Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JOHNNO Warramarrba telah berpulang. Dengan gulungan seprai melilit di leher, remaja Aborigin berusia 15 tahun itu pergi menemui arwah nenek moyangnya. Barangkali ia ingin segera mengunjungi Zaman Mimpi, yang dipercaya puak asli Australia sebagai daerah bebas ketidakadilan, tempat semua arwah bertemu dan hidup aman tenteram untuk selamanya.
Tapi, kepergiannya dengan menggantung diri itu telah mengguncang ketenteraman Australia selama berpekan-pekan. Sebab, nama Johnno kini telah menjadi simbol perlakuan tak adil terhadap suku Aborigin dan memunculkan gelombang protes besar di masyarakat. Protes itu bergema hingga ke markas PBB di New York dan menyebabkan sang Sekretaris Jenderal, Kofi Annan, pekan lalu menugasi Ketua Komisi Hak Asasi Manusianya, Mary Robinson, agar meneliti apakah Australia telah memberlakukan sebuah undang-undang yang bersifat rasialis dan diskriminatif.
Undang-undang itu bernama Mandatory Sentencing Law. MSL menyebabkan hakim wajib menjatuhkan hukuman kepada mereka yang melakukan pencurian barang yang ketiga kalinya, tanpa mempertimbangkan nilai barang yang dicuri.
Itu sebabnya Johnno mendapat hukuman dibui 28 hari di Don Dale Juvenile Detention Centre, Darwin, hanya karena mengutil pena, pensil, dan cat senilai A$ 90 (sekitar Rp 410.000 pada kurs Rp 4.900). Siapa nyana, empat hari sebelum bebas, ia bunuh diri. Sebuah peristiwa yang kontan membuat publik dan pers Australia naik darah dan Perdana Menteri John Howard pun jadi sasaran hujatan.
Ia dianggap bertanggung jawab karena merestui penerapan undang-undang ini di Negara Bagian Northern Territory (NT) dan Western Australia (WA), sejak 1996. Ia juga dianggap mencerminkan sikap Australia yang bermuka dua dalam soal hak asasi manusia: sok jadi polisi moral di Timor Timur tapi tidak becus menangani soal Aborigin yang pekat oleh aroma pelanggaran masalah ini di rumahnya sendiri.
Adalah Share Stone, bekas chief minister (jabatan setingkat gubernur) NT yang mula-mula menerapkan MSL. Tujuannya, menurunkan tingkat kejahatan pencurian di NT dan WA, yang peringkatnya tertinggi di Australia. Alih-alih menurunkan jumlah maling dan pencoleng, undang-undang ini justru banyak menjebloskan penduduk Aborigin, yang banyak berdiam di NT dan WA, ke penjara. Para maling yang tertangkap tangan rata-rata penduduk asli. Sialnya, banyak dari mereka yang tidak tahu adanya undang-undang ini. Tak mengherankan bila banyak Aborigin menjadi mayoritas penghuni penjara.
Jaksa Agung Dennis Burke, yang menggantikan Stone, menyebutkan 75 persen narapidana di Darwin adalah kaum Aborigin. "Tapi masyarakat NT sudah lelah oleh tindakan kriminal para maling," ia berdalih. Toh, alasan itu tidak digubris masyarakat Australia, yang menganggap undang-undang ini diskriminatif. "Mandatory Sentence adalah tipe perangkat hukum yang diterapkan rezim apartheid," ujar pemimpin oposisi NT, Claire Martin, yang disambut sorak-sorai para demonstran Aborigin di pusat Kota Darwin. Apa sebetulnya intisari MSL?
Undang-undang ini menegaskan, siapa punminimal berusia 15 tahunyang telah tiga kali melakukan kejahatan akan masuk penjara. Hebatnya, MSL memukul rata semua jenis pelanggaran, tanpa membedakan enteng-beratnya. Seorang remaja Aborigin yang menggaet A$ 40 sen (Rp 2.000 pada kurs Rp 4.900) di sebuah boks telepon di Perth, Australia Barat, ditangkap dan disekap 24 jam, Februari lalu. Si bocah memerlukan koin itu untuk membayar kereta. Maklum, jika nekat numpang tanpa tiket, ia terkena denda A$ 50 (Rp 245.000).
Ironisnya, tujuan pemerintah daerah NT dan WA untuk membersihkan permalingan itu gagal. Buktinya, kejahatan di dua wilayah ini tak berkurang sejak MSL diberlakukan. Soal lain, undang-undang ini juga tidak efisien dari segi finansial. Sejak diberlakukan pada 1996, MSL telah menambah A$ 8,5 juta pengeluaran negara. Kok, bisa? Sekadar contoh, pencuri sekotak biskuit dan beberapa botol plastik senilai tiga dolar dibui selama 12 bulan, yang biayanya mencapai hampir A$ 54 ribu.
Merebaknya MSL, apa boleh buat, juga membangkitkan perseteruan lama kaum kulit hitam dan penduduk di benua itu. Australia putih menganggap para penduduk asli tak lebih dari si pemalas yang gemar minum. Sedangkan pihak Aborigin menyebut undang-undang ini hanya mengukuhkan diskriminasi kehidupan sosial-ekonomi, politik, hukum, bahkan kebudayaan yang telah berlangsung berabad-abad. "Undang-undang itu membuat kita seperti tuan yang terpidana di tanah sendiri," ujar Christian, 22 tahun, seorang penduduk Melbourne, kepada TEMPO melalui telepon internasional. Dan undang-undang yang sama pula yang membuat Johnno, remaja 15 tahun itu, terlalu cepat pulang ke tempat arwah nenek moyangnya.
Hermien Y. K (Jakarta), Purwani D. P, Bambang H (Sydney)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo