Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ZUBAIDAH meraung-raung. Tangisnya begitu pilu. Ruang bangsal yang disulap menjadi sebuah penjara membuat luka lama sang wanita tua kembali menganga. Bilah-bilah kayu lusuh yang menutup dinding ruang itu seolah mengingatkan salah seorang pemain ini kembali pada nasib kakaknya yang menjadi korban sebuah kesalahan sejarah. Tangisnya yang panjang membuat Garin Nugroho, sang sutradara, terpaksa menghentikan syuting. Lain waktu, giliran Ibrahim Kadir, sang aktor utama, yang melolong panjang. Tangisnya tak kalah memilukan. Sekali lagi, adegan terpaksa dihentikan.
Suasana syuting Puisi Tak Terkuburkan menjadi peristiwa banjir air mata. Atmosfer yang menyelimuti ruang studio di kawasan Depok yang disulap menjadi penjara itu tampaknya membuat para pemain, yang kebanyakan asli Gayo, terlempar ke masa ketika petaka yang mengerikan itu terjadi 35 tahun silam.
Film ini berangkat dari sebuah luka yang dialami sebagian masyarakat Gayo, Aceh Tengah, beberapa saat setelah peristiwa G30S-PKI meledak. Maka, terjadilah pembersihan orang-orang yang dianggap terlibat komunis.
Tak mengherankan, syuting yang dilakukan Oktober tahun silam itu sesekali tersendat. Untuk meredakan tangis orang-orang yang mengalami peristiwa itu tidak mudah. Apalagi, seluruh kru dan para bintang film adalah generasi masa kini yang "funky" alias hanya mengenal peristiwa G30S melalui buku sejarah versi pemerintah Orde Baru.
Untungnya, film ini bisa digarap secara spartan dan selesai sesuai dengan jadwal: enam hari. "Kalau lebih lama dari itu, saya bisa gila," kata Garin Nugroho terkekeh.
Namun, proses awal pembuatan Puisi Tak Terkuburkan tidaklah sesingkat pembuatannya. Semua dimulai dari pembuatan film Daun di Atas Bantal, pada 1998. Salah satu pemberi dana itu, Ford Foundation, bertanya: film macam apa lagi yang akan digarap? Saat itu, dalam benak Garin setidaknya ada tiga persoalan yang ingin diangkatnya, yakni soal penerapan daerah operasi militer di Aceh, masalah Irianjaya, dan hilangnya aktivis.
Ia memilih Aceh. Pertimbangannya tak lain karena persoalan itu menimbulkan luka sejarah, ekonomi, dan hukum bagi masyarakatnya. "Sementara, politiknya sendiri berlangsung tanpa etika. Politik komando itu pasti tanpa etika dan menimbulkan suasana chaotic," kata Garin. Secara kebetulan, dia menemukan nama Ibrahim Kadir, penyair didong dari Gayo, Aceh Tengah. Ia mengetahui penyair itu dari teman-temannya yang pernah membuat film dokumenter dan dari film Tjoet Nja' Dhien arahan Eros Djarot, tempat Ibrahim berperan sebagai sang Penyair. "Kami mulai membaca tentang didong (kesenian tradisional Aceh), puisi-puisinya, dan berbagai hal yang berkait dengan Ibrahim. Dia menjadi sumber muara riset film ini," ujar Garin.
Setelah bertemu dengan Ibrahim, Garin menyadari bahwa seniman ini bukanlah orang yang mudah dikendalikan. Perilakunya sering kali "aneh". Tampaknya peristiwa buruk yang menimpanya meninggalkan trauma yang mendalam buat pria kelahiran Kemili, 2 Agustus 1942, ini. Di kala malam, Ibrahim sering terbangun lalu "berdeklamasi"gaya bertuturnya memang seperti orang bersyairtentang peristiwa buruk yang pernah dialaminya. Semula, Garin menjadi pendengar yang baik, meski bagi Garin tak mudah menjadi pendengar untuk sebuah trauma yang begitu dalam.
Tetapi, pada saat Ibrahim tengah berceloteh, diam-diam Garin mencatatnya untuk kemudian dituang ke dalam film. Misalnya, saat Ibrahim berulang-ulang menceritakan tentang wanita cantik yang ikut ditahan bersamanya.
"Dia menunjuk bibir wanita yang lewat di depannya dengan mengatakan `bibir tahanan wanita itu persis bibir dia'," kata Garin tergelak. Kepusingan Garin yang lain adalah tangis Ibrahim yang mudah meledak. Ibrahim memang pribadi yang unik.
Berangkat dari pertimbangan karakter utama Ibrahim Kadir sebagai ceh didongseni syair khas GayoGarin membuat filmnya ini layaknya sebuah tradisi lisan yang akan mengingatkan penonton pada gaya pertunjukan tonil. Seluruh adegan dimainkan dalam sebuah ruangan studio dan direkam dengan film warna hitam-putih. Pijakannya kali ini berbeda dengan film sebelumnya, Daun di Atas Bantal, yang memiliki karakter realisme.
Berangkat dari konsep itu, pengambilan gambar film ini menggunakan teknik "usang" yang mungkin sudah tak digunakan lagi oleh sutradara masa kini. Setiap adegan direkam dengan durasi panjang, berkisar dari 12 hingga 15 menit. Jelas, ini bukan suatu hal yang lazim. Umumnya, sutradara masa kini lebih gemar merekam take yang pendek dan ringkas sekitar tiga menit saja. Dengan pengambilan gambar yang begitu panjang, kerja tata cahaya dan juru kamera menjadi lebih keras. Kamera harus tetap berjalan tanpa terputus. Untuk itu, tata cahaya pun harus diatur sedemikian rupa agar mendukung kualitas gambar yang diinginkan. "Untuk film ini, tingkat kerumitan lighting-nya memang sangat tinggi," kata Garin.
Secara teknis, pengambilan seperti itu lebih rumit dan kompleks daripada menggunakan cara konvensional bagi pemain dan kru lainnya. Beban kru film yang menjadi "ringan" adalah kru bagian editing. Dengan cara pengambilan gambar semacam itu, film itu menjadi sebuah sambungan adegan-adegan panjang yang utuh sehingga sulit untuk memotongnya. Kalaupun ada yang terpaksa harus diedit, mereka hanya bisa menyunting bagian awal. Praktis proses editing menjadi relatif lebih ringan.
Kerja keras para awak tidak berhenti di situ. Berbeda dengan film-film sebelumnya, dalam Puisi, Garin memilih format hitam-putih. Pemilihan format hitam-putih itu dilakukannya dengan pertimbangan film ini bercerita tentang kisah kejadian tahun 1965 sampai 1970-an. Saat itu, film Indonesia masih menggunakan warna hitam-putih dan kemudian beralih ke film berwarna.
"Dengan film ini, saya ingin mengajak penonton untuk mengenali film Indonesia produksi masa itu," katanya.
Konsekuensinya, ia kehilangan keindahan gambar berwarna, yang biasa muncul dalam film-film sebelumnya, meski kemudian lahir keindahan hitam-putih yang mencuatkan unsur dramatis cerita. "Persoalannya bukan pada kekayaan gambar, tapi kita berada dalam tradisi yang bercerita, bertutur, kemudian tradisi itu diterjemahkan dalam peristiwa," tutur Garin gamblang.
Membuat visual hitam-putih bukan soal gampang. Maklum, pada masanya hitam-putih dibuat karena memang teknologi yang berkembang baru sampai teknologi film hitam-putih. Film berwarna belum ada. Sementara itu, Garin menggunakan teknologi hitam putih dengan alasan konseptual. Untung saja ada Pietrajaya Burnama, aktor senior yang pernah terlibat dalam pembuatan film pertama di Indonesia. Adalah Piet yang kemudian memberi masukan kepada Garin dalam hal kesempurnaan pengambilan gambar.
Contohnya, untuk mendapatkan warna putih, Piet menyarankan agar dinding tersebut dicat abu-abu. Pemilihan format ini juga berpengaruh pada soal artistik. Rudjito, 68 tahun, konsultan artistik, mesti sering-sering memutar otak. Ia harus mempertimbangkan kembali soal pencahayaan. Hal itu tidak ditemuinya dalam menggarap artistik untuk film berwarna, yang menurut dia relatif lebih mudah. Dalam prakteknya, ia terpaksa mencoba-coba. Melalui monitor, ia melihat detail rekaman gambar. "Kalau kurang pas, lighting-nya harus persis sama dengan keadaan yang sesungguhnya. Namun, bila Ibrahim merasa cocok dengan gambaran yang ada, semua beres dan bisa dilanjutkan. Jadi, saya mengikuti dia," Rudjito menjelaskan.
Namun, bukan berarti persoalan telah selesai. Sebagai film yang mengangkat sebuah tata cara masyarakat Gayo, tentunya pernik-pernik adat dan kebiasaan masyarakatnya harus dimunculkan dengan tepat. Meski tanah Gayo bukan tempat yang asing buat Garin, pria kelahiran Yogyakarta, 6 Juni 1961, itu sebetulnya tak sepenuhnya paham dengan istiadat daerah itu. Untuk soal yang satu ini, Garin mengajak antropolog Universitas Indonesia, Prof. Dr. M. Junus Melalatoa, untuk ikut memberi saran dan bahkan berperan dalam film ini. Profesor berusia 76 tahun ini memberikan berbagai saran, dan sekaligus kebagian peran "laki-laki dapur", yang bertugas memasak makanan buat para tahanan.
Dalam perannya itu, Junus mendapat dialog dengan wanita dapur lainnya yang menceritakan pengalamannya tentang masa-masa berpacaran. Dialog itu ditentang Junus. Adat Gayo, menurut Junus, menabukan pembicaraan romantis antara seorang wanita dan pria yang bercerita secara bersamaan. "Itu tidak biasa dalam kebiasaan masyarakat Gayo," kata Junus.
Setelah mendengarkan keterangan itu, Garin mengubah skenario. Dialog tema pacaran itu dipindahkan ke ruang tahanan masing-masing. Akibatnya, peran Junus pun berubah menjadi "laki-laki tua" yang tinggal di dalam penjara yang bercerita tentang pengalaman berpacaran pada masa mudanya. Sementara itu, di ruang tahanan lain para perempuan menceritakan hal yang serupa dengan suasana riuh rendah. Inilah satu-satunya adegan yang seolah memberikan harapan hidup kepada para tokoh dalam tahanan yang pengap itu.
Bukanlah Garin Nugroho jika dia tak percaya pada improvisasi. Dalam pembuatan film Daun di Atas Bantal, yang pengambilan gambarnya dilakukan di Yogyakarta, perubahan dan improvisasi kerap terjadi karena terilhami oleh tingkah laku anak-anak jalanan yang menjadi peran utama. Film Puisi juga mengalami banyak perkembangan akibat berbagai peristiwa yang kemudian menarik untuk ditampilkan dalam layar. Misalnya, saat pengambilan gambar adegan didong yang dimainkan oleh hampir semua pemain yang terlibat, secara tiba-tiba seorang perempuan ikut bergabung. Padahal, tak ada permintaan dari siapa pun. Wanita itu bernama Zubaedah, yang sengaja datang dari Gayo untuk menyaksikan anaknya bermain didong dalam film ini. Garin mengajaknya untuk ikut bermain film. Pilihan yang tepat. Ternyata Zubaedah bermain sangat bagus. "Akhirnya saya mengambil gaya Srimulat untuk film ini," katanya tertawa. Maksud Garin adalah improvisasi kemudian menjadi titik utama dalam proses pembuatan. Ia mengaku, pada akhirnya skenario asli hanya terpakai sekitar 70 persen. Selebihnya adalah perubahan, perkembangan, dan improvisasi pemain.
Tetapi, tentu saja sebagai sutradara, Garin tak hanya tunduk pada improvisasi pemain. Untuk urusan di luar adat-istiadat, Garin "he is the boss".
Misalnya, saat ia meminta Junus untuk menerjemahkan dialog yang diucapkan El Manik ke dalam bahasa Gayo. Dalam film ini, Garin menggunakan bahasa daerah Aceh Tengah itu. Maksudnya tak lain agar film ini memang benar-benar bisa membawakan kehidupan daerah yang sesungguhnya. Tapi permintaan itu ditolak Junus. Alasannya, bahasa Indonesia yang digunakan sudah kuat ketimbang bila kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Gayo. Keduanya, Garin dan Junus, saling ngotot. Akhirnya Junus menyerah. Hasilnya, El Manik gerabak-gerubuk mempelajari bahasa itu dalam waktu singkat. "Itulah sontoloyonya Garin. Kalau dia mau sesuatu, harus begitu," kata El Manik. "Otak saya mau pecah saat itu," tutur El Manik. Meski dia ngedumel, toh tugas itu dikerjakannya juga.
Soal bahasa juga menjadi masalah buat Berliana Fibrianti, pemeran wanita dapur muda. Sesungguhnya skenario itu tidak sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia. Untuk keberhasilan perannya, Berliana harus mempelajari bahasa Gayo, paling tidak sekelumit saja. Nah, ketika ada adegan sang ibu yang berkisah tentang masa lalunya dalam bahasa Gayo sambil menari, Lia, yang tidak mengerti, hanya mengiyakan. Tiba-tiba sang ibu terbatuk dan minta diambilkan air. Dengan polosnya, Berliana meminta kru untuk mengambilkan air. Tiba-tiba terdengar teriakan "cut!". Garin menyetop adegan itu dan mendamprat Berliana, yang dianggap tidak bisa berimprovisasi dengan kondisi tersebut.
Berliana mengaku senewen ketika terpilih menjadi pemain dalam film ini. Maklum, film ini, selain didukung warga Gayo yang ternyata memiliki bakat luar biasa, juga menggunakan aktor berjam terbang tinggi seperti El Manik dan Pietrajaya Burnama. Sementara itu, Berliana sebelumnya lebih dikenal sebagai aktris sinetron yang lebih banyak berkubang dalam rimba sinetron, yang banyak menguras air mata. "Ini kan lain sekali dibandingkan dengan sinetron tempat saya biasa berperan," tutur Berliana jujur.
Berliana adalah pilihan dari lima kandidat yang dicalonkan oleh tim audiensi film ini. Dan ternyata pilihan ini memang bukan sebuah kegagalan. Berliana tampil dengan lompatan yang jauh dari akting sinetronnya.
Untuk aktor El Manik, inilah pengalaman pertamanya bermain film bersama Garin Nugroho. Dari sosok Ibrahim Kadir, ia menggali sebuah pengalaman batin. Ia jatuh iba. "Alangkah menderitanya orang ini," katanya.
Tangis Ibrahim Kadir yang secara tiba-tiba meledak memang bukanlah sebuah akting. Jeritan panjang dan menyayat hati, seperti halnya syair-syair yang diciptakannya itu, adalah sebuah ungkapan tentang perih luka yang dialaminya. Sebuah peristiwa tragis yang menimpanya itu teramat sulit untuk dilupakannya. Yang dihadirkan dalam film ini hanyalah setitik pedih yang dialaminya. Lukanya adalah sebuah puisi. Puisi Ibrahim memang tak terkuburkan, walau digerus sang waktu.
Irfan Budiman, Dwi Wiyana, Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo