa, Aman Demot, dan banyak lagi.
Ngomong-ngomong, bagaimana kesan Anda tentang Berliana, yang memerankan wanita cantik di dapur?
Dia bermain total. Sebagai wanita dapur muda, ia sangat cocok. Memang prosesnya lama, mencari perempuan cantik yang mirip dengan yang dalam kisah di penjara. Garin bilang, kita akan cari gadis cantik yang rambutnya panjang seperti dalam penjara. Garin mengaku sudah mencarinya di Jakarta sampai Bandung, tapi gagal. Lalu, Garin membawa Berliana. Saya bilang cocok. Ternyata dia pun bisa memerankan wanita muda di penjara.
Andari Karina Anom (Jakarta), J. Kamal Farza (Takengon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo